Pagi itu hangatnya matahari menerobos jendela kaca. Mbak Ras memandikan Adimas, lalu memakaikan popok sambil berdendang. Sebaliknya Neng tampak kesal. Si perawat berkulit hitam manis itu sedang mengisi botol susu formula. Ia memandang sinis ke arah Adimas dan dua orang sukarelawan yang tertawa-tawa meriah.
"Mbak Ras...bayi dari mana lagi tu mbak..?” tanya Neng dengan nada ketus. Mbak Ras hanya menggeleng, tidak menanggapi sikap si gadis kurus yang ceriwis itu. "Bayi itu anak siapa sih....huuuff... seenaknya saja membuangnya kesini..."
Tidak puas dengan sikap Mbak Ras, Neng bangkit dengan menggendong salah satu bayi dan pergi ke ruang kerja Bu Salina.
"Maaf saya pingin tahu, Bu, bayi yang baru itu berasal dari mana? Saya penasaran sekali. Ia anak siapa? ” Neng bertanya dengan nada sinis .
Bu Salina tersenyum, tidak menanggapi pertanyaan itu. “Ibu tidak tahu apa masalahmu. Tapi kalau sikapmu tidak berubah, rasanya kamu tidak cocok lagi bekerja di sini. . . . .”
***
Kejadian pagi tadi masih membekas di hati Neng. Dia merasa kesal dengan Bu Salina yang tidak mau menjawab satupun pertanyaan yang diajukannya mengenai asal usul orangtua si bayi merah. Pikiran buntunya sudah memilih jalan untuk minggat dari Roemah, malam ini. Neng tampak sibuk melipat pakaian, menyusunnya ke dalam koper. Bu Salina mendapat laporan dari Ras mengenai niat Neng untuk meninggalkan Roemah Boenda.
***
Ibu Salina tidak menyalahkan pendirian Neng, karena dulu ia juga bersikap seperti itu. Dulu sekali sebelum sesuatu menimpa dirinya.
Ibu Salina menjelaskan: “Meski tidak lengkap, ibu punya mencatat setiap bayi yang dititipkan di sini. Cerita duka dan aib biarlah tertinggal di masa lalu. Namun si bayi perlu akte kelahiran, riwayat kesehatan, dan sekelumit cerita mengapa ia terdampar di sini.. . . . .!” ucap Bu Salina sambil memegang sebuah buku tulis besar.
Mbak Ras mengangguk. Neng tertunduk. Entah pikiran apa saja yang berkecamuk di kepalanya.