Tim d’Lapan –
Anggota: Relung Tiada Batas, Hendri Hans Zhang, Sugiyanto Hadi.
Ibu Salina selalu berusaha tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi. Namun selalu ada yang mendesak dikerjakan justru ketika malam merambat jelang puncak, jelang tengah malam. Menulis perkembangan tiap bayi, membuat laporan penggunaan dana dan berbagai bentuk bantuan, serta terutama menyiapkan berbagai keperluan esok hari.
Dan malam itu ketika mata mulai diberati kantuk, seluruh urat-syaraf tubuh seperti dicabuti, dan konsentrasi menurun drastis, sebuah teriakan menyambar daun telinganya. Sebuah pekik, sebuah jerit yang memilukan. Bulu kuduk Ibu Salina sempat meremang. Sebelum kemudian Pak Lukito –suaminya- mengingatkan jangan terlalu malam untuk tidur. “Lusa kita akan melakukan perjalanan jauh ke desa. Jaga kesehatan supaya perjalanan lancar. . .. .!”
Ingatan untuk kembali ke desa itu kiranya yang tadi didengarnya serupa jerit melengking. Agaknya itu semata teriakan histeris yang bergaung dari nestapa yang terjadi jauh pada masa lalu. . . . . !
***
Kesibukan di panti asuhan Roemah Boenda belum berhenti hingga sore ini. Silih berganti suara tangisan dari tiga belas bayi di situ.
“Baru saja seseorang menelepon ibu. Ia akan datang membawa bayi merah yang ditemukan di depan pintu rumahnya subuh tadi,” ucap Bu Salina pelan. “Beberapa panti asuhan sudah dihubungi, namun tidak ada yang mau menerima. . . . .!”
Seketika Mbak Ras Ras dan Neng menoleh. Ibu muda yang cantik itu tersenyum. Neng tersipu malu.
***