Mohon tunggu...
ALDEN CHRISLI TIAN SITI
ALDEN CHRISLI TIAN SITI Mohon Tunggu... Arsitek - Mahasiswa

Menggambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gereja Katedral Jakarta: Sejarah, Arsitektur, dan Konversasi Warisan Budaya

15 Oktober 2024   17:09 Diperbarui: 15 Oktober 2024   17:23 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Gereja Katedral Jakarta, yang secara resmi dikenal sebagai Gereja Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, bukan hanya bangunan bersejarah yang menjadi ikon arsitektur di Jakarta, tetapi juga simbol penting dalam sejarah perkembangan agama Katolik di Indonesia. 

Didirikan pada tahun 1808 oleh Antonius Djikmans, bangunan ini telah mengalami banyak perubahan dan peristiwa bersejarah yang mencerminkan perjalanan umat Katolik di Indonesia. Berdiri megah di Jl. Katedral No. 7B, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, gereja ini memiliki luas lahan sebesar 2.385 m dengan luas bangunan 785 m.

Selama lebih dari dua abad, Gereja Katedral Jakarta telah menjadi pusat spiritual, sosial, dan budaya bagi umat Katolik di Indonesia, serta menjadi salah satu contoh terbaik pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia. 

Di tengah arus modernisasi, tantangan dalam menjaga keseimbangan antara pelestarian warisan budaya dan pemanfaatannya untuk fungsi-fungsi modern semakin menonjol. 

Esai ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejarah, arsitektur, dan peran Gereja Katedral Jakarta dalam kehidupan masyarakat, serta menelaah lebih dalam mengenai pertanggungjawaban, pendanaan, pemasukan, dan pengelolaan yang mendukung keberlanjutan bangunan ini sebagai salah satu cagar budaya yang penting.

Sejarah Panjang dan Pentingnya Gereja Katedral Jakarta

Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1808, Gereja Katedral Jakarta telah melalui perjalanan panjang dalam melayani umat Katolik dan menjadi saksi atas berbagai peristiwa bersejarah di Indonesia. 

Gereja pertama yang dibangun di daerah Lapangan Banteng Barat merupakan sebuah bangunan darurat dari bambu. Bangunan ini kemudian dipindahkan ke Gang Kenanga dan diberi nama Gereja Santo Ludovicus. Nama tersebut diambil untuk menghormati Raja Louis yang mendukung penyebaran agama Katolik di Hindia Belanda.

Namun, bangunan ini tak lepas dari berbagai cobaan. Pada tahun 1826, kebakaran besar di kawasan Senen mengancam keberadaan gereja, meskipun bangunan gereja berhasil selamat dari kobaran api, kondisinya menjadi rapuh dan tidak layak digunakan lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun