Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Pendek yang Usang Tentang Cinta

1 Juli 2013   21:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:09 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Thomas mencengkram leher Juan dengan kedua tangannya, dan beberapa kali menyeruduk wajah Juan dengan kepala. Darah segar mengalir dari hidung dan mulut Juan, begitu kental.


Sementara Juan-pun melakukan perlawanan yang keras untuk lepas dari cekikkan Thomas. Ia mengayunkan beberapa pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Dari apa orang-orang ini tercipta, mereka begitu keras memperjuangkan kehidupan masing-masing? Aku melihat pertarungan yang berlangsung dengan keteguhan hati, mereka berdua tengah bergumul untuk memperjuangkan dirinya sendiri… ambisinya sendiri… nafsunya sendiri… tak ada simpati disini… tak ada belas kasih… pemandangan yang sangat mengerikan.


Pintu berulang kali diketuk dan bel berulang kali berbunyi, Dewi pasti menunggu tidak sabaran disana. Aku khawatir akan dirinya, aku takut ia membuka pintu dan terlibat dalam pergulatan Thomas dan Juan. Aku harus segera mengambil tindakan. Aku-pun harus melaksanakan rencanaku.


Aku mengawasi pergulatan itu kembali namun yang kutemukan adalah dua tubuh dilantai yang tidak bergerak sama sekali, apakah mereka mati bersamaan? Haha… mungkinkah? Aku mendekati mereka, menyentuh Thomas, ia kaku membujur dengan tangan memegang belati yang menusuk jantung Juan, begitu pula sebaliknya. Belati yang sama seperti lelaki bernama tuhan berikan padaku! Tidak aku sangkal. Mereka berdua sudah tidak bernapas, darah membasahi keduanya dan menggenang di lantai, bercampur. Darah mereka sama!


Dengan gontai aku membuka pintu dan mendapati Dewi tengah menanti. Ia tersenyum manis dihadapanku… seketika waktu berhenti, entah dengan satuan apa aku mendapatkan jeda untuk menikmati wajahnya… begitu indah, memabukan tetapi juga mengharukan karena apa yang nampak diluar jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam. Aku tak akan lagi membiarkan ia memasuki pintu rumahku… pintu hatiku… tetap sajalah disana, diberanda itu, dimana kutanamkan melati sebagai penghiasnya.


Sebelum ia menyapaku dengan segera aku hunuskan belati ke dadanya, tepat di jantungnya. Dewi tercekat lalu ambruk terkulai di hadapanku. Cahaya matahari menyiramku, memberikan kesadaran bahwa benar aku harus membunuhnya, karena aku mencintainya. Sungguh, aku mencintainya… karena itu lelaki bernama tuhan memberikan belati kepadaku.

***

Begitulah, kini aku mendapati diriku sendiri di sekolah, berjalan seorang diri menuju tempat parkir. Angin menggerak dahan pepohonan hingga terdengar daun-daun bergesekan juga menerbangkan daun tua yang tak dapat lagi bertahan di rantingnya. Seperti hujan… aku harap hari ini hujan, karena pada hujan aku mampu berkeluh kesah, pada hujan peraduanku melepas gundah, pada hujan aku menyelam gersang hati yang menginginkan simpuh, pada hujan aku menyejukan diri… membasahkan hati… walau enggan menjelma setetes butir pilu di pipi.


Aku menghampiri mobilku, sebelum memasuki kabin kemudi aku melihat Dewi, Dewi Sekarsari, melintas bersama teman-temannya. Mereka bercanda dan tertawa, entah, mungkin tengah menertawaiku. Lalu menjauh berjalan menuju gerbang sekolah. Kuamati langkahnya, memperhatikan gerak-geriknya. Napas yang tertahan adalah bukti bahwa aku sedang memandangnya penuh khidmat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun