Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bulan Motivasi RTC) Cerpen - Jerit

24 Mei 2016   16:50 Diperbarui: 24 Mei 2016   19:44 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ekspresi bayi - sumber http://greenorc.com/2016/02/adorable-watercolor-painting-you-must-see/

Tangis bayi merah terdengar melengking. Perempuan itu gemeteran. Menatap takut pada sosok merah penuh darah di sekujur kulitnya, tergeletak menggeliat di antara kedua kakinya. Debaran jantungnya kencang tak beraturan, dengan jemari bergetar secepat kilat di raihnya bayi itu dengan penuh ketakutan, memandang bingung...tak berkedip...pikiran kalut berkecamuk di otaknya.

Spontan otak iblisnya bangkit, seperti refleks kedua tangannya untuk membekap mulut si bayi. Namun segera otak malaikatnya menyadarkan untuk mengurungkan niat jahatnya tadi. Perempuan itu beringsut hendak bangun dan berdiri....

Bu Salina tergagap oleh lelap sesaat yang membawanya pada perjalanan hidup masa lalunya. Perjalanan ke timur masih jauh, rasa lelah dan kerinduan mendalam pada kedua orangtua melenakannya pada cerita itu.

***

Sampai di desa terpencil itu hari menjelang sore. Ibu dan ayah Bu Salina yang sudah sepuh tentu saja sangat terkejut. “Akhirnya kamu pulang juga, nak. Kukira warga kampung ini telah memaafkanmu. Sudah lama mereka tahu bahwa bukan kamu yang bersalah. . . . .!” ucap ayah dengan air mata bercucuran.

Bu Salina bersimpuh mencium kaki ibu dan ayahnya. Hampir lima belas tahun Salina pergi, dan selama itu pula tidak berkhabar berita dan pantang menginjakkan kaki ke desanya. Kehamilan hingga kelahiran bayi yang disembunyikan dulu,  tidak mampu menghindarkannya dari hukum adat di desa itu. Salina muda diusir pergi karena didakwa telah membawa aib desa mereka.

Seorang pemuda tanggung keluar dari dalam rumah dengan sikap canggung. Bu Murtari memeluk pemuda itu. “Adimas, sungkemlah pada ibumu. Dialah yang melahirkanmu, seseorang yang tidak pernah nenek ceritakan keberadaannya darimu. . . . .!” ujar, ibu dari Salina, menyuruh remaja itu untuk melihat siapa yang datang.

Bu Salina terjingkat kaget, lalu menjerit histeris. Pingsan! Disangkanya darah dagingnya itu telah lama mati. Selama itu ia justru merawat bayi-bayi lain yang tidak dikenalnya.

Pak Lukito bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Namun otaknya cepat berpikir, agaknya itulah yang disembunyikan Bu Salina selama ini.  

Bu Murtari mengajak Pak Lukito menjauh, dan berbisik : “Beberapa lelaki tak bertanggungjawab memberi minuman keras pada Wasi, lalu merudapaksanya dengan bengis. Warga tidak tahu aib ini, sampai salah seorang diantara mereka membuat pengakuan tertulis sebelum bunuh diri! Kalau kamu betul mencintainya, ibu berharap berlapang-dadalah atas peristiwa ini . . . .!”

Bandung, 24 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun