Mohon tunggu...
Hanung Teguh
Hanung Teguh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya pegawe di kantor pajak nun jauh di Banda Aceh sana...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Can, Terima Kasih....

7 Mei 2010   17:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

00:15 April 2010, Jogya

“Assalaamu'alaikum.... Can... Can... Buka pintunya dong Can”, berkali-kali kuketuk pintu ini. Meminta sebuah respon dari dalam rumah. Hujan deras diluar, memaksaku untuk bergegas mendengar sahutan dari dalam rumah.

“Can... Can...” *ketukanku melemah dan akhirnya berhenti*

”Ya sudahlah kalau begitu” *batinku sambil mengeluarkan kunci dari dalam sakuku*

Kuenyahkan segala kedongkolan karena kedinginan akibat hujan dan kelelahan setelah seharian mengurus toko utama. “Mungkin dia masih belum sembuh tadi”

Begitu masuk ke dalam rumah, kulihat sesosok tubuh yang sedang tidur di sofa. Kelelahan. Wajahnya teduh menenangkan ketika melihatnya. Segala rasa sebal dan capek itu seolah-olah hilang begitu saja. Lega...

“Ah, benar...” gumamku lirih.

********

Mei 2005, Solo

“Nurul”

Sebuah tangan tersodor kepadaku, menunggu tanganku untuk membalas salamnya. Aku hanya bisa terpaku. Terdiam melihat pemilik tangan tersebut.

“Ah, Fikri”, sahutku menyapa kembali. Kuharap kegugupanku tak nampak. Semoga...

Perkenalan yang sederhana dengan gadis sederhana pula. Tidak cantik juga tidak jelek, bisa dibilang biasa. Namun, pada detik itu aku tahu ada “rasa” yang tumbuh di dalam hatiku. Kami adalah satu tim dalam kementerian PSDM BEM UNS, kampus biru kami. Tapi cerita kami tidak sebiru kampus biru. Cerita kami adalah cerita kerja, kerja dan kerja. Hanya sedikit yang mampu diceritakan dalam pertemanan kami.

Aku adalah seorang pendiam, susah mengungkapkan perasaan. Begitu pula ia. Hampir tak ada kata-kata yang terucap selain beberapa perkembangan progres report berbagai kegiatan yang kami tangani.

********

00:38 April 2010, Jogya

Ayam goreng, dan sayur sup yang masih hangat masih mengepul di atas meja. Kurasa Si Can repot-repot menghangatkannya. Masih terasa hangat ketika kusendok ke dalam mangkuk. Lapar.

Diluar masih lebat dan petir menyambar-nyambar. Mengingatkanku akan kenangan sebuah kegagalan di masa lalu.

********

April 2006, BEM

"Aku suka kamu"

Entah darimana keberanian -atau mungkin sebuah  kenekatan- itu tumbuh sehingga aku mampu mengatakan hal ini. Sebuah kejujuran yang kupendam sekian lama akhirnya terucap pula.

Dia terdiam dan ruangan ini yang sedari tadi sepi masih lengang dengan diamnya kami. Mukanya merona dan ia terus menunduk.

Diterima? Tidak? Gagal? Sukses? Ah whatever!! Yang penting aku sudah jujur mengungkapkan apa yang ada selama ini. Aku tak peduli apapun hasilnya. Aku hanya ingin melepaskan segala rasa ini dengan segala resikonya. Entah ia menerima atau menolak rasa ini.

"Fik"...

"Ya?", gugup aku menjawab sapaannya. Berharap...

*bagaimanapun, hal ini adalah kejujuranku..*

"Tahukah engkau Fik? Sedari dahulu aku mendamba seorang kekasih, seseorang yang membuatku nyaman dan yang mampu membuatku merasa tenang"

"Sedari dulu aku mendamba seorang laki-laki yang mau bertanggung jawab. Seseorang yang membuatku merasa aman. Seorang lelaki yang tahu kelelakiannya"

"Sedari dulu aku mendamba seorang lelaki yang dewasa. Seseorang yang mau menghadapi kenyataan hidup. Yang mampu mengajakku bersama untuk dewasa"

"Sedari dulu aku mendamba seorang lelaki yang sederhana. Yang mau menerima diriku apa adanya. yang di setia. Entah di depanku apalagi di belakangku"

Kata-katanya manis namun menusuk tajam di dalam hatiku. Aku mendengarkannya. Dan entah kenapa, aku tahu ujungnya akan mengarah kemana. Kuatkan dirimu Fik...

"Maaf, engkau menawarkan dirimu sebagai seorang kekasih, tapi aku tidak hanya mencari seorang kekasih.."

"Tapi, aku juga sangat menghargai lelaki yang mau menerima kenyataan yang ada dengan jantan.."

"Sekali lagi maaf Fik.."

Dan dia tersenyum dengan manis. Entahlah apa arti senyumannya itu. Sementara aku? Aku merasakan kepahitan yang belum pernah kurasakan selama hidupku. Tersenyum pahit...

Dan diluar hujan deras dan petir menyambar-nyambar mengguriskan memori yang tak terlupakan...

********

November 2006, Pati

"Saya Fikri Husaini bin Tamami menerima nikahnya dengan Nurul Izzah binti Wardoyo dengan mahar seperangkat alat sholat dan emas 5 gram tunai"

Akad yang berat telah terucap melalaui lisan dan hati. Sebuah janji suci untuk mengarungi kehidupan telah terucap. Sebuah perjanjian yang menjanjikan hari depan yang lebih baik bersama dalam sebuah ikatan suci.

Meski dengan penuh pengorbanan dan perjuangan yang berat untuk mewujudkannya.

Beberapa hari setelah kejadian di ruangan BEM itu membuatku terus menerus berpikir. Memikirkan tentang kata-kata yang Nurul ucapkan kepadaku. Mengisyaratkan sebuah arti. Bahwa ia tak hanya mencari seorang kekasih, namun mencari seorang yang mampu menaungi dan melindunginya. Yang mampu bertanggung jawab terhadap dirinya maupun diri sendiri. Seorang yang jantan sebagai lelaki. Seorang suami.

Dan inilah aku. Setelah melalui perdebatan sengit dengan ayahku bahkan dengan tangisan ibuku yang hendak mengurungkan niatku.

Tidak logis, itulah ucapan beliau berdua. Melihat diriku yang masih kuliah dan mendengar siapa yang ingin kusunting yang seorang mahasiswi pula, mungkin terlihat dan terdengar tidak logis. Dalam hitungan matematis-pun bisa jadi mendapatkan hasil yang kurang memadai.

Terkadang aku merasa berdosa dan bersalah tentang berbagai perdebatan itu. Namun, aku terus berjuang untuk merealisasikannya. Bagaimanapun juga ini adalah sebuah keputusanku dan kusadari tentang tanggung jawab kedepan nanti.

Namun ketika itu, aku tidak berjanji kepada Nurul. Biarlah ia tidak tahu. Aku tak berani berjanji karena aku lelaki. Tak mungkin aku merengek-rengek di depan ia untuk menungguku menjadi seorang lelaki idamannya, sementara aku ingin menjadi seorang lelaki dihadapannya. Perdebatan ini adalah rahasiaku dan keluargaku.

Sedari awal kuliah aku sudah berusaha untuk mandiri. Bekerja sambilan sedikit demi sedikit untuk memenuhi uang kuliahku. Tak lagi minta jajan kepada kedua orang tuaku. Mungkin hal ini adalah salah satu faktor yang akhirnya membuat ayahku dan ibuku luluh. Melihat dan menyaksikan kemandirian putranya sedari awal kuliah. Mungkin hal itulah yang membuat mereka luluh juga terhadap kekerasan kepala anaknya.

Nurul kaget melihat aku melamar ia. Ia kaget melihat kesungguhanku, atau mungkin heran melihat kenekatanku. Belum kutanyakan kepadanya tentang perasaannya ketika ia kulamar. Sementara orang tuanya memutuskan hal ini kepada Nurul langsung. Karena bagaimanapun juga, kata mereka Nurul pasti akan meninggalkan rumah ini bersama suaminya. Cepat ataupun lambat.

Dan begitulah akhirnya...

********

00:51 April 2010, Jogya

Kurebahkan tubuhku di karpet di bawah sofa. Rebah sambil memandang wajahnya yang teduh ketika ia sedang tidur. Mencoba mencari setiap makna tentang beberapa tahun yang kami jalani. Berbagai pergulatan hidup dan perjuangan untuk bertahan dan berjuang.

Perjalanan yang lama namun terasa singkat bak kelebatan mata. Mengguriskan memori di setiap jejak langkah kami.

Banyak yang sangsi dengan keputusan kami untuk menikah di usia muda. Usia yang katanya masih sangat labil dan belum bisa dianggap dewasa. Mungkin itu adalah anggapan yang wajar dalam masyarakat. Mengingat lazimnya mereka yang menikah kebanyakan di usia 25-an ke atas. Sedangkan kami di usia menginjak 21 sudah melangsungkan pernikahan.

Ada teman-teman yang mendukung kami. Menyemangati kami karena kami jauh lebih "berani" daripada mereka. Berani mengambil keputusan yang nekat menurut mereka. Apalagi dalam media yang ada, menikah dini adalah ada tanda-tanda "tidak beres" dalam hubungan kami. Menikah karena ada "sesuatu" yang disembunyikan dan "sesuatu" yang tidak beres telah terjadi. Baru empat bulan menikah sudah punya anak misalnya.

Yah, memang budaya permisif berkembang dan merebak saat ini. Tak heran kami yang menikah karena tidak ada "sesuatu yang aneh" dianggap bagian dari "sesuatu yang aneh" itu. Dianggap MBA --Married By Accident--.

Untungnya kami merencanakan untuk menunda mempunyai momongan sebelum lulus kuliah. Dan pada awal pernikahan kami, istriku tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Jadi, selamatlah kami dari gosip-gosip miring yang beredar.

Memang berat dalam usia dini pernikahan kami. Ketika kemandirian untuk diri sendiri mudah dilaksanakan, untuk kemandirian bersama tidak mudah dilaksanakan. Banyak hal yang menguras emosi dan menyita waktu serta pikiran dalam awal-awal menjalani kehidupan bersama.

Banyak tantangan hidup yang nyata di depan kami. Tentang bagaimana kami tinggal berdua dalam satu atap walaupun sederhana, sampai kepada urusan penghasilan untuk bertahan hidup dan untuk urusan kuliah. Bagaimanapun juga, seenak-enaknya rumah orang tua atau rumah mertua, kami tetap tidak bisa mendapatkan kebebasan kami. Padahal kami telah berikrar untuk hidup bersama dan untuk menjadi dewasa. Kenapa musti jadi anak-anak kembali dengan menumpang di rumah orang tua? Maka kami memutuskan untuk mengontrak rumah petak yang sederhana untuk mewujudkan kerajaan kecil kami. Biarpun sederhana, tapi kami mandiri dan bebas untuk mengatur serta bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Berbagai waktu yang ada kami gunakan untuk bertahan dalam kerasnya hantaman hidup. Entah untuk mencari sambilan maupun tetap untuk bergerak dalam organisasi yang kami ikuti. Bagi kami semua harus sejalan meski terasa berat memang. Meski kerasnya benturan hidup, kami tetap berusaha untuk saling menguatkan dan mendukung. Menyikapi beberapa masalah dan beberapa keadaan dengan santai dan ringan.

Sungguh sesuatu yang sederhana namun ketika diungkapkan dengan hati yang tulus, sangat terasa efeknya. Senyuman maupun pijatan ringan dari ia membuatku segar kembali. Begitu pula panggilan sayang yang kuucapkan membuatnya manja dan kekanak-kanakan di hadapanku. "Can", begitulah ia kupanggil. Cantik.

Sungguh, setiap hal-hal yang sepele seperti ini meringankan beban langkah kami yang dipaksa untuk tumbuh dewasa dan bertanggung jawab. Mengangkat dan sejenak melupakan beban kami dalam kehidupan ini.

Tak ringan segala perjuangan kami. Dari menjadi sales buku sampai menjadi tenaga privat di berbagai bimbingan belajar. Dari berbagai pelosok pasar dan pelosok daerah kami sambangi demi menyambung nafkah hidup.

Alhamdulillah, perjalanan kami terasa lebih ringan setelah kami berhasil membuka toko. Setidaknya kami menjadi lebih mandiri daripada menjadi tenaga orang lain. Kami menjadi sedikit lebih mandiri dengan mengandalkan tenaga dan pikiran kami untuk memajukan omzet toko elektronik sederhana kami. Tak lupa kami berdoa untuk kelancaran usaha kami.

Apalah arti usaha tanpa doa. Dalam perjalanan bersama ini kami merasa lebih dekat dengan Alloh. Kami merasa lemah dan senantiasa butuh setiap bantuanNya. Tak hanya tenaga kami yang lemah, ilmu kami juga kurang.

Tak jarang, berbagai hal yang di luar dugaan menjadi penolong kami. Mungkin adalah beberapa doa yang kami panjatkan dalam setiap sholat kami. Berbagai musibah juga sering menimpa kami. Dari pencurian sampai fitnah pernah menerpa kami. Namun, setiap doa yang kami panjatkan senantiasa menjadi penolong kami di setiap keadaan.

Begitulah...

Toko kami akhirnya berkembang pesat. Sampai-sampai kami harus membuka toko cabang di 2 wilayah untuk mengimbangi kemajuan toko utama. Permintaan akan barang-barang elektronik berkembang pesat di jaman sekarang. Tak jarang kami merasa kewalahan karena banyaknya pembeli yang update tentang barang-barang tersebut.

Tak jarang karena banyaknya permintaan tersebut, aku harus sering pulang malam seperti hari ini. Meninggalkan ia sendirian di rumah tanpa ada seorangpun yang menemati. Sementara ini istriku sedang sakit, sendirian dan di tengah hujan badai yang deras membahana di malam ini. Tak tega aku meninggalkannya sendirian tadi. Namun terkadang banyak keadaan yang memaksaku untuk menentukan pilihan yang nggak bisa ditolerir.

Kadang memang sebal, tapi inilah sebuah tanggung jawab yang harus kami jalani baik duka maupun suka apapun keadaannya. Yah, memang menuntut tanggung jawab yang lebih..

********

01:10 April 2010, Jogya

"Oooh, mas....."

"Yah Can?", kulihat ia bangun sambil mengucek-ucek matanya yang sipit. Sejenak lamunanku buyar melihat ia terbangun.

"Udah malem, tidur di dalem Can. Biar mendingan sakitnya..."

Kataku sambil merangkul pundaknya. Kuraba dahinya, sudah tidak sepanas tadi suhu tubuhnya. Sakit yang membuatku khawatir seharian penuh sambil mengurusi toko utamaku.

Tiba-tiba ia memelukku. Mesraaa sekali....

Pelukan sayang...

Kubiarkan pelukan ini lama memelukku...

Agar rasa ini tetap selalu berkobar di dada kami baik berat maupun ringannya ujian yang menerpa kami berdua dalam sekian tahun perjalanan kami...

Agar rasa ini selalu ada dan selalu tumbuh dengan berbagai cara sewajarnya. Sebagai obat dan vitamin bagi jiwa kami berdua yang selalu membutuhkan satu dengan yang lainnya...

Sekian lama memelukku, kemudian ia melepaskannya.

Matanya menatap mataku...

Ada cinta yang menggelora di dalamnya...

Ada sayang di dalam perhatiannya...

Ada kemesraan di dalam setiap tatapannya...

Ia tersenyum gembira dan tersenyum mesra dengan segala ketulusan yang kurasakan sampai di dalam dada...

"Mas, aku hamil...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun