Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab III – Dua

12 April 2016   06:52 Diperbarui: 12 April 2016   07:15 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi set tv show - bicubic-studio.com"][/caption] Setelah memarkir mobil dan berjalan melalui pemeriksaan petugas keamanan, Wasi berjalan memasuki kantor stasiun tv Nayaka. Sambil berjalan ia mengamati suasana pagi yang ramai. Hari itu ia tampak anggun mengenakan kemeja formal merah muda dan celana panjang hitam dengan tas kerja warna senada.  Ditambah beberapa asesoris yang tidak terlalu mencolok mata, itu menjadikannya seorang perempuan dengan pesona yang tertutup. 

Ruangan-ruangan dibatasi dengan dinding kaca, sehingga terlihat dari ruangan lain maupun dari lorong panjang luar. Tiap orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang di depan layar komputer, yang lain asyik dengan aneka peralatan produksi televisi. Ada juga yang sedang mengadakan rapat kecil dengan beberapa anggota rapat.

Banyak tenaga muda yang kelihatan masih sangat bersemangat dan penuh gairah memperlihatkan potensi diri seperti dituntut oleh perusahaan. Produksi acara selalu dimulai dari pagi, dari mulai perencanaan hingga pasca produksi, terlebih untuk program acara live yang memerlukan persiapan matang. Mereka tidak mungkin bergerak begitu kecuali ada satu tuntutan.

Tuntutan perusahaan? Wasi tersenyum sendiri menyadari betapa semua orang bergerak karena kepentingan pihak lain. Pihak pemilik modal, pihak pemilik perusahaan, dan entah siapa saja yang berada dibalik kepentingan kebijakan siaran maupun redaksional suatu konten acara pada stasiun tv yang bersangkautan. Kalau dilihat dengan kacamata orang pesimisik tentu terlihat betapa para karyawan itu bekerja seperti kerbau dicocok hidung, seperti robot, seperti tidak ada pilihan lain meski mereka bergerak dalam bidang kreatif.

“Mencemaskan kalau diukur dari sudut kemanusiaan. Namun zaman tak terbendung bergulir ke arah modernitas yang justru membatasi seseorang untuk tidak terbelenggu pada kemauan pengusaha dan penguasa. Tapi apakah sudah sedemikian parah?” gumam batin Wasi jadi rumit sendiri. Tapi ia harus maklum setidaknya untuk sementara, sebab persaingan bisnis siaran saat ini sudah sedemikian ketat.

Tiba-tiba Wasi bertemu dngan Pak Harmin yang berjalan dari awah berlawanan.

“Hai, kemana saja? Wah, semua jadi repot kemarin. . . ..”, ucap Pak Harmin yang umurnya sepantaran Wasi itu sambil menjabat erat tangan tamunya.

“Saya hanya bisa bilang minta maaf. Tapi yah, begitulah yang terjadi. Semua serba tak terduga. . . . . .!” jawab Wasi.

“Ada yang bilang kecelakaan ya?”

“Agak memalukan untuk diceritakan sebenarnya. Saya harus melapor dulu ke Bos. Tentu beliau nanti yang akan menyampaikan kepada perusahaan maupun karyawan lain yang berkepentingan mengenai masalah saya ini. . . .hehe.. . . .!”

“Ya. . .ya, tentu saja. Mudah-mudahan ini bukan persoalan besar dengan konsekuensi tinggi. . . .!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun