Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cinta yang Menua - Bab VII – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

2 Juni 2016   23:31 Diperbarui: 4 Juni 2016   20:43 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kita ke rumah sakit terdekat. Tapi tidak mungkin menggunakan mobil. Ambulance sudah digunakan orang lain, kalau harus menunggu pasti lama lagi. Ini kondisi darurat, yang penting kita bawa dulu papimu ke rumah sakit agar segera mendapatkan penanganan medis seperlunya!’ ujar Arjo ketika hendak mengangkat kembali tubuh Haji Lolong ke atas pundaknya.

“Terserah Abang bagaimana baiknya. Aku ikut saja. . . .!” jawab Wasi.

“Apa papimu punya riwayat penyakit tertentu?”

“Jantung koroner, darah tinggi, gula, dan paru berlubang karena rokok!”

“Komplit. Itu sebabnya gaya hidupnya mulai berubah. Kesadarannya tentang kesehatan meninggi. Bahkan perilakunya pun mulai bergeser untuk mencari jalan lurus. Betapapun setiap langkah manusia mengandung hikmah. Hikmah sehat ternyata harus melalui gaya hidup tidak sehat. . . !” ucap Arjo di telinga.

“Mungkin! Yang penting sekarang papi harus diselamatkan dulu. . . . .”

Arjo sempat menekan nadi pergelangan tangan Haji Lolong, dan mendapati detak jantung lelaki itu tidak melemah.  Baru saja Wasi hendak berdiri dua orang kru media elektronik mencegatnya.

“Mbak Wasi, kebetulan sekali .. . . .? Jadi mbak juga ada di restoran ini?” ujar seorang gadis berseragam kayawan Stasiun TV Nayaka. “Saya Minarli dari Divisi Berita Nayaka TV. Minta waktu beberapa menit untuk wawancara ya, Mbak. . . . !” ujar reporter itu sambil menyodorkan mike dan meminta juru kamera untuk menyalakan lampu di kamera.

“Saya buru-buru sekali. Tapi baiknya, sebentar saja ya. Nanti tanyakan juga kepada Bang Arjo yang mungkin tahu lebih banyak daripada saya. . . . .!” jawab Wasi merasa serba salah. Dalam kondisi yang begini buru-buru masih diganggu kedatangan awak media. Tapi sebaliknya ia merasa media itu bagian dari kehidupannya sendiri. Arjo sudah mau beranjak sebenarnya tapi dicegahnya. “Oke, cepatlah. . . .!”

Setelah juru kamera siap dengan kamera dan lampunya, Minarli sebagai reporter meminta Wasi untuk melihat ke arah lensa kamera. “Mbak Wasi, sebagai salah satu pengunjung restoran chinese food halal bernama Daun Bambu ini, minta diceritakan kembali bagaimana awal mula kebakaran yang menghancurkan seluruh bangunan restoran ini. . . . .!”

“Ini kebakaran sangat bear, dan dahsyat. Kami sedang makan dengan ayah saya dan seorang sahabat. Tiba-tiba terdengar ledakan keras diikuti kobaran api dari awah dapur. Ya, dapur berada di lantai pertama. Kami duduk di ruang kaca lantai pertama, jadi tahu persis kejadiannya. Api cepat membesar, sebab ledakan pertama diikuti beberapa ledakan lain. Mungkin itu tabung gas yang terlontar kemana-mana. Dalam waktu sangat cepat api membakar hingga ke lantai tiga. . . . .!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun