Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bulan Motivasi RTC) Cerpen - Jerit

24 Mei 2016   16:50 Diperbarui: 24 Mei 2016   19:44 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luar jendela kicau burung kenari diantara cabang-cabang pohon kenanga. Sinar matahari sore makin condong ke barat. Seorang ibu berkerudung ungu turun dari ojek, lalu melangkah tergesa memasuki halaman Roemah. Ia menggendong bayi dengan raut sebal. “Tunggu sebentar, Bang!” ujarnya kepada tukang ojek.

Belum sempat mengetuk, pintu berkaca membuka.

“Silahkan masuk, Bu. “Apa ibu yang tadi menelepon?” sambut Bu Salina seraya mempersilahkan tamunya duduk di kursi tamu.

“Iya, Bu! Saya ingin menyerahkan bayi ini. Dari pagi-pagi sekali saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya memastikan betapa kejamnya ibu bayi ini. Saya sangat marah. Bayangkan kalau bayi ini mati di depan pintu rumah saya, apa saya tidak tersangkut urusan polisi?” ujar perempuan gemuk itu sampai lupa memperkenalkan diri, dan langsung curhat.

“Tenang dulu bu, tenang. . . . .! Sekarang biar saya urus dulu bayinya!” ujar Bu Salina ketika menerima bayi, lalu masuk ke ruangan lain.

Beberapa menit kemudian Bu Salina kembali ke ruang tamu. Namun tidak didapatinya lagi si ibu yang membawa bayi. Yang tertinggal hanya selembar kertas bergaris dengan tulisan tangan tak beraturan.

***

Detak jarum jam sudah menunjukkan waktu mendekati tengah malam. Bu Salina masih di meja kerjanya sambil sesekali mengawasi Adimas. Bayi merah yang baru saja tertidur pulas setelah meneguk 100 mililiter susu formula. Di atas meja, Bu Salina membuka sebuah buku harian merah jambu yang telah menemaninya melewati tahun-tahun kehidupan. Setelah membaca curahan hati di beberapa lembar terakhir, Bu Salina kembali menuliskan lanjutannya,

Bu Salina menutup buku hariannya. Lalu ganti dipandanginya kertas kumal itu. Dengan menarik nafas panjang dibukanya kembali surat ibu si bayi. “Anakku, Adimas, siapapun yang menemukanmu semoga ia menyayangimu. Ibumu ini jahat, buruk, dan tidak bertanggungjawab. Namun tentu bapakmu yang lebih buruk. Ibu tidak sanggup untuk membesarkanmu. . . . .!”

Dibacanya berulang-ulang surat itu, juga nama itu. Malam merambat jauh, bu Salina tersedu oleh ingatan akan masa lalu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun