Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kramat Raya 106 Weltevreden Batavia

28 Oktober 2014   09:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14144241661654672035

Awal abad 20, Seorang bernama Sie Kong Liang mendirikan sebuah bangunan rumah di jalan Kramat Raya nomor 106, Stad Batavia (Kota Batavia). Letak rumah yang tak jauh dari STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen / Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda) dan Rechtsschool (Sekolah Hukum). Banyaknya Pelajar dan Mahasiswa membuat Sie Kong Liang berinisiatif menjadikan rumahnya itu untuk disewakan sebagai tempat kost bagi para pelajar STOVIA dan RS. Maka, sejak tahun 1908, Sie Kong Liang pun menjadikan rumah itu sebagai tempat kost.

Para pelajar dari berbagai daerah yang menyewa kost di tempat milik Sie Kong Liang itu di antaranya adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Abu Hanifah, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Soenarko, M. Amir, Roesmali, M. Tamzil, Ferdinand Lumban Tobing, Soegondo Djojopoespito, dan Koentjoro Porbopranoto.

Para pelajar yang menyewa rumah itu awalnya menamakan rumah itu dengan sebutan Commensalen Huis (Pemondokan). Lambat laun seiring makin banyaknya pelajar yang menyewa rumah besar milik Sie Kong Liang itu, mereka pun akhirnya menamakan rumah kost itu dengan nama "Langen Siswo" yang setiap malam menjadi tempat berkumpulnya para pelajar untuk berlatih maupun berdiskusi.

Diskusi biasanya dimulai dari hal yang sederhana sampai kemudian yang rumit hingga menjelang tengah malam, dari yang umum sampai curhat-curhat pribadi. Hingga kelelahan menghampiri dan...

"Ayo, yang masih punya simpanan coba keluarkan?! sudah tengah malam, sudahi yang berat-berat, enaknya santai sampil ngopi dan makan biar tidak masuk angin!" Abu Hanifah nyeletuk sambil tersenyum.

Masing-masing merogoh saku celana, kemudian mengumpulkan beberapa lembar uang ke meja paling tengah.

"Siapa yang mau jalan ke Pasar Senen?"

Serentak mereka menunjuk ke arah Abu Hanifah dan Amir Sjarifudin.

"Baiklah kalau begitu, beli apa saja ini uangnya?" Abu Hanifah bertanya

Ada yang teriak kopi, ada yang teriak sate dan ada juga yang teriak soto.

"Ayo Mir... kalau begitu kita cari Kopi plus Sate atau Soto!" Abu Hanifah memberi tanda berangkat pada Amir Sjarifudin.

***

Sambil ngopi plus pun pembicaraan bisa berlanjut ke arah asmara dan wanita yang disukai atau ditaksir. Dan kelelahan serta rasa kantuk lah yang akhirnya membubarkan mereka untuk masuk ke kamar masing-masing.

***

Diskusi dan latihan seni bisa menghilang manakala waktu ujian tiba, masing-masing mengurung diri dalam kamarnya untuk belajar. Barulah pada tengah malam , beberapa keluar dari kamar untuk melepas suntuk. Seperti malam itu ketika Amir Sjarifudin keluar dari kamarnya dengan membawa Biolanya. Sambil duduk santai, ia pun menggesek Biolanya memainkan gubahan Schubert ataupun Sonata yang sentimentil. Lantunan biola yang memancing Abu Hanifah keluar dari kamarnya dan bergabung dengan biolanya pula. Memainkan lagu yang sama seperti yang tadi dilantunkan oleh Amir Sjarifudin.

"Lebih bagus gesekanku kan hehehe?" celetuk Abu Hanifah.

"Masih terdengar ada sedikit sumbang, jelas lebih melantun tanpa sumbang gesekanku!" Amir Sjarifudin tak mau kalah.

"Owh... begitukah coba kita lantunkan bersama!"

Keduanya mengangguk. Dan...

"Heeeiii tak bisakah kalian untuk tidak berisik tengah malam begini!" M. Yamin membuka jendela sambil berteriak ke arah mereka berdua.

"Hahaha... turunlah lupakan sejenak kepusingan itu!" Amir Sjarifudin melambaikan tangannya pada M. Yamin.

"Dasar kalian berdua tak tahu kalau orang sedang pusing!" Yamin memberi tanda agar mereka tak berisik untuk kedua kalinya.

Namun bukannya berhenti, Abu Hanifah dan Amir Sjarifudin malah semakin menjadi menggesek biola mereka. Sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka sebenarnya tahu kalau M. Yamin sedang pusing menerjemahkan sesuatu untuk Deadline ke Balai Poestaka.

***

1927... semakin banyak para pelajar dan pemuda melakukan kegiatan di rumah itu. Mulai dari Kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, termasuk pula Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia yang didirikan oleh Raden Tumenggung Djaksodipoera bersama Soegondo, Soewirjo, Goelarso, Darwis, dan Abdoellah Sigit. Akhirnya rumah itu pun berganti nama kembali menjadi Indonesische Clubhuis yang artinya Gedung Pertemuan para pemuda Indonesia.

Banyaknya kegiatan para Pemuda Indonesia di rumah kost itu akhirnya menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda, yang menjadikan rumah itu akhirnya di awasi oleh Polisi Kolonial. Namun yang namanya pemuda dan pelajar tentunya tak hilang akal atau kecerdikannya, maka setiap ada rapat ataupun pertemuan di rumah itu, jika arah pembahasan sudah masuk ke arah perubahan dan kemerdekaan dan polisi kolonial mulai curiga, maka rapat pun seketika bisa jadi berubah jadi acara tarian atau pun dansa yang mengikuti kebiasaan dan kebudayaan pemerintah kolonial.

***

Pertengahan Agustus 1928, para Pemuda kembali sepakat untuk menggunakan rumah kost itu sebagai tempat untuk menggelar Kongres Pemuda ke-2 dengan Soegondo Djojopoespito sebagai pimpinan Kongres.

Akhirnya pada Sabtu, 27 Oktober 1928, pukul 19.45, Kongres Pemuda Ke-2 resmi dibuka di rumah kost itu. Kongres itu tak luput dari pengawasan Polisi Kolonial.

"Ini bukan rapat Politik, tolong jangan gunakan kata "Merdeka" atau "Kemerdekaan", harap tahu sama tahu saja!"

Demikian Soegondo berkata ketika rapat menjadi sedikit ricuh akibat protes dari polisi Kolonial manakala ada peserta kongres yang menyebut kata "Merdeka". Para pseserta pun spontan bertepuk tangan. Suasana kembali reda.

***

28 Oktober 1928...

Sesi terakhir kongres diisi dengan pidato dari utusan Kepanduan, Mr. Sunario. Di tengah sesi pidato itu, M. Yamin yang duduk bersebelahan dengan Soegondo, menyodorkan secarik kertas pada Soegondo, sambil berkata...

"Ini usulan rumusan resolusi yang saya buat!"

Soegondo membaca usulan resolusi itu kemudian memandang M. Yamin. M. Yamin tersenyum ke arah Soegondo. Soegondo akhirnya membubuhkan paraf tanda menyetujui hal itu. Kertas usulan resolusi itu kemudian disodorkan oleh Soegondo kepada Amir Sjarifudin. Amir Sarifudin sempat kebingungan seolah bertanya kepada Soegondo melalui mimik wajah. Soegondo menganggukkan kepalanya ke arah Amir Sjarifudin. Akhirnya Amir Sjarifudin pun ikut membubuhkan paraf setuju.Demikian seterusnya sampai seluruh peserta Kongres minus polisi Kolonial yang mengawasi memberi paraf setuju.

Usulan resolusi yang telah di setujui seluruh peserta kongres pun akhirnya di bacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan oleh M. Yamin.

Usulan resolusi yang ternyata adalah Ikrar yang berbunyi:

"Pertama : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea   : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."

Demikian bunyi Ikrar tersebut yang pada akhirnya menjadi sebuah putusan dari Kongres Pemuda Ke-2 yang diberi nama "Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia" tertanggal 28 Oktober 1928.

***

Menjelang penutupan kongres, seorang pemuda berpewarakan kurus sambil menenteng sebuah biola menghampiri pimpinan rapat Soegondo. Sambil menyerahkan secarik kertas ia berkata...

"Saya Wage Rudolf Soepratman. Izinkan saya membawakan lagu yang saya tulis sebelum rapat ini ditutup?!"

Soegondo membaca isi lagu yang diserahkan oleh Wage Rudolf Soepratman. Sebuah lagu berjudul "Indonesia Raya". Memahami situasi dan kondisi, Soegondo berucap pada Wage Rudolf Soepratman...

"Saya izinkan lagu ini dikumandangkan olehmu dengan biolamu namun tanpa syair mengingat situasi dan konsisi di sini yang dalam pengawasan polisi Kolonial!"

Pemuda itu mengangguk dan kemudian memperdengarkan untuk pertama kalinya tanpa syair lagu berjudul "Indonesia Raya" yang pada akhir lagu disambut dengan tepuk tangan yang begitu meriah dari peserta Kongres. Soegondo pun tersenyum... dan semua yang hadir dalam kongres itu pun tersenyum. Kongres yang akhirnya ditutup dengan senyuman dan putusan yang merupakan cikal bakal dari Satu Indonesia, satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

***

Usai Kongres Pemuda ke-2, para pelajar dan pemuda yang bersekolah pun telah banyak yang lulus. Satu demi satu meninggalkan rumah kost itu. Dan akhirnya sejak tahun 1934, Sie Kong Liang beberapa kali mengontrakkan rumah itu. Hingga pada tahun 1951, bangunan rumah itu dikuasai oleh Inspektorat Bea dan Cukai. Stad Batavia telah berubah nama menjadi Jakarta. Akhirnya atas permohonan dari seorang tokoh Kongres Pemuda, Mr. Sunario, rumah Sie Kong Liang itu pun dipugar dan diresmikan sebagai Museum Sumpah Pemuda oleh Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin.

***

"Kejayaan dan Kebesaran kita bukan karena kita tak pernah jatuh,

melainkan dari setiap kebangkitan saat kita jatuh."

(Confucius)

~000OOO000~

~Dari Pelbagai Sumber~

Ilustrasi "Poetoesan Congres Pemoeda-pemoeda Indonesia" dari astacala.org

~Hsu~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun