“Terimakasih perhatiannya, Pak Harmin. Sampai ketemu ya. . . . .!” ujar Wasi melanjutkan berjalan meninggalkan Pak Harmin agar tidak terlalu mengganggu kesibukan lelaki itu.
“Ohya, sampai ketemu. . . . . .!” jawab Pak Harmin seraya melangkah ke arah studio empat di lantai lima.
Wasi bertemu lagi dengan beberapa karyawan lain, lalu berbasa-basi sedikit sebelum melanjutkan langkah. Wasi menggaris bawahi pernyataan Pak Harmin: mudah-mudahan bukan pesolan besar! Terasa betapa tiap langkah memiliki nilai penting. Seperti dua setahun lalu ketika ia mengajukan proposal untuk menjadi host pada acara Bincang Jelata yang ditawarkan.
Ada dua puluh tujuh peserta test. Semua cantik dan cerdas seperti tampaknya, dengan penampilan yang sangat memukau. Beberapa kontestan terlihat sudah sangat familier, yang lain sudah berpengalaman sebagai penyiar radio, dan ada pula yang baru coba-coba untuk meniti karier di bidang Broadcasting. Tentu berbeda dengan menyanyi di panggung, berbeda pula dengan berpidato didepan khalayak.
Didepan kamera semua serba terukur, gerak tubuh, perubahan mimik, bahkan arah pandangan pun diatur. Bersamaan dengan itu hafalan kalimat demi kalimat yang disampaikan dengan gaya bertutur santai seolah terucap secara spontan harus dilakukan dengan tepat. Kesesuaian dengan durasi menjadi ketentuan lain yang tak tidak boleh dilanggar..
Wasi ingat semua tes tertulis maupun wawancara dilaluinya dengan sangat baik. Bahkan ia berani beraruh mampu mengalahkan peserta tes lain. Namun saat harus tampil di depan kamera rasa grogi dan serba salah tiba-tiba melanca perasaannya.
Hasilnya ia gugur. Jatuh, tidak lulus. Padahal jumlah peserta yangmasih berahan tinggal lima orang. Yang lain gugur satu demi satu pada setiap tahapan test.
“Sayang sekali, padahal. . . . . .!” kata-kata itu terlontar dari beberapa orang penguji.
Wasi hanya bisa menunduk dengan penyesalan. Seberapapun semua amenganggap sebagai iseng-iseng saja melamar sebagai presentar acara tv, pada akhirnya ia merasa ada satu tantangan yang sangat menarik. Pada hari-hari terakhir sebelum tes ia jadi begiu serius mempersiapkan diri. Namun ternyata keinginannya itu tak teraih.
Salah satu penentu siapa yang bakal terpilih sebagai host siapa lagi kalau bukan Mas Dayu. Nama lengkapnya Harmono Dayu Aji, seorang lelaki yang konon masih berdarah biru. Gaya bicara dan tindak-tanduknya sangat halus untuk ukuran seorang lelaki. Namun sikap dan karakternya sangat tegas, bahkan cenderung otoriter. Wasi melihat dua sikap kontradiktif itu. Agak mengherankan sebenarnya, tapi toh ada orang seperti itu. . . .
Pikiran Wasi beredar kemana saja, pandangan pun jadi tidak fokus. Tiba-tiba entah kenapa satu kakinya salah melangkah, hampir saja high heels hitam yang dikenakannya terpeleset.