Perhatianku teralih oleh seseorang yang memanggilku, “kak Juan, Juan Thomas Valentino!” Ia berlari menghampiriku, seorang siswi grade 10. Adik kelasku yang bernama Sophia. “Hai, rasanya asyik juga memanggil nama kakak. Habis namanya lucu sih!” Ia tersenyum lebar.
“Ada apa?” Aku balik menoleh mencari Dewi, ia telah menghilang.
“Mengenai cerpen kakak, bagus sekali! Aku baru tahu kalau kakak suka mengirim ke majalah.”
“Lalu…?”
“Ceritanya rumit, tentang seorang penulis yang dihantui oleh karyanya sendiri. Ia merasakan bahwa cerpen itu menjelma kenyataan dan akhirnya membunuh pacar dan dirinya. Walau bad-ending, tetapi aku suka!”
“Hmm… tidak, itu hanya cerpen yang usang tentang cinta! Dimana sebuah perasaan yang terlalu mendalam dan memaksakan rasional-nya, hingga ia menciptakan ilusi melalui cerpen atas realitas yang membuatnya kecewa.” Aku menyudahi percakapan ini, meninggalkan dirinya memasuki mobil.
“Tapi…” Ia berusaha mencegah kepergianku.
Aku melajukan mobil, meninggalkan dirinya. Aku adalah tuhan atas karyaku, aku adalah tuhan atas ceritaku. Aku sudah muak dengan cerita cinta, walau aku tak dapat menyangkal perasaanku sendiri. Namun inilah hasil akhir yang telah kami ciptakan berdua. Manis atau pahit! Dan kata tuhan atas diri sendiri menjadi aku ragukan. Bila aku tuhan atas diriku, mengapa akhir kisah ini tak dapat kuterima sebagai kenyataan? Mengapa aku tidak mencipta akhir yang manis sesuai kehendakku? Nyatanya takdir disini mewujudkan eksistensinya, aku yang memilih dan ini adalah konsekuensi. Seperti penggabungan 2 pandangan yang bertolak belakang, sebab-akibat dan juga takdir. Dan sejatinya Tuhan itu sendiri memang menunjukan keberadaanNya.
Tetapi aku tetap bernapas pada akhirnya, perjuangan tidak pernah berakhir. Aku telah membunuh Dewi, dan itu berarti aku hidup sendirian sekarang. Setidaknya pertarungan dijalan kehidupan ini tidak perlu lagi ada keraguan karena memikirkan dirinya… perempuan.
Ciracas, 22 September 2006. 10.18 am