Arjo menuruti kemauan Wasi. Membuka pintu sedan itu, dan duduk manis di dalamnya. Ia teringat sebuah drama dengan lakon lelaki tua yang dipaksa menjadi bapak dari seorang perempuan muda cantik namun miskin. Perempuan itu terpaksa mencari bapak lain agar calon suaminya mau segera melamarnya. Sementara bapaknya sendiri yang juga kaya raya tidak merestui pernikahan putrinya, karena si calon menantu saingan bisnis yang selalu bermain curang. Pada saat acara pernikahan si bapak mempelai perempuan datang dan memaksa anaknya membatalkan pernikahan. Terjadi pertengkaran dan kekacauan sampai kemudian terjadi kompromi.. . . . perempuan muda menyerah, meski harus menikahi si lelaki tua agar semua warisan bapaknya kelak dapat dimilikinya!
Arjo tersenyum, kali ini tak mampu disembunyikannya dari pandangan Wasi. Sedan itu meluncur ke jalanan kota, pelan lalu lambat-laun melaju. Arjo memmbayangkan kalau saja ia yang membawa sedan mewah itu berapa banyak perempuan yang mau antri menunggu ajakannya untuk berkencan. Tapi yah, bukankah ia sekedar tukang ojek yang melarat dan memprihatinkan?
“Abang berpikir kotor ya?” tanya Wasi penasaran.
“Bukan. Cuma geli saja. Ini mirip cerita sebuah drama, lain kali saya ceritakan. . . . . !”
“Apakah semua cerita nyata selalu ada dalam kisah-kisah drama?” tanya Wasi dengan jengkel.
“Tenu saja. Sebab cerita drama memang dibuat dari kisah nyata. Dari imajinasi yang berdasarkan kisah nyata. Bahkan dari pikiran orang-orang prnulis drama yang tak mungkin lepas dari kisah nyata. . . . .!”
“Bohong!”
“Terserah, Neng, saja. Bohong atau bukan itu sering dipisahkan oleh pembatas yang sangat tipis. Pembatas itu namanya kepercayaan. Tidak perlu pembuktian, dan tidak perlu kebenaran, kalau seseorang tidak percaya pada orang lain maka apapun yang dilakukan orang lain itu hanya bermakna bohong. . . . .!”
“Apakah itu juga ada cerita dramanya?”
“Naskahnya belum ditulis. Tapi kalau Neng mau memerankannya, akan saya tuliskan dramanya. Tapi tentu Neng yang harus menyadiakan anggaran untuk biaya produksinya. . . .!”
“Bisa dibisniskan?”