Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Pelabuhan Bitung, Ombak pun Limbung

20 Januari 2016   00:43 Diperbarui: 30 Januari 2016   00:18 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pelabuhan Bitung"][/caption]

1/

Petang menyusup senyap, merayap, sisakan gema Maghrib

Saat camar berputar-putar di dermaga, temaram, mengiba

Di kejauhan dalam kerlip lampu puluhan kapal  berderet

Menunggu bertukar jangkar, sandar, atau  bongkar-muat,

 

Di sepenggalah jarak bayangan hitam Pulau Lembeh

Dipisahkan lipatan ombak yang bergegas menyibak

Dari jauh lautan Pasifik di utara, kumpulan kisah membatu

Dan lambaian nyiur pada bukit- bukit di ujung pulau

 

2/

Itu kenangan dulu, penggal cerita silam ketika

Tiada cukup tebal dompet untuk menyeberang ke Jawa

Berjejalan saja di kelas ekonomi lambung kapal Kambuna

Terbaring di lantai beralas tikar, terselip lalu-lalang tanya

 

Ramai penumpang tua-muda bicara lepas aneka bahasa

Dari timur, dari selatan, barat, logat juga celoteh berbusa

Keakaraban kerabat tiap kelompok berbeda, pencari kerja

Pegawai, pengangguran, dan pedagang antar pulau

 

3/

Aku sendiri saja, termangu, menyertai tiga anak dan isteri

Memeluk mimpi meski  tanpa bekal untuk kembali

Ke kampung halaman, ke tanah lahir, menjenguk pusara bunda

Rindu yang tersingkap pada deras perputaran harap

 

Di Pelabuhan Bitung, di terminal penumpang, pernah kala itu

Rantai perjalanan tiap sekerat terasa padat menjadi tua

Hampir seminggu terapung, singgah dan melempar layar

Pada lima pelabuhan, pulau berbeda, sandar dan melaju

 

4/

Kini manakala sengat matahari merapuh, kenangan itu

Serupa hari yang lumat disaput mendung, berkabung

Anak-anak tak lagi  bocah, dan langkah isteri pun mendahului

Perjalanan terasa lambat makin jauh, penat, makin jauh

 

Dan tiba-tiba tersadar,aku di sini,  malam terongok tinggi

Kapal bergerak ke utara, memutar menyusur ujung haluan

Pucuk Sulawesi untuk berlayar, jelang pagi ke arah barat

Angin berkesiur kencang, ombak limbung ditikam bimbang

Bandung, 20 Januari 2016

Sumber gambar pelabuhan bitung

Simak juga tulisan yang lain:

1.  teroris dan koruptor beda nasib

2. bhaghoese-dan-rumah-sendiri

3. kotaku-bangga-dan-prihatin

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun