Di luar jendela kicau burung kenari diantara cabang-cabang pohon kenanga. Sinar matahari sore makin condong ke barat. Seorang ibu berkerudung ungu turun dari ojek, lalu melangkah tergesa memasuki halaman Roemah. Ia menggendong bayi dengan raut sebal. “Tunggu sebentar, Bang!” ujarnya kepada tukang ojek.
Belum sempat mengetuk, pintu berkaca membuka.
“Silahkan masuk, Bu. “Apa ibu yang tadi menelepon?” sambut Bu Salina seraya mempersilahkan tamunya duduk di kursi tamu.
“Iya, Bu! Saya ingin menyerahkan bayi ini. Dari pagi-pagi sekali saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya memastikan betapa kejamnya ibu bayi ini. Saya sangat marah. Bayangkan kalau bayi ini mati di depan pintu rumah saya, apa saya tidak tersangkut urusan polisi?” ujar perempuan gemuk itu sampai lupa memperkenalkan diri, dan langsung curhat.
“Tenang dulu bu, tenang. . . . .! Sekarang biar saya urus dulu bayinya!” ujar Bu Salina ketika menerima bayi, lalu masuk ke ruangan lain.
Beberapa menit kemudian Bu Salina kembali ke ruang tamu. Namun tidak didapatinya lagi si ibu yang membawa bayi. Yang tertinggal hanya selembar kertas bergaris dengan tulisan tangan tak beraturan.
***
Detak jarum jam sudah menunjukkan waktu mendekati tengah malam. Bu Salina masih di meja kerjanya sambil sesekali mengawasi Adimas. Bayi merah yang baru saja tertidur pulas setelah meneguk 100 mililiter susu formula. Di atas meja, Bu Salina membuka sebuah buku harian merah jambu yang telah menemaninya melewati tahun-tahun kehidupan. Setelah membaca curahan hati di beberapa lembar terakhir, Bu Salina kembali menuliskan lanjutannya,
Bu Salina menutup buku hariannya. Lalu ganti dipandanginya kertas kumal itu. Dengan menarik nafas panjang dibukanya kembali surat ibu si bayi. “Anakku, Adimas, siapapun yang menemukanmu semoga ia menyayangimu. Ibumu ini jahat, buruk, dan tidak bertanggungjawab. Namun tentu bapakmu yang lebih buruk. Ibu tidak sanggup untuk membesarkanmu. . . . .!”
Dibacanya berulang-ulang surat itu, juga nama itu. Malam merambat jauh, bu Salina tersedu oleh ingatan akan masa lalu.
***