Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Pendek yang Usang Tentang Cinta

1 Juli 2013   21:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:09 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rexgrip-ku menari diatas lembar-lembar folio di atas meja belajar, tanganku enggan berhenti. Aku menulis, dan biasanya aku menyadari tak ada perencanaan di dalamnya. Namun kali ini aku membuat kerangka karangan terlebih dahulu, berbeda dengan kebiasaanku sebelumnya.


Aku memulai pendahuluan pengenalan tokoh utama, seorang karakter yang sebelumnya telah aku siapkan, seorang remaja yang tidak seperti kebanyakan. Valentino, ya namanya Valentino! Eh, bagaimana bila Juan, rasanya Juan lebih memperlihatkan karakter yang romantis daripada Valentino. Karena cerita yang aku buat bertema cinta, ya cinta! Apalagi tema yang digemari oleh orang-orang kebanyakan selain genre drama-romantis?


Aku tidak memfokuskan cerita pada detil latar dan situasi, biarkanlah pembaca bermain dengan imajinasinya sendiri, membiarkan mereka membangun sendiri realitas atas apa yang mereka baca. Seperti ketika seorang aktor membaca naskah drama. Aku lebih menitik-beratkan kompleksitas pada dialog antar tokoh. Aku sangat bersemangat membuat cerita ini, aku memberi napas pada semua karakter, aku memberi konflik pada setiap adegan, aku menanti bagaimana aku akan mengakhiri cerita ini.


Tiba-tiba suara bel rumah berdentang, siapa yang bertamu malam-malam begini? Apakah Mama kembali dari airport karena departure pesawat di-delay? Aku bergegas bangkit, beranjak menuju pintu utama dan membukanya. Namun tak seorangpun kutemui, aku melongok memperhatikan halaman dan gerbang, nihil, tak ada seorangpun! Lagipula memang seharusnya tak ada seorangpun, ini jam 11 malam, hanya tamu yang tidak tahu diri bertandang ke rumah orang jam segini. Mungkin hanya khayalanku saja, aku mencoba berpikir positif.


Aku segera menuju meja komputer kembali, meneruskan ceritaku pada lembar folio. Aku ingin membuat cerita kasarnya terlebih dahulu, bila telah selesai aku akan mengeditnya di komputer. Tidak seperti biasanya, aku selalu mengarang langsung di komputer dengan metode automatic-writing. Tetapi untuk cerita kali ini entah aku menginginkan sebuah cerita yang sempurna dan benar-benar matang.


Aku ingin bercerita tentang cinta, juga tentang aksioma, dimana manusia tak dapat melawan takdir, khususnya sang tokoh utama, Juan Lee Black. Sebuah perjuangan demi cinta yang seharusnya tidak perlu lagi dipertahankan. Tokoh kedua adalah Dewi, Dewi Sekarsari! Yup, itu nama yang bagus pikirku. Seorang gadis kampung yang sangat lugu, tetapi terpengaruh pergaulan sekolah.


Juan adalah lelaki yang begitu cerdas, ya… tokoh ini haruslah orang yang cerdas. Ia membenci kekolotan guru-guru dalam memandang murid-murid SMA HARAPAN, karena mereka menyamaratakan pribadi murid tanpa melihat keunikan dan bakat. Ia juga menghindari pergaulan, karena ia tidak menyukai teman-temannya yang terdikte trend dari media massa. Juan adalah lelaki yang mengelukan orisinalitas sebuah individu. Karena itu ia selalu menghabiskan waktunya seorang diri, bukan terpaksa tetapi itu kemauannya.


Sedang Dewi adalah wanita yang pemalu, tetapi pengaruh teman-temannya di gank mengarahkan ia menjadi wanita yang ekstrovert, aktif dan supel. Gank ini tidak terlalu bermanfaat, karena isinya adalah hura-hura. Obrolannya hanya seputar cowo ganteng nan kaya raya dan seks… tentu saja kedua hal itu yang hanya menjadi perhatian mereka. Dalam smartphone mereka dapat ditemukan beberapa potongan blue-film yang coba disembunyikan. Dan cowok yang selalu menjadi bahan omongan mereka tentu saja Juan, mereka membayangkan bagaimana rasanya make-love dengan cowok tampan itu.


Aku sudah sampai setengah jalan cerita, tidak terasa sudah tengah malam. Aku mengevaluasi kembali, lalu mengernyit. Dari awal aku hanya berkutat tentang latar kedua tokoh, ini terlalu konvensional! Aku segera menghapus beberapa scene yang tidak terlalu penting untuk jalan cerita. Aku harus mengembangkan cerita ini agar lebih romantis, sesuai dengan konsep awalku.


Tidak! Aku bosan dengan cerita cinta, aku menginginkan sebuah cerita yang lebih dari sekedar romantisme. Aku adalah tuhan disini, aku bebas mencipta untuk ceritaku. Aku memiliki kuasa yang tidak aku dapati diluar sana, aku adalah tuhan untuk karyaku!


Juan jalan bersama Dewi, sudah cukup lama. Tetapi sesuai keinginan Dewi, semakin lama mereka lebih condong ke hubungan badan. Setiap kali bertemu, Dewi mengajak kerumahnya yang selalu sepi, disana mereka saling memagut, menanggalkan pakaian, Dewi menghisap penis Juan dan begitu sebaliknya. Semakin lama mereka kian liar dan lepas kendali. Mereka dikuasai.


Hey, ini terlalu vulgar… bagaimana cerita cinta ini menjadi begitu liar? Aku terlalu membebaskan imajinasiku, tetapi bukankah memang seharusnya begitu? Membebaskan imajinasi kemana-pun ia suka. Tidak terikat oleh aturan-aturan dalam penulisan sebuah karya fiksi. Karena aku tuhan atas cerita ini, aku yang menciptakan mereka!


Juan, hanyalah lelaki yang muak dengan kontradiksi wanita. Ia membenci wanita yang membuka lebar-lebar pintu kewanitaannya, ia kecewa. Ia memuja wanita yang menjaga harga dirinya, menutup rapat-rapat rahasia kebatinannya, karena itulah sejatinya wanita. Juan mendamba.


Bagaimana bila Juan mengalami ambivalensi? Ambivalensi? Tunggu apa itu? Ya, karena hidup selalu sendirian dan merasa beban yang ia panggul terlalu berat ia mengalami ambivalensi kepribadian, keduaan, schizo. Tidak! Aku rasa bebannya tidak terlalu berat. Lho, bukankah ia selalu merasa sendirian ditambah cintanya yang terpuruk karena kekasihnya hanya mengharapkan seks? Juan membenci namun juga mencintai, itu adalah bentuk dari split personality.


Juan merengkuh dendam, maka secara asadar ia membunuh Dewi. Lalu ia mencari wanita lain dan bila ia masih tidak menemukan wanita suci yang ia dambakan maka dibunuhlah. Karena Juan berpikir wanita-wanita itu tidak pantas disebut sebagai wanita selayaknya.


Tunggu… mengapa cerita ini kian menyuram? Aku tidak mengharapkan katastrofa seperti ini! Tidak ini belum berakhir! Lalu?


Pun Juan membunuh lelaki yang memanfaatkan kontradiksi wanita, ia membantai satu persatu, bahkan ia kebiri penis korbannya dan dijadikan makanan anjing kudisan.


Jadi Juan menciptakan delusi, dari persepsi yang terpiuh? Ya… ekstrim-kan? Bukankah ini adalah cerita yang  tidak konvensional? Bukankah aku tuhan atas karyaku? Jadi ini-lah yang aku ciptakan, karena aku sudah terlalu muak dengan cerita pendek yang usang tentang cinta!


Tetapi aku hanya ingin membuat sebuah cerita tentang cinta, dimana isinya adalah kebaikan yang dapat mengajarkan kita untuk menyikapi. Sebuah cerita cinta yang abadi dan akan selalu dikenang, dimana isinya adalah perjuangan untuk melawan antonim cinta, yaitu kebencian.


Bodoh, terkesan naïf sekali! Itu sama saja memaksakan gagasan pada jalan cerita! Biarkan imajinasi menari tanpa paksaan tertentu, biarkan orang-orang mencerna sesuai dengan kemampuannya sehingga tercipta ambiguitas! Bukankah itu sejatinya sebuah cerita?


Perdebatan ini tak kunjung berakhir, sudah jam 3 malam namun aku belum juga mengantuk. Siapa tuhan ini yang sedang berada dalam manifestasiku berkarya? Ia mengambil alih napasku saat ini hingga aku hanya dapat mengeluh, selalu saja begitu.


Aku sendirian mulai hari ini, Mama mengatakan ia akan pulang minggu depan, aku takut… aku takut Thomas akan datang besok dan memaksa lagi untuk bercinta! Aku sudah terlalu muak melihatnya! Memang awalnya Thomas adalah pribadi yang menarik, ia terlihat menonjol disekolah. Tetapi aku tak menyadari bahwa lelaki tetaplah lelaki, yang menuruti ego dan diotaknya hanya tentang seks. Pemuasan yang tak pernah berhenti, jalan-jalannya jorok dan kotor.


Mengapa tidak dibunuh saja? Gila! Aku bukanlah psikopat macam Juan yang begitu mudah membunuh seseorang dengan kejam. Manusia adalah makhluk yang harus dihargai dan tidak memiliki hak untuk menghilangkan napas kehidupan yang lain. Aku bukanlah seseorang yang memaklumi hal-hal keji demi keinginan dan kesenanganku.


Apakah lelaki seperti itu pantas disebut manusia? Lelaki yang tidak menghargai wanita? Tentu mudah membunuhnya, dengan menggunakan fantasi Juan. Aku yang menciptakan Juan, tentulah aku yang menciptakan segala persepsinya. Dengan kata lain aku sendiri yang membentuk Juan dalam diriku.


Dan sekarang yang ada hanyalah rencana pembunuhan, bukan lagi perjuangan untuk berkarya? Tentu berkarya! Hidup itu sendiri adalah karya-kan? Menjalankan, membangun, dan mencipta. Sekilas kita seperti tuhan atas pemikiran kita sendiri. Tetapi rasanya seperti mengagungkan diri sendiri? Ya tentu saja, manifestasi akal menjadikan manusia tuhan atas dirinya!

Usai perdebatan tadi, puing-puing mimpi menyergap mataku, ia memohon agar aku mengistirahatkan tubuh yang kian kuyu. Dan begitulah aku tertidur…


Namun itu tidak lama. Kepalaku terasa begitu berat, aku hanya tertidur sekitar 2 jam. Sekarang hampir jam 7 pagi. Kepalaku agak pusing dan ingin sekali merebahkannya diatas pembaringan.


Cahaya matahari memenuhi ruangan, seseorang yang menyebut dirinya tuhan membuka tirai dan jendela, membiarkan hawa pagi menyergap kulitku, rasanya lembab. Ketika aku berpaling ternyata Thomas tengah duduk menghadap piano, ia membisu membelakangiku. Aku tak yakin tetapi matanya pasti tengah berkobar disana, ia pasti mengajak bercinta. Lalu Juan tengah menyeruput teh dari cangkir, asapnya mengepul. Aku hanya bisa menghela napas.


Thomas bangkit dan memulai pembincangan, “So, there’s another player here!”


Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya, aku tahu orang yang ia maksud pasti Juan.

“Maka bekenalanlah!” Orang bernama tuhan itu menanggapi.


Juan tidak mengubris, aku dapat melihat kebencian dari pancaran matanya ketika sekilas menatap Thomas. Aku seolah merasakan nafsu membunuh! Ini mengerikan, sejujurnya aku tidak ingin terlibat, namun aku harus mengakui aku tak dapat menghindar.


“Dewi akan datang hari ini, aku sudah meneleponnya!” Aku melihat senyum itu lagi di bibirnya, senyum jahat.


Keparat, benar dugaanku! Thomas pasti akan mengajak Dewi bercinta kembali. Sial apa yang harus aku lakukan? Sejujurnya aku tidak menyukai perbuatan Thomas terhadap Dewi, terlalu menjijikan untuk disaksikan. Thomas selalu memaksa Dewi dan ia akan memakainya dimana saja, dengan bermacam gaya yang tidak aku mengerti… aku mual melihatnya. Dan orang bernama tuhan itu hanya menyaksikan mereka, tanpa emosi, tanpa afeksi, terlalu dingin.


Juan meletakan cangkir dan mulai membuka mulut, “kalau begitu aku akan membunuhnya, dirimu pula Thom…” Jantungku berdetak mendengar ancaman ini.


“Hahaha… kau pikir dengan misi mulia goblokmu itu dapat memperbaiki dunia? Seberapa keras kau berusaha, semua akan menjadi sia-sia Juan!” Thomas menertawai ancaman Juan


“Setidaknya melakukan sesuatu, sekecil apapun. Walaupun dampaknya tidak terlalu besar! Karena itulah perjuangan dielukan!”


“Gyah… aku akan tetap memakainya… terlalu sayang untuk melepaskan Dewi begitu saja!”

“Teruslah mengkhayal Thom… karena mulai hari ini kau hanya dapat membayangkan Dewi yang tengah kau tiduri!” Kalimat Juan begitu optimis.


Thomas menatap tajam kearah Juan. Bendera perang sudah dikibarkan, aku hanya dapat menanti siapa yang akan memenangi pertarungan ini. Aku tidak berpihak, aku sendiri tidak terlalu memikirkan Dewi, walau ada sesuatu yang bergembira karena aku akan melihatnya hari ini.


Lelaki bernama tuhan itu menatapku, apa sebenarnya yang tersembunyi dari balik jubah dan topeng itu? Jubah hitam pekat membungkus seluruh tubuhnya, begitu juga dengan kepalanya. Yang tidak berwarna hitam hanyalah topeng dengan bentuk aneh berwarna putih. Perlahan ia mendekatiku, lalu memberikan sebuah belati dari balik jubahnya. Kemudian ia pergi, meninggalkan kami, meninggalkan kebisuan ini. Sekejab saja menghilang tanpa sepatah kata ataupun pesan.


Thomas dan Juan seperti tengah berancang-ancang, mereka sigap. Ini adalah pertarungan hidup dan mati, dan aku bodoh bila ikut campur dalam konflik mereka, karena itu aku memilih menjadi penonton. Aku masih menggenggam belati pemberian lelaki bernama tuhan, apa maksudnya? Apakah ia menginginkan aku ikut bergabung dalam pertarungan berdarah ini? Bila benar, siapa yang harus aku bunuh? Dan kapan aku harus membunuh? Bila aku harus membunuh Thomas, bagaimana jika Juan yang terlebih dahulu membunuhnya? Juga sebaliknya?


Aku berpikir cukup keras, ini merupakan pilihan yang tidak mudah! Apakah aku harus membunuh keduanya. Jika Thomas menang ia akan meniduri Dewi, maka aku harus membunuh Thomas. Tetapi jika Juan yang menang maka ia akan membunuh Dewi, karena itu aku harus membunuh Juan. Keduanya tidak menguntungkanku jika salah satu dari mereka menang, karena itu aku memiliki alasan untuk membunuh keduanya. Benar! Ini adalah keputusan yang benar. Karena sesungguhnya aku masih mencintai Dewi, walau ia telah menyakitiku.


Ketika waktunya tiba, pertarungan dimulai seiring bunyi bel rumah. Aku tahu siapa yang datang. Thomas berlari menuju pintu utama, Juan mengejar dan menjegal kakinya. Aku perlahan mengikuti dan mengawasi jalannya pergulatan. Mereka saling baku-hantam, suara-suara pukulan terdengar menggema di ruang tamu. Beberapa perabot berjatuhan, bahkan pajangan patung dewa Wisnu kesukaan Mama, hancur berantakan. Aku hanya berjingkat perlahan dan bersiap dengan belatiku untuk mencabik pemenang pertempuran ini.


Thomas mencengkram leher Juan dengan kedua tangannya, dan beberapa kali menyeruduk wajah Juan dengan kepala. Darah segar mengalir dari hidung dan mulut Juan, begitu kental.


Sementara Juan-pun melakukan perlawanan yang keras untuk lepas dari cekikkan Thomas. Ia mengayunkan beberapa pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Dari apa orang-orang ini tercipta, mereka begitu keras memperjuangkan kehidupan masing-masing? Aku melihat pertarungan yang berlangsung dengan keteguhan hati, mereka berdua tengah bergumul untuk memperjuangkan dirinya sendiri… ambisinya sendiri… nafsunya sendiri… tak ada simpati disini… tak ada belas kasih… pemandangan yang sangat mengerikan.


Pintu berulang kali diketuk dan bel berulang kali berbunyi, Dewi pasti menunggu tidak sabaran disana. Aku khawatir akan dirinya, aku takut ia membuka pintu dan terlibat dalam pergulatan Thomas dan Juan. Aku harus segera mengambil tindakan. Aku-pun harus melaksanakan rencanaku.


Aku mengawasi pergulatan itu kembali namun yang kutemukan adalah dua tubuh dilantai yang tidak bergerak sama sekali, apakah mereka mati bersamaan? Haha… mungkinkah? Aku mendekati mereka, menyentuh Thomas, ia kaku membujur dengan tangan memegang belati yang menusuk jantung Juan, begitu pula sebaliknya. Belati yang sama seperti lelaki bernama tuhan berikan padaku! Tidak aku sangkal. Mereka berdua sudah tidak bernapas, darah membasahi keduanya dan menggenang di lantai, bercampur. Darah mereka sama!


Dengan gontai aku membuka pintu dan mendapati Dewi tengah menanti. Ia tersenyum manis dihadapanku… seketika waktu berhenti, entah dengan satuan apa aku mendapatkan jeda untuk menikmati wajahnya… begitu indah, memabukan tetapi juga mengharukan karena apa yang nampak diluar jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam. Aku tak akan lagi membiarkan ia memasuki pintu rumahku… pintu hatiku… tetap sajalah disana, diberanda itu, dimana kutanamkan melati sebagai penghiasnya.


Sebelum ia menyapaku dengan segera aku hunuskan belati ke dadanya, tepat di jantungnya. Dewi tercekat lalu ambruk terkulai di hadapanku. Cahaya matahari menyiramku, memberikan kesadaran bahwa benar aku harus membunuhnya, karena aku mencintainya. Sungguh, aku mencintainya… karena itu lelaki bernama tuhan memberikan belati kepadaku.

***

Begitulah, kini aku mendapati diriku sendiri di sekolah, berjalan seorang diri menuju tempat parkir. Angin menggerak dahan pepohonan hingga terdengar daun-daun bergesekan juga menerbangkan daun tua yang tak dapat lagi bertahan di rantingnya. Seperti hujan… aku harap hari ini hujan, karena pada hujan aku mampu berkeluh kesah, pada hujan peraduanku melepas gundah, pada hujan aku menyelam gersang hati yang menginginkan simpuh, pada hujan aku menyejukan diri… membasahkan hati… walau enggan menjelma setetes butir pilu di pipi.


Aku menghampiri mobilku, sebelum memasuki kabin kemudi aku melihat Dewi, Dewi Sekarsari, melintas bersama teman-temannya. Mereka bercanda dan tertawa, entah, mungkin tengah menertawaiku. Lalu menjauh berjalan menuju gerbang sekolah. Kuamati langkahnya, memperhatikan gerak-geriknya. Napas yang tertahan adalah bukti bahwa aku sedang memandangnya penuh khidmat.


Perhatianku teralih oleh seseorang yang memanggilku, “kak Juan, Juan Thomas Valentino!” Ia berlari menghampiriku, seorang siswi grade 10. Adik kelasku yang bernama Sophia. “Hai, rasanya asyik juga memanggil nama kakak. Habis namanya lucu sih!” Ia tersenyum lebar.


“Ada apa?” Aku balik menoleh mencari Dewi, ia telah menghilang.

“Mengenai cerpen kakak, bagus sekali! Aku baru tahu kalau kakak suka mengirim ke majalah.”


“Lalu…?”

“Ceritanya rumit, tentang seorang penulis yang dihantui oleh karyanya sendiri. Ia merasakan bahwa cerpen itu menjelma kenyataan dan akhirnya membunuh pacar dan dirinya. Walau bad-ending, tetapi aku suka!”


“Hmm… tidak, itu hanya cerpen yang usang tentang cinta! Dimana sebuah perasaan yang terlalu mendalam dan memaksakan rasional-nya, hingga ia menciptakan ilusi melalui cerpen atas realitas yang membuatnya kecewa.” Aku menyudahi percakapan ini, meninggalkan dirinya memasuki mobil.


“Tapi…” Ia berusaha mencegah kepergianku.

Aku melajukan mobil, meninggalkan dirinya. Aku adalah tuhan atas karyaku, aku adalah tuhan atas ceritaku. Aku sudah muak dengan cerita cinta, walau aku tak dapat menyangkal perasaanku sendiri. Namun inilah hasil akhir yang telah kami ciptakan berdua. Manis atau pahit! Dan kata tuhan atas diri sendiri menjadi aku ragukan. Bila aku tuhan atas diriku, mengapa akhir kisah ini tak dapat kuterima sebagai kenyataan? Mengapa aku tidak mencipta akhir yang manis sesuai kehendakku? Nyatanya takdir disini mewujudkan eksistensinya, aku yang memilih dan ini adalah konsekuensi. Seperti penggabungan 2 pandangan yang bertolak belakang, sebab-akibat dan juga takdir. Dan sejatinya Tuhan itu sendiri memang menunjukan keberadaanNya.


Tetapi aku tetap bernapas pada akhirnya, perjuangan tidak pernah berakhir.  Aku telah membunuh Dewi, dan itu berarti aku hidup sendirian sekarang. Setidaknya pertarungan dijalan kehidupan ini tidak perlu lagi ada keraguan karena memikirkan dirinya… perempuan.

Ciracas, 22 September 2006. 10.18 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun