[caption caption="Ilustrasi set tv show - bicubic-studio.com"][/caption] Setelah memarkir mobil dan berjalan melalui pemeriksaan petugas keamanan, Wasi berjalan memasuki kantor stasiun tv Nayaka. Sambil berjalan ia mengamati suasana pagi yang ramai. Hari itu ia tampak anggun mengenakan kemeja formal merah muda dan celana panjang hitam dengan tas kerja warna senada. Ditambah beberapa asesoris yang tidak terlalu mencolok mata, itu menjadikannya seorang perempuan dengan pesona yang tertutup.
Ruangan-ruangan dibatasi dengan dinding kaca, sehingga terlihat dari ruangan lain maupun dari lorong panjang luar. Tiap orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang di depan layar komputer, yang lain asyik dengan aneka peralatan produksi televisi. Ada juga yang sedang mengadakan rapat kecil dengan beberapa anggota rapat.
Banyak tenaga muda yang kelihatan masih sangat bersemangat dan penuh gairah memperlihatkan potensi diri seperti dituntut oleh perusahaan. Produksi acara selalu dimulai dari pagi, dari mulai perencanaan hingga pasca produksi, terlebih untuk program acara live yang memerlukan persiapan matang. Mereka tidak mungkin bergerak begitu kecuali ada satu tuntutan.
Tuntutan perusahaan? Wasi tersenyum sendiri menyadari betapa semua orang bergerak karena kepentingan pihak lain. Pihak pemilik modal, pihak pemilik perusahaan, dan entah siapa saja yang berada dibalik kepentingan kebijakan siaran maupun redaksional suatu konten acara pada stasiun tv yang bersangkautan. Kalau dilihat dengan kacamata orang pesimisik tentu terlihat betapa para karyawan itu bekerja seperti kerbau dicocok hidung, seperti robot, seperti tidak ada pilihan lain meski mereka bergerak dalam bidang kreatif.
“Mencemaskan kalau diukur dari sudut kemanusiaan. Namun zaman tak terbendung bergulir ke arah modernitas yang justru membatasi seseorang untuk tidak terbelenggu pada kemauan pengusaha dan penguasa. Tapi apakah sudah sedemikian parah?” gumam batin Wasi jadi rumit sendiri. Tapi ia harus maklum setidaknya untuk sementara, sebab persaingan bisnis siaran saat ini sudah sedemikian ketat.
Tiba-tiba Wasi bertemu dngan Pak Harmin yang berjalan dari awah berlawanan.
“Hai, kemana saja? Wah, semua jadi repot kemarin. . . ..”, ucap Pak Harmin yang umurnya sepantaran Wasi itu sambil menjabat erat tangan tamunya.
“Saya hanya bisa bilang minta maaf. Tapi yah, begitulah yang terjadi. Semua serba tak terduga. . . . . .!” jawab Wasi.
“Ada yang bilang kecelakaan ya?”
“Agak memalukan untuk diceritakan sebenarnya. Saya harus melapor dulu ke Bos. Tentu beliau nanti yang akan menyampaikan kepada perusahaan maupun karyawan lain yang berkepentingan mengenai masalah saya ini. . . .hehe.. . . .!”
“Ya. . .ya, tentu saja. Mudah-mudahan ini bukan persoalan besar dengan konsekuensi tinggi. . . .!”
“Terimakasih perhatiannya, Pak Harmin. Sampai ketemu ya. . . . .!” ujar Wasi melanjutkan berjalan meninggalkan Pak Harmin agar tidak terlalu mengganggu kesibukan lelaki itu.
“Ohya, sampai ketemu. . . . . .!” jawab Pak Harmin seraya melangkah ke arah studio empat di lantai lima.
Wasi bertemu lagi dengan beberapa karyawan lain, lalu berbasa-basi sedikit sebelum melanjutkan langkah. Wasi menggaris bawahi pernyataan Pak Harmin: mudah-mudahan bukan pesolan besar! Terasa betapa tiap langkah memiliki nilai penting. Seperti dua setahun lalu ketika ia mengajukan proposal untuk menjadi host pada acara Bincang Jelata yang ditawarkan.
Ada dua puluh tujuh peserta test. Semua cantik dan cerdas seperti tampaknya, dengan penampilan yang sangat memukau. Beberapa kontestan terlihat sudah sangat familier, yang lain sudah berpengalaman sebagai penyiar radio, dan ada pula yang baru coba-coba untuk meniti karier di bidang Broadcasting. Tentu berbeda dengan menyanyi di panggung, berbeda pula dengan berpidato didepan khalayak.
Didepan kamera semua serba terukur, gerak tubuh, perubahan mimik, bahkan arah pandangan pun diatur. Bersamaan dengan itu hafalan kalimat demi kalimat yang disampaikan dengan gaya bertutur santai seolah terucap secara spontan harus dilakukan dengan tepat. Kesesuaian dengan durasi menjadi ketentuan lain yang tak tidak boleh dilanggar..
Wasi ingat semua tes tertulis maupun wawancara dilaluinya dengan sangat baik. Bahkan ia berani beraruh mampu mengalahkan peserta tes lain. Namun saat harus tampil di depan kamera rasa grogi dan serba salah tiba-tiba melanca perasaannya.
Hasilnya ia gugur. Jatuh, tidak lulus. Padahal jumlah peserta yangmasih berahan tinggal lima orang. Yang lain gugur satu demi satu pada setiap tahapan test.
“Sayang sekali, padahal. . . . . .!” kata-kata itu terlontar dari beberapa orang penguji.
Wasi hanya bisa menunduk dengan penyesalan. Seberapapun semua amenganggap sebagai iseng-iseng saja melamar sebagai presentar acara tv, pada akhirnya ia merasa ada satu tantangan yang sangat menarik. Pada hari-hari terakhir sebelum tes ia jadi begiu serius mempersiapkan diri. Namun ternyata keinginannya itu tak teraih.
Salah satu penentu siapa yang bakal terpilih sebagai host siapa lagi kalau bukan Mas Dayu. Nama lengkapnya Harmono Dayu Aji, seorang lelaki yang konon masih berdarah biru. Gaya bicara dan tindak-tanduknya sangat halus untuk ukuran seorang lelaki. Namun sikap dan karakternya sangat tegas, bahkan cenderung otoriter. Wasi melihat dua sikap kontradiktif itu. Agak mengherankan sebenarnya, tapi toh ada orang seperti itu. . . .
Pikiran Wasi beredar kemana saja, pandangan pun jadi tidak fokus. Tiba-tiba entah kenapa satu kakinya salah melangkah, hampir saja high heels hitam yang dikenakannya terpeleset.
“Ohh, aduh. . . . .!” seru Wasi spontan. Ia menunduk ketika harus mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Hampir saja jatuh terpelanting kalau tidak ada tangan kuat yang meraih lengannya dengan cepat. “Kalau sedang berjalan jangan melamun dong. . . . .! Hayoo sedang mikiran apa?” ucap seseorang dengan nada sangat medok.
Wasi sejenak mengembalikan kosentrasi sebelum kemudian mengenal siap yang telah menyalamatkannya dari peristiwa kecil yang pasti tak akan dilupakannya jika betul terjadi. Terpelanting, lalu jatuh terduduk tanpa jelas apa penyebabnya. Ohh, Tuhan kemana harus kusembunyikan wajah cantik ini?!
“Mas Dayu. . . .!” kata Wasi terbata-bata setelah berhasil berdiri tegak. Senyum manisnya mungkin dilihat orang lain agak kecut juga. Senyum yang dipaksakan.
“Saya ingin menghadap, bapak. . . .!”
“Ohya, ayolah ke ruangan saya. Saya perlu tahu persis apa yang terjadi kemarin. Saya pikir akibat kecelakaan itu Wasi harus mangkir sampai beberapa hari dari acara kita itu. . . . . . !”
“Oh, tidak sampai separah!”
“Syukurlah. Ayo. . . . .!”
Mas Dayu mendahului masuk ke ruangan kantornya. Sebuah ruangan yang lega, dengan udara AC kelewat dingin. Di dinding kaca ruangan tergantung beberapa gambar besar, diantaranya desain studio, gambar set panggung, serta foto pelaksanaan acara lain yang ditanganinya. Selain itu ada perabotan dan perangkat kerja yang tertata rapi dan efisien. Wasi masuk ruangan dengan pandangan menyelidik diedarkan ke sekeliling.
“Mau minum apa? Kebiasaan saya setiap pagi segelas coklat dengn beberapa kue. Minuman lain juga ada, yang dingin atau panas... . .!” Mas Dayu memberi tawaran begitu duduk di kursi kerja di belakang mejanya.
Wasi mengambil kursi kerja, lalu duduk di depan meja Mas Dayu. “Tidak perlu repot-repot, Mas. Tapi kalau ada kopi hitam mungkin memadai untuk ruangan sedingin ini. Tadi di rumah tidak sempat sarapan, akibatnya tadi melangkah pun jadi beribet hampir jatuh. . . . .!”
“Beruntung segera datang dewa penolong ya. . . . . hehe!” tambah Mas Dayu sesaat sebelum memencet tombol komunikasi internal untuk memesan kopi hitam ke bagian rumah tangga. “Oke, sambil menunggu pesanan, silahkan Wasi sampaikan apa yang sebenarnya terjadi kemarin itu. . . . .!”
(Bersambung)
Bandung, 12 April 2016
Cerita sebelumnya :
bab-iii-satu, bab ii- empat, bab ii - tiga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H