Mohon tunggu...
Susana Srini
Susana Srini Mohon Tunggu... -

Wong ndeso, tertarik ikutan memperhatikan masalah pendidikan, selalu rindu untuk dapat memberikan sumbangsih bagi upaya-upaya merawat bumi, anggota komunitas Sekolah Komunitas - Sodong Lestari (SoLes), anggota Galeri Guru/TRUE CREATIVE AID dan terlibat dalam Laskar Pena Hijau YBS Cikeas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji untuk Mamakwe, Mama Bumi

5 Juni 2016   15:09 Diperbarui: 5 Juni 2016   17:20 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara tercekat ini terdengar seperti guntur di telinga Pakuwa. Ia tak tahan lagi. Gadis ini tak berani masuk. Ia menaruh minuman di balik pintu. Ia tergopoh-gopoh kembali ke dapur. Hatinya geram oleh kebisuan ayahnya, juga pada kekasihnya yang mungkin telah ikut berhianat kepada Mamakwe. Gadis ini bertambah galau. Ia memang mencintai Dhiblaa, tetapi ia juga mencintau Mamakwe dan buah-buah kelapa hutannya.

Percakapan para lelaki di depan perapian berlanjut. Kali ini Wanam ayah Pakuwa, sang kepala suku mulai membuka suara. Sebelumnya ia memang memberi kesempatan pada warganya untuk mengungkapkan pendapatnya.

“Saya minta maaf kalau telah membuat kalian kebingungan dan marah. Saya juga marah.” Kata Kepala Suku Wanam dengan nada menyesal.

Ketegangan para lelaki tersebut sedikit mengendor, mendengar pengakuan Wanam. Lalu katanya lagi, “Diam-diam saya telah beberapa kali pergi ke lembah Aningguk, tetapi tak pernah bertemu kepala suku. Kali ini saya juga mempunyai prasangka buruk, mungkin calon besanku itu menghindari saya karena ia terlibat.” Wanam menarik nafas dalam, menghalau kegelisahan. Salah satu laki-laki menyambung perkataannya, “Kalau mereka bermaksud menghadapi para pembalak itu, mestinya mereka akan memanggil kita, karena gunung itu ibu kita bersama.”Kata Wanam setelah diam mengambang datar untuk sesaat, “Sebentar, saya akan berbicara pada istri dan putriku, mungkin kita akan mengembalikan lamaran itu. Kita akan menyelamatkan Mamakwe!”

***

Barisan laki-laki berpanah merunduk-runduk di tengah hutan. Mereka menghentikan teriakan-teriakannya. Mereka sudah sampai di bibir jurang, batas wilayah lembah Suku Aningguk. Kepala Suku Wanam memberi perintah, “Kalian akan menunggu di sini. Saya, Aretak dan Kiruke akan naik ke atas menemui kepala suku. Saya akan memberi tanda kalau kalian perlu bergerak.” Semua patuh. Ketiga lelaki gagah mulai mendaki dinding jurang. Mereka tak melewati jalan setapak biasanya, karena itu akan melewati lokasi perumahan para penggali. Tempat itu sudah berpagar duri.

Wanam dan kedua orangnya sampai di pekarangan rumah adat kepala suku Aningguk. Orang-orang yang berkerumun di situ mengangguk hormat. Ia menyatakan ingin bertemu kepala suku, tetapi mereka menjawab kepala suku tidak ada. Wanam berusaha meyakinkan kalau dirinya harus bertemu kepala suku saat itu juga. Tetapi jawabannya sama. Wanam merasa ada yang tidak beres. Ia merasa semakin yakin kalau kepala suku menghindarinya, atau mungkin sedang berada di bukit bersama para penggali itu. Ia meminta ijin sekali lagi untuk masuk ke rumah adat. Dirinya ingin mengembalikan lamaran untuk putrinya. Itu penting karena ini akan menandai bahwa mereka bukan sekutu lagi. Dengan begitu Suku Sukurumuk memiliki kebabasan untuk menghadapi para penggali yang mungkin tak mengetahui bahwa gunung itu juga milik mereka.

Dengan perasaan marah Wanam masuk rumah kepala suku. Langkahnya tergesa-gesa. Sesampai di dalam ia tak menjumpai orang yang dicari. Ia hanya melihat dua perempuan yang sedang meringkuk di tikar dekat perapian. Mereka adalah istri dan putri kepala suku. Kemarahan surut. Ia meminta maaf terpaksa masuk karena ingin bertemu suaminya. Perempuan itu bangun dengan lemah. Ia mengangguk-angguk hormat pada tamunya, kepala suku orang Sukurumuk, calon besannya. Air matanya meleleh. Dengan suara parau ia meminta maaf. “Ayah Dhiblaa belum kembali, harap saudaraku memaafkannya.”

“Pergi?” tanya Wanam membelalak kaget.

“Iya, sejak tamu-tamu itu datang yang pertama kali, hingga sekarang mereka datang lagi, suamiku tak ada.”

Wanam terdiam penuh tanda tanya. Namun ia tak sanggup mengucapkannya. Suara perempuan itu sudah cukup menjelaskan keadaan yang tidak wajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun