"Tapi, aku juga sangat menghargai lelaki yang mau menerima kenyataan yang ada dengan jantan.."
"Sekali lagi maaf Fik.."
Dan dia tersenyum dengan manis. Entahlah apa arti senyumannya itu. Sementara aku? Aku merasakan kepahitan yang belum pernah kurasakan selama hidupku. Tersenyum pahit...
Dan diluar hujan deras dan petir menyambar-nyambar mengguriskan memori yang tak terlupakan...
********
November 2006, Pati
"Saya Fikri Husaini bin Tamami menerima nikahnya dengan Nurul Izzah binti Wardoyo dengan mahar seperangkat alat sholat dan emas 5 gram tunai"
Akad yang berat telah terucap melalaui lisan dan hati. Sebuah janji suci untuk mengarungi kehidupan telah terucap. Sebuah perjanjian yang menjanjikan hari depan yang lebih baik bersama dalam sebuah ikatan suci.
Meski dengan penuh pengorbanan dan perjuangan yang berat untuk mewujudkannya.
Beberapa hari setelah kejadian di ruangan BEM itu membuatku terus menerus berpikir. Memikirkan tentang kata-kata yang Nurul ucapkan kepadaku. Mengisyaratkan sebuah arti. Bahwa ia tak hanya mencari seorang kekasih, namun mencari seorang yang mampu menaungi dan melindunginya. Yang mampu bertanggung jawab terhadap dirinya maupun diri sendiri. Seorang yang jantan sebagai lelaki. Seorang suami.
Dan inilah aku. Setelah melalui perdebatan sengit dengan ayahku bahkan dengan tangisan ibuku yang hendak mengurungkan niatku.