Suasana makin kacau ketika listrik dipadamkan dari gardu listrik terdekat. Selain dari kobaran api kebakaran, keadaan sekeliling menjadi gelap. Suara jerit, tangis, sumpah-serapah, latah, dan pekik bercampur menjadi satu karena panik, takut, dan terlebih juga rasa panas dan sakit tersambar jilatan lidah api.
Arjo sempat terjatuh karena sangat kaget oleh bunyi ledakan yang memekakkan telinga. Namun secepat itu ia berdiri kembali dan dengan kesadaran penuh coba menyelamatkan diri. Hukum pertama dalam penyelamatan pada sebuah bencana yaitu menyelamatkan diri sendiri. Seelah itu baru membantu orang lain. Namun tiba-tiba ia teringat pada Bro Haji dan Wasi yang masih ada di dalam ruangan kaca.
Dengan berlari melawan arus orang-orang yang mau keluar, Arjo melompat ke sana- kemari, melompat dari satu meja ke meja lain. Api mengejar dari arah dapur. Sementara asep hitam legam memenuhi semua ruangan hingga membatasi jarak pandang. Tujuan Arjo menuju ke ruang kaca di pojok kanan lantai pertama restoran. Letak yang berlawanan dengan posisi dapur. Ketika hendak memasuki ruang kaca ternyata pintunya tertutup rapat karena pembuka otomatisnya terkunci. Lelaki tua itu tak kehilangan akal, setelah mengambil ancang-ancang dengan sekuat tenaga Arjo menjejak pintu geser itu dengan kedua kakinya sekaligus. Kaca yang tidak terlalu tebal itu pun pecah berantakan, dan ia menerabas masuk.
“Ohh, untunglah abang datang. Cepat selamatkan papi. Ia sangat terkejut oleh ledakan dan kebakaran begitu besar sehingga jatuh pingsan.. . . . .!” seru Wasi dengan wajah gemetar ketakutan setengah menangis. Haji Lolong tergeletak di lantai dengan kepala disangga kedua tangan Wasi yang berjongkok dengan kaki dilipat ke belakang.
“Pingsan? Ayo cepat kita selamatkan. . . . .!” ucap Arjo, lalu cepat ikut berjongkok.
“Aku khawatir Abang tidak mampu mengangkatnya. Tubuh papi kulihat lebih besar daripada tubuh abang...!”
“Tenang saja, jangan khawatir. Abang angkat Bro Haji keluar gedung, Neng mengikuti saya di belakang ya. . . .? Ayo, cepat. . . .cepat. . . .!” teriak Arjo ketika berhasil mengangkat tubuh Haji Lolong di atas pundaknya, kaki di depan dan kepala menempel di punggung.
Wasi tidak berucap apapun selain mengikuti perintah Arjo. Berjalan cepat di belakang punggung Arjo menerobos asap dan api di kanan-kiri sambil memegangi kepala papinya, menjaga dari benturan.
Sementara itu suasana makin panik, kacau, dan hiseris melanda pengunjung dari lantai pertama hingga ketiga restoran.
“Tolong. . . . ., tolong. . . . . .! Mampus aku. . . . .” teriak seorang tamu yang berdesakan begitu brutal dengan puuhan orang lain di lantai pertama.
“Ayo cepat lompat saja! Lompat. . . . .!” geram seorang pengunjung lain kepada orang-orang paling depan ketika tangga turun daari lantai dua sudah penuh orang yang hendak turun menyelamatkan diri.
“Pecahkan kacanya. Asap sudah terlalu tebal untuk leluasa bernafas. . . . . .!” pekik seorang wanita di lantai tiga.
Dan entah suara-suara apa lagi. Semua mulut mengeluarkan suara, bersamaan, bersahutan, dan saling lindas hingga suara yang paling keraslah yang terdengar. Semua ingin menyelamatkan diri, keluar dari bangunan restoran yang mewah itu. Pintu restoran yang lebar itu tidak cukup untuk menampung pengunjung yang berjejalan ingin keluar dalam waktu bersamaan. Panasnya api yang berkobar menjadikan suasana tak terkendali. Kepanikan itu membuat beberapa orang wanita dan anak-anak terjatuh dan terinjak-injak.
“Beri kesempatan perempuan untuk lebih dahulu keluar. . . . . Yang lain sabar, sabar. . . ..!”
“Hooi, Kawan. . . . . Jangan injak, jangan injak. . . . .aaaarrgggk. . . . .!” suara lelaki tua merintih. Desakan dan dorongan kuat dalam upaya untuk menyelamatkan diri tidak memberi kesempatan pada setiap orang untuk menghiraukan keselamatan orang lain. Yang terlanjur terjatuh tak ayal lagi terinjak-injak begitu saja.
“Aduh lenganku . . . . patah. . . . . aduh. . . .!” pekik seorang perempuan yang terjepit di pintu keluar ketika tiba-tiba engsel daun pintunya lepas
Berdesakan, berimpitan, saling langgar dan injak menyebabkan jatuhnya korban. Luka, pingsan, patah, keracunan asap, dan bahkan ada yng hangus terbakar. Belum lagi yang jatuh dari lantai ua dan tiga. Beberapa orang jelas terjebak di ruangan kaca yang tidak dapat keluar karena api sudah terlanjur meninggi dan membakar apa saja di luar ruang kaca.
Beruntung lima menit kemudian beberapa ruko dan toko sebelah kiri-kanan menghidupkan generator. Lumayanlah ada penerangan sedikit yang membantu penglihatan, selain dari nyala api yang mulai membakar meja-kursi dari kayu dan perabotan lainnya.
Dalam kondisi demikian upaya penyelamatan tamu restoran chinese food jadi lebih sulit. Meski api menjalar dengan cepat agaknya sistem penyelamatan dan evakuasi telah dipersiapkan dengan baik. Terbukti di luar gedung lantai dua atau tiga disediakan tangga besi darurat yang bisa ditarik turun untuk penyelamatan ke halaman restoran.
Para pelayan restoran pun dengan cekatan membantu tamu-tamu untuk melepaskan diri dari jebakan api. Bila tiap lantai terdapat kira-kira lima puluh tamu, maka seratus lima puluh tamu harus diselamatkan. Ada dua puluh lima pelayan, pria dan wanita, termasuk teknisi, petugas kebersihan, teknik, dan tenaga satuan pengamanan yang bahu-membahu menyelamatkan pengunjung restoran.
“Waktu kita sangat sempit. Kerjakan semua penyelamatan sesuai pengetahuan dan keterampilan yang pernah diajarkan. Selamatkan sebanyak banyaknya, tapi jangan lupa menyelamatkan diri sendiri. . . .!” ujar seorang pelayan yang dijadikan pimpinan regu penyelamatan.
“Siap, Bos, laksanakan. Ayo, kita selamatkan para korban. . . . .!” jawab seorang petugas kebersihan.
“Siap, Bos, laksanakan.. . . . .”” serentak suara lain menjawab cepat.
Sementaara itu seorang satpam yang ada di pos jaga depan mengatur lalu-lintas yang tersendat karena berhenti hendak menonton kebakaran. Ketika dilihatnya seorang anak muda membawa ponsel henak mengambil gambar, satpam minta bantuan. “Tolong hubungkan pemadam kebakaran. Yang lain minta bantuan lewat media online. Ayo cepat. . . . . cepat. . . . . .!”
Satpam menyebut angka-angka, dan si anak muda cepat menghubungi. “Restoran apa ini?” anak muda itu beranya. Meneruskan pertanyaan dari petugas pemadam kebakaran di ujung sambungan telepon. ”Sebutkan lengkap restoran chinese food halal, bernama Restoran Daun Bambu, berada di Jalan Pengeran Alap-alap. . .. . . .!”
“Sudah?”
“Oke, mudah-mudahan cepat datang. . . . .!”
Satpam dan pemuda itu belum sempat beranjak dari tempatnya, ketika suara sirine khas mobil-mobil pemadam kebakaran berdatangan dari berbagai arah. Tidak lama kemudian dua buah mobil ambulance pun datang. Agaknya pemberitahuan melalui media sosial lebih cepat direspon karena atau gambarnya. Mobil-mobil parkir pengunjung harus dipindahkan, para korban yang luka, pingsan, dan shok berat ditampung darurat di ruko dan toko di sebelah kiri dan kanan serta seberang jalan gedung yang terbakar. Lalu-lintas di depan restoran macet total. Arus lalu-lintas dari kedua arah harus ditutup untuk proses pemadaman serta mengevakuasi para korban.
Dengan perjuangan berat Arjo mampu membawa Haji Lolong keluar gedung yang terbakar. Wasi sempat tertinggal karena desakan orang orang. Bahkan kain ujung celana panjangnya tersambar kobaran api hingga membuatnya berteriak kesakaitan. Namun dengan tenaga yang dipaksanakan akhirnya mampu meloloskn diri dari kepungan bahaya kebakaran itu.
“Alhamdulillah. . . . Tuhan masih melindungi keselamatanku. . . .!” ucap Wasi sambil mencari-cari dimana Arjo membawa papinya yang pingsan.
Kerumunan para penolong, korban, dan warga masyawarakat di belakang gedung restoran begitu padat berdesakan. Namun ditengah-tengah mereka ada juga orang-orang yang memanfaatkan kelengahan orang lain. Ada yang mengambil dompet, tas wanita, sepatu, kacamata, bahkan ponsel yang diletakkan pemiliknya begitu saja karena hendak menolong seorang korban yang baru berhasil dibawa keluar gedung.
Sepuluh menit berlalu. Ketika itu mobil pemadam belum mendapatkan air dari hidran, api sudah betul-betul menguasai keseluruhan gedung restoran. Api berkobar menyerupai unggun besar yang menerangi wilayah sekitar gedung. Asapnya mengepul-ngepul melebihi asap dari ceroboh pabrik yang menggunakan bahan bakar batubara. Api bahkan sudah mulai merambat ke kiri-kanan dan belakang gedung.
Malam panas bergerak terus meninggi. Hiruk-pikuk belum mereda. Para korban luka ringan dan pingsan harus dievakuasi ketempat lain yang lebih jauh dari lokasi kebakaran, sedangkan yang luka serius termasuk yang patah tangan, kaki dan tulang belakang dengan menggunakan ambulance dan angkutan umum sudah dibawa ke rumah sakit terdekat tengah. Mobil para pengunjung restoran sendiri terjebak di tengah kerumunan orang dan mobil pemadam kebakaran.
“Kita ke rumah sakit terdekat. Tapi tidak mungkin menggunakan mobil. Ambulance sudah digunakan orang lain, kalau harus menunggu pasti lama lagi. Ini kondisi darurat, yang penting kita bawa dulu papimu ke rumah sakit agar segera mendapatkan penanganan medis seperlunya!’ ujar Arjo ketika hendak mengangkat kembali tubuh Haji Lolong ke atas pundaknya.
“Terserah Abang bagaimana baiknya. Aku ikut saja. . . .!” jawab Wasi.
“Apa papimu punya riwayat penyakit tertentu?”
“Jantung koroner, darah tinggi, gula, dan paru berlubang karena rokok!”
“Komplit. Itu sebabnya gaya hidupnya mulai berubah. Kesadarannya tentang kesehatan meninggi. Bahkan perilakunya pun mulai bergeser untuk mencari jalan lurus. Betapapun setiap langkah manusia mengandung hikmah. Hikmah sehat ternyata harus melalui gaya hidup tidak sehat. . . !” ucap Arjo di telinga.
“Mungkin! Yang penting sekarang papi harus diselamatkan dulu. . . . .”
Arjo sempat menekan nadi pergelangan tangan Haji Lolong, dan mendapati detak jantung lelaki itu tidak melemah. Baru saja Wasi hendak berdiri dua orang kru media elektronik mencegatnya.
“Mbak Wasi, kebetulan sekali .. . . .? Jadi mbak juga ada di restoran ini?” ujar seorang gadis berseragam kayawan Stasiun TV Nayaka. “Saya Minarli dari Divisi Berita Nayaka TV. Minta waktu beberapa menit untuk wawancara ya, Mbak. . . . !” ujar reporter itu sambil menyodorkan mike dan meminta juru kamera untuk menyalakan lampu di kamera.
“Saya buru-buru sekali. Tapi baiknya, sebentar saja ya. Nanti tanyakan juga kepada Bang Arjo yang mungkin tahu lebih banyak daripada saya. . . . .!” jawab Wasi merasa serba salah. Dalam kondisi yang begini buru-buru masih diganggu kedatangan awak media. Tapi sebaliknya ia merasa media itu bagian dari kehidupannya sendiri. Arjo sudah mau beranjak sebenarnya tapi dicegahnya. “Oke, cepatlah. . . .!”
Setelah juru kamera siap dengan kamera dan lampunya, Minarli sebagai reporter meminta Wasi untuk melihat ke arah lensa kamera. “Mbak Wasi, sebagai salah satu pengunjung restoran chinese food halal bernama Daun Bambu ini, minta diceritakan kembali bagaimana awal mula kebakaran yang menghancurkan seluruh bangunan restoran ini. . . . .!”
“Ini kebakaran sangat bear, dan dahsyat. Kami sedang makan dengan ayah saya dan seorang sahabat. Tiba-tiba terdengar ledakan keras diikuti kobaran api dari awah dapur. Ya, dapur berada di lantai pertama. Kami duduk di ruang kaca lantai pertama, jadi tahu persis kejadiannya. Api cepat membesar, sebab ledakan pertama diikuti beberapa ledakan lain. Mungkin itu tabung gas yang terlontar kemana-mana. Dalam waktu sangat cepat api membakar hingga ke lantai tiga. . . . .!”
“Lalu penyelamatannya bagaimana, mbak?”
“Pengunjung cari selamat dengan berdesakan. Kami beruntung dapat keluar tempat kebakaran dengan selamat. Tapi papi saya pingsan dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Saya khawatir ada korban lain luka-luka, bahkan tewas. . . . .!” ujar Wasi lalu menyerahkan mikenya kepada Arjo untuk memberi tambahan penjelasan.
“Mudah-mudahan pada korban cepat dapat ditangani hingga jumlahnya dapa diminimalkan. Hal lain yang perlu disampaikan saya kira soal keselamatan pengguna tabung gas. Rumah makan sebesar itu sayang sekali tidak punya pengamanan memadai agar tidak terjadi kebocoran pipa tabung gas yang menjadi penyebab kebakaran. . . . .! Oke ya, saya permisi untuk membawa sahabat saya ini Bro Haji ke rumah sakit. . . . .!”
“Terimakasih, mbak Wasi!” teriak Minarli spontan. “Semoga ayah mbak cepat siuman dan kembali sehat. . . . .!”
Wasi dan Arjo tidak menunggu ucapan apapun dari si reporter. Setelah mengambil nafas sejenak untuk beristirahat di halaman restoran, Arjo mengangkat Haji Lolong ke arah jalan raya. Tidak ada mobil yang bisa leluasa bergerak keluar. Arjo berjalan cepat sambil berteriak-teriak menerabas kerumunan untuk meminta jalan.
Arjo memutuskan untuk menggunakan sepeda motor ojek. Berboncengan bertiga, kali ini posisi Haji Lolong berada di tengah, seperti orang duduk biasa. Meskipun harus berjuang keras akhirnya motor dapat keluar dari kerumunan orang dan berbagai kendaraan lain untuk menuju rumah sakit umum terdekat.
Wasi dengan membonceng ojek sepeda motor lain mengikuti di belakang. Dua motor melaju ke arah timur, menembus udara malam, bahkan melawan arus lalu-lintas untuk mencari jalan pintas ke arah rumah sakit umum terdekat.
“Rumah sakit Bagas Waras ya, Pak. . . . .?” tanya tukang ojek ketika akan melewati perempatan ketiga. “Kita akan belok ke kanan untuk mengambil jalan alternatif yang lebih dekat. . . .!”
“Ya, di Jalan Pandawa. Langsung ke instalasi gawat darurat saja! Semoga Pak Haji ini mendapatkan penanganan cepat. . .” jawab Arjo dengan kedua tangan terus memegang bahu Haji Lolong agar tidak bergeser dari duduknya. (Bersambung)
Kendal, 2 Juni 2016
Cerita sebelumnya : cinta-yang-menua-bab-vi-empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H