Aura mencekam melayang-layang di atas langit lembah Sukurumuk. Udara dingin mengambang di antara pepohonan kering. Sinar mentari pagi muda yang mulai munculpun tak mampu menghalau rasa dingin yang menusuk sungsum. Bayangan gunung di balik kabut terlihat seperti raksasa yang hendak menelan seluruh isi lembah. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah-rumah ilalang yang biasanya hangat dengan kerlip tungku api di tengah-tengahnya nampak sunyi.Yang memperlihatkan kalau di situ masih ada kehidupan hanyalah gerombol laki-laki berpanah yang berjaga di tiap-tiap sudut. Bau peperangan tersembul dari mana-mana. Jajaran pohon kelapa hutan (genus pandannus) seakan berbarisikut bersiaga. Hari itu dua suku yang telah lama hidup berdampingan hendak membuat perhitungan dengan caranya.
“Kita akan membuat sejarah. Nenek moyang kita belum pernah melakukannya.” Suara kepala suku menggelegar di antara bunyi gemeletuk gigi-giginya. Mukanya nampak menahan kecewa dan amarah luar biasa. Ia memandangi satu-persatu laki-laki yang berdiri di sekelilingnya. Mereka manggut-manggut tanpa suara, hanya bunyi rahang beradu yang sama keluar dari mulutnya. Semua diam sambil tetap mempertahan kanpandangannya ke seberang gunung yang sebagian tubuhnya masih terselimuti kabut.
Tiba-tiba laki-laki yang berdiri di sampingkepala suku meretas keheningan,”Orang-orang Aningguk telah menjual hidup kita! Mereka berhianat.” Semua serentak membelalakkan mata ke arahnya.
“Aretak, kamu benar sekali. Dan kalau hari ini kita pergi ke sana untuk mengembalikan pinangan putriku, kita sedang membuat perhitungan. Memang nenek moyang tak pernah mengajarkan cara menyelesaikan masalah dengan cara gigi diganti gigi, tetapi ini sudah tak ada cara lain.”Kata kepala suku dengan nada tegas. Laki-laki yang dipanggil Aretak manggut-manggut sambil menampakkan seringai semangat yang meluap-luap.
“Apakah mereka bisa menelan nasi di mulutnya ketika melihat bukit kita tercabik-cabik dengan luka-luka menganga seperti itu?” Kata Aretak lagi dengan masgul. Ia mengacungkan-acungkan jarinya ke arah perbukitan yang nampak compang-camping oleh bekas-bekas galian berwarna coklat.
“Apakah kamu bisa?” Kepala suku balik bertanya dengan suara berat berwibawa. Semua diam sambil terus memandangi luka menyedihkan di kejauhan.
Setelah hening beberapa saat laki-laki tegap itu bergumam, “Kalau saya mungkin tak bisa, lebih baik mati kelaparan daripada menjual tanah – ibu kita sendiri. Apalagi menyerahkannya kepada para pengambil serakah itu.” Kerumunan laki-laki tersebut kelihatan tegang menahan geram. Tiba-tiba salah seorang berteriak dengan suara melengking yang disambut rekan-rekannya, “hu hu hu hu hu hu hu…!” Pekikanitu terdengar begitu magis dan membangkitkan semangat, sehingga kerumunan-kerumunan dari penjuru lain ikut berteriak. Kemarahan mereka terpantul di dinding-dinding bukit yang menaungi lembah. Bergemuruh dan meluap-luap!
Laki-laki suku Sukurumuk berangkat ke lembah perkampungan suku Aningguk untuk menuntut pertanggungjawaban. Para perempuan keluar rumah ilalang dengan merunduk-runduk untuk melambaikan tangan dan mengucapkan doa. Anak-anak tak diijinkan keluar rumah. Seorang gadis manis mengintip daricelah-celah dinding kayu. Matanya menangis. Dadanya naik turun seperti sedang menahan pedih. Namun dengusnya menggemakan suara lain, semacam gejolak semangat, mendukung perjuangan para lelaki yang sedang memekik-mekik itu. Bayangan pemuda mata elang terus menari-nari di pelupuk matanya.Pada saat yang sama jiwanya geram oleh amarah, ia tak percaya laki-laki pujaannya hanya berdiam diri ketika tanah mereka digaruk-garuk oleh tangan-tangan raksasa.
***
Pakuwa, gadis remaja hitam manis itu mengenang pertemuan pertamanya dengan pemuda jangkung tampan bernama Dhiblaa. Itu terjadi sudah lama sekali, kira-kira sepuluhan musim panen kelapa hutan yang lalu. Ketika itu mereka masih kecil, baru tanggal gigi-gigi susunya. Keduanya dibawa oleh ayah mereka bersama anak-anak lain dari wilayah gunung Mamakwe untuk belajar Melek Huruf. Pelajaran membaca menulis itu dipandu oleh sepasang pekerja soial. Mereka tinggal di pusat kecamatan, tempat pesawat kecil biasa mendarat. Hati Pakuwa yang kalut tiba-tiba berdesir. Ia ingat bagaimana cara Dhiblaa kala itu memandang dirinya dengan senyum manis melengkung di sudut bibirnya. Sementara waktu itu ia hanya berani mengintip dari balik lengan kokoh ayahnya, meski dirinya tahu kalau kedua lelaki kepala suku itu saling mengenal.
Lalu Mama Lilian begitu perempuan pekerja kemanusiaan itu dipanggil, menarik tangannya dan mengajaknya bersalaman dengan laki-laki kecil bermuka ramah itu. Selanjutnya mereka sering bertemu di kelas Melek Huruf. Mereka tinggal di asrama. Saat pelajaran atau makan malam, Pakuwa mencuri pandang ke arah Dhiblaa yang diam-diam juga tengah menatapnya. Bahkan saat praktek kebun, anak laki-lakiitu sering membantu merawat bedeng sayurnya. Mereka menjadi dekat satu sama lain, merasa senasip karena berasal dari lembah dan gunung yang sama.
Ketika musim kelapa hutan tiba, anak-anak dijemput oleh ayah-ayah mereka untuk berlibur. Meski perjalanannya jauh mereka tetap senang karena akan bertemu keluarga.Namun saat-saat menyenangkan seperti ituhanya berlangsung selama empat musim, karena proyek kemanusiaan tersebut berakhir. Waktu itu anak-anak merasa sedih karena kelas Melek Huruf berhenti dan mereka harus kembali ke dusun-dusun yang jauh. Pakuwa masih berharap, suatu saat ayahnya akan mengantar kembali ke sekolah, namun itu tak pernah terjadi lagi. Diam-diam ia merindukan senyum manis Dhiblaa, anak dari Suku Aningguk yang saat ini sedang didatangi sukunya dengan pekik kemarahan.
Lamunannya berlanjut. Ia terkenang peristiwa penting hidupnya kira-kira empat tahun silam. Di depan tungku api sehabis makan malam ayahnya mengumumkan kabar gembira.Sebuah kabar yang selalu ditunggu oleh setiap gadis remaja di lembah itu. “Anak Pakuwa, kamu sekarang sudah menjadi perempuan. Mamamu telah mengganti rok anak-anak dengan pakaian perempuan dewasa karena engkau telah mengeluarkan darah pertama. Purnama depan engkau boleh hadir dalam upacara Jujumamakwe.” Pakuwa tersenyum gembira. Matanya berbinar-binar. Mamanya juga tersenyum penuh kasih sayang ke arahnya sambil mengangguk-angguk.
“Apakah saya boleh ikut membawa daging babi hutan untuk Mamakwe di bukit kelapa hutan itu Bapa?”
“Tentu saja nak, itu memang tugas kalian.” Balas ayahnya dengan suara tak kalah girang. “Perempuan-perempuan akan membawa baki-baki kayu berisi daging babi hutan, ikan sungai Malikuku dan ubi kuning terenak kepada Mamakwe kita.” Sambung ibunya dengan penuh rasa hormat, terutama ketika menyebut nama Mamakwe. Semua orang di lembah Sukurumuk dan lembah-lembah sekitarnya akan selalu mengucapkan nama Mamakwe dengan sakral dan penuh penghargaan. Mamakwe adalah nama gunung yang berdiri di antara lembah Suku Sukurumuk dan lembah Suku Aningguk. Gunung yang dipercayai menjadi sumber kesuburan, ibu mereka.
Waktu itu, semalaman Pakuwa tak bisa tidur. Ia berharap purnama segera tiba. Hal itu tidak hanya karena dirinya akan membawa persembahan yang pertama untuk gunung Mamakwe, tetapi ia juga akan berjumpa Dhiblaa. Kawan yang sangat dirindukan. Diam-diam ia mengaguminya. “Ah pemuda itu tentu akan berada di tengah barisan laki-laki pembawa bibit kelapa hutan dan pohon cemara, bagian perlengkapan ritual Jujumamakwe.
Suku Sukurumuk dan Suku Aningguk setiap tahun menyelenggaran ritual Jujumamakwe bersama-sama. Mereka telah terikat oleh perjanjian nenek moyangnya. Jujumamakwe adalah upacara syukur pada Sang Pencipta dengan membersembahkan makanan dan menanam pohon di lereng-lereng gunung Mamakwe.
Pakuwa belum beranjak dari balik celah dinding rumahnya. Sambil memandangi jalan setepak menuju lembah Suku Aningguk di kejauhan, lamunannya makin liar. Peristiwa bersejarah dalam hidupnya terus hadir, terlihat nyata sekali. Kala itu ia berada sejajar dengan barisan anak laki-laki yang akan diantar ke bukit untuk melakukan ritual pendewasaan dengan menanam pohon. Di sana ada Dhiblaa yang matanya juga sedang mencari-cari seseorang di barisan anak perempuan pembawa makanan persembahan. Lalu mata keduanya beradu pandang. Seulas senyum menawan sama-sama mengembang. Mereka sepertinya menyimpan kerinduan yang sama.
Kala itu Pakuwa juga melihat binar mata Dhiblaa, ketika menyerahkan tandan buah kelapa hutan kepada ibunya. Itu adalah hasil petikan pertama setelah semua anak laki-laki akil balik mengikuti ritual pendewasaan di puncak bukit. Ia membayangkan, andai suatu saat nanti Dhiblaa akan mempersembahkan tandan ranum buah kelapa hutan manis itu padanya sebagai seorang istri. Buah berbentuk bulat menyerupai durian itu akan ia bersihkan. Lalu ia akan membelahnya dan mengambil biji-biji yang sebesar jari tersebut untuk dijemur. Dirinya juga akan membakar beberapa buah untuk dinikmati bersama. Rasanya manis dan gurih. Biji-biji kelapa hutan akan dibawa pulang untuk menjadi makanan istimewa saat mengawali musim tanam ubi.
Rangkaian upacara Jujumamakwe cukup panjang. Itu berlangsung sehari semalam. Tetapi setiaporang menikmatinya. Mereka larut dalam kekhusukan dan kegembiraan. Ritual dimulai pagi hari dengan naik ke bukit Kelapa Hutan, anak gunung Mamakwe. Mereka mempersembahkan makanan kepada mama kesuburan. Tetua suku mengucapkan doa syukur karena telah diijinkan untuk memasuki musin panen buah kelapa hutan lagi. Mereka juga memanjatkan doa untuk musim tanam ubi dan jagung yang akan segera dimulai. Juga berdoa untuk anak-anak laki-laki yang akan diantar ke puncak bukit untuk melangsungkan acara adat pendewasaan.
Anak-anak perempuan memang tidak diijinkan mengikuti upacara skaral itu, tetapi mereka akan mendapat cerita dari ayah-ayahnya. Pada upacara pendewasaan, anak laki-laki akan mendapat nasehat tentang bagaimana menjadi laki-laki sejati. Mereka harus menjaga gunung Mamakwe dengan menanam pohon-pohon. Laki-laki jugaharus menghargai para perempuan seperti mereka menghargai Mamakwe. Para laki-laki juga bertanggunjawab membuka kebun dan memelihara ternak untuk keluarganya.
Dalam ritual sakral di puncak bukit itu, juga akan diceritakan sebuah rahasia besar yang telah dipegang secara turun temurun, namanya Jajimamakwe. Itu adalah perjanjian dari nenek moyang untuk bersama-sama menjaga gunung Mamakwe. Gunung itu milik bersama dan tak boleh diperebutkan. Mereka juga harus menjaganya dari serangan musuh. Untuk mempererat persekutuan, nenak moyang juga mempunyai janji untuk saling menikahkan anak laki-laki dan perempuan mereka.
Angan Pakuwa terus mengembara. Ia ingat pada suatu malam, ketika serombongan besar laki-laki dewasa Suku Aningguk duduk di rumah adat mereka. Ayahnya bersama para tetua lain menerima mereka dengan penuh persahabatan. Para lelaki tersebut berbicara serius, sesekali ditimpali canda dan tawa. Setelah beberapa saat, ayahnya masuk ke dapur menemui dirinya. Dengan senyum kasih, ayahnya menyampaikan, “Pakuwa, kini saatnya engkau datang ke sana untuk menyampaikan jawabanmu sendiri, apakah engkau akan menerima lamaran laki-laki Suku Aningguk atau tidak.” Gadis itu memandang ayahnya dengan malu-malu. Antara gembira dan was-was, ia menimpali ayahnya dengan balik bertanya, “Siapa yang ingin melamarku Bapa?” Sang ayah membalasnya dengan senyum menggoda. Lalu katanya penuh teka-teki, “Semoga ia adalah laki-laki yang kau impikan Nak.”
Dengan perasaan tak menentu Pakuwa datang ke rumah adat ditemani ibu dan perempuan-perempuan keluarganya. Mereka membawa minuman dan makanan yang telah mereka siapkan sesiangan. Gadis itu menduga-duga tak sabar siapa gerangan yang hendak mempersunting dirinya. Namun sebagai seorang gadis ia telah diajari ibunya tentang bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan seperti itu di hadapan para tamu. Setelah menaruh baki makanan, ia menjabat tangan para tamu dengan muka tersenyum mengikuti ibu dan perempuan-perempuan lain di depannya. Dadanya berdebar luar biasa ketika melihat salah seorang laki-laki yang duduk dalam rombongan itu adalah seseorang yang pernah ia lihat di sekolah Melek Huruf beberapa tahun silam. Ia ayah Dhiblaa.
***
Lamunan Pakuwa terhenti ketika ibu dan beberapa perempuan masuk ke rumah bulat. Bayangan sejarah membahagiakan itu lenyap seketika. Perasaannya bercampur aduk. Ia tak mampu mengurainya satu persatu. Pikirannya galau dan penuh tanda tanya, mengapa impian tentang hidup tentram bersama Dhiblaa dalam pelukan gunung Mamakwe tiba-tiba kabur. Bahkan ia takut kalau hal ini malah akan berubah menjadi prahara. “Nak hal ini memang menyedihkan dan menakutkan. Tetapi kita tidak mempunyai pilihan. Hidup terkadang menjadi rumit, ketika kita harus memilih antara diri kita sendiri atau orang banyak.” Bisiksang ibu sambil membelai-belai rambutnya.
Tangisnya makin meledak. Dalam sedu sedannya ia menangkap kata-kata samar penghiburan ibunya, tetapi itu sulit untuk dipahami. Jantungnya makin bergolak membayangkan pertempuran yang akan terjadi. Ia hanya berharap, orang tua-orang tua mereka masih ingat akan Jajimamakwe, sebuah perjanjian yang selalu diucapkan setiap musim panen kelapa hutan tiba. “Ah itu mungkin sulit,karena Dhiblaa dan sukunya telah berhianat.Mereka telah mematahkan janji sakral nenek moyang, untuk menjaga Mamakwe- gunung, bukit-bukit anaknya, pepohonan dan sungai yang selama ini menjadi sumber hidup bersama.” Batinnya memekik pilu.
Ketenteraman lembah di kaki gunung Mamakwe mulai terusik, ketika suatu hari sebuah helikopter mendarat dekat perkampungan suku Aningguk. Orang-orang yang belum pernah mereka lihat, keluar dari perut burung besi itu. Mereka mencari rumah kepala suku. Penduduk yang berkerumun mengerubungi pesawatsama sekali tak mengenali para tamu tersebut, termasuk dua orang laki-laki yang memiliki perawakan seperti orang Aningguk. Sebagian besar tamu adalah laki-laki, hanya dua orang di antaranya perempuan. Orang-orang asing itu masuk rumah beratap ilalang dengan tergesa-gesa. Beberapa orang nampak berbicara serius di dalam rumah. Beberapa orang lain keluar memandangi bukit-bukit anak gunang Mamakwe. Mereka nampak manggut-manggut, mungkin mengaguminya. Bahkan ada orang yang selalu menempelkan benda panjang pada kedua matanya dan mengintip gunung dari balik benda itu.
“Apakah yang mereka cari?” Itulah pertanyaan orang-orang Aningguk. Lembah ini jarang sekali dikunjungi tamu asing. Para tetua ingat sekali, orang yang pertama kali berkunjung ke situ hanyalah nyonya Lilian dan teman-temannya. Mereka harus menempuh perjalanan berhari-hari. Berikutnya adalah tiga orang laki-laki penggendong tas panjang di punggunggnya. Mereka mengatakan berasal dari tempat yang sangat jauh, namanya Jakarta. Penduduk juga masih ingat, ketika datang mereka terlihat sangat kelelahan dan berlepotan lumpur. Setelah menginap dua malam di rumah kepala suku, mereka berjalan berkeliling dan setelah itu tak pernah nampak lagi.Setelah itu ada tiga orang lagi yang juga diantar pesawat helikopter. Mereka mengatakan orang pemerintah. Jalan menuju lembah di kakiGunung Mamakwe memang sangat sulit. Tempat itu dikelilingi jurang-jurang terjal licin dan perbukitan runcing.
Orang-orang Aningguk menerka-nerka tujuan kedatangan para tamu yang diantar burung besi tersebut. Ada yang menyangka mungkin merekaadalah tuan-tuan yang akan mendirikan kelas melek huruf seperti yang pernah dilakukan nyonya Lilian dan suaminya beberapa tahun silam. Kabar itu tersiar ke seluruh lembah dari mulut ke mulut. Namun di tengah berita tentang kelas Melek Huruf, ada cerita lain yang tertiup samar-samar. Orang-orang ingin membicarakannya, namun ragu-ragu karena susah mengucapkannya. Akhirnya mereka hanya berbisik dari satu telinga ke telinga lain. Katanya tamu-tamu yang datang dengan pesawat itu akan membawa ‘sasi-sasi’. Orang lain membetulkan kata ‘sasi sasi’ dengan ‘posi-posi’. Yang lainnya lagi membisikkan kata ‘mosi’. Hingga suatu hari, ketika sedang bekerja kebun bersama, sesorang yang kebetulan hadir dalam pertemuan itu mengatakan bahwa para tamu akan membawa ‘eksplorasi’ dan ‘m o d e r n i s a s i’. Bagi penghuni lembah di pedalaman, kata-kata itu tidak ada dalam bahasa kesehariannya. Dan ini sungguh membingungkan.
Orang-orang akhirnya berhenti membicarakannya. Mereka tidak lagi saling berbisik tentang dua kata asing yang tak diketahui manfaatnya. Perempuan dan laki-laki kembali pada percakapan biasanya, tentang tanaman ubi, betatas, sayur lilin, kelapa hutan, ternak peliharaan, ikan sungai Malikuku, pohon kelapa hutan, Gunung Mamakwe dan anak-anak mereka. Hingga pada suatu hari ketika orang-orang sedang beristirahat sehabis musim tanam, pesawat helikopter yang lebih besar datang lagi. Dari dalamnya keluar lebih banyak orang, bungkusan-bungkusan besar, tas-tas, alat-alat dan benda lain yang tak mereka ketahui. Dan lebih menghebohkan adalah peristiwa keesokan harinya. Masyarakat yang berkerumun di sekitar pendaratan tercengang-cengang melihat helikopter mengeluarkan benda besar berwarna kuning dari perutnya. Benda itu memiliki roda dan tangan raksasa. Orang-orang mundur dengan sendirinya ketika benda itu dihidupkan. Bunyinya mengaum-ngaum seperti hendak memangsa. Mereka berlarian pulang ke kampung.
Para pendatang itu mendirikan rumah-rumah dari kain dengan cepat. Mereka bermalam di sana. Hari-hari berikutnya pesawat terus datang. Alat besar berwarna kuning diturunkan lagi. Benda-benda lain berbentuk seperti potongan batang kayu besar berwarna biru digelindingkan dari perut pesawat. Orang-orang tersebut bekerja keras, ada yang meratakan lahan pendaratan, membuat jalan, membuat pagar sekeliling lapangan dan lokasi perumahan. Salah satu sisi lembah Aningguk dekat sungai Malikuku kini menjadi hiruk pikuk. Pada malam hari dataran tersebut terang benderang dan terdengar bunyi gemuruh. Sebagian penduduk setempat nampak ikut bekerja. Mereka mendapat imbalan berupa bahan makanan, rokok, parang dan cangkul. Sebagian besar lainnya menolak karena merasa takut.
Hari-hari selanjutnya tamu-tamu asing tersebut nampak makin sibuk. Penduduk yang tidak ikut bekerja dilarang berkunjung. Lokasinya dipagar kawat berduri. Mereka hanya dapat melihat dari kejauhan. Ada sebagian warga yang merasa senang karena lembah yang biasanya sunyi menjadi ramai dan terang. Mereka juga senang karena dapat menjual berbagai hasil kebun untuk ditukar dengan barang-barang baru. Namun banyak warga yang merasa was-was kalau-kalau Mamakwe marah karena para tamu itu bolak-balik mendaki ke bukit sakral bukan pada waktunya. Apalagi mereka menebangi pohon di lereng-lereng untuk membangun rumah dan pagar. Warga makin tercekam ketakutan ketika tangan raksasa alat besar berwarna kuning itu mulai menggaruk-garuk perbukitan. Kaki dan tubuh Mamakwe tercabik dengan luka kecoklatan menganga. Warga lembah Aningguk marah. Mereka mencari-cari keberadaan kepala suku.
***
Di suatu malam dingin yang menggigil, Pakuwa mendengar penggalan percakapan menegangkan para lelaki suku Sukurumuk. Ketika itu dirinya hendak mengantar minuman panas untuk mereka. Ia berhenti sebentar di balik pintu.
“Betul dugaanku, keramaian di lembah Aningguk akan melahirkan malapetaka bagi kita semua.” Kata laki-laki bersuara berat.
“Iya, tadinya kukira tamu itu orang-orang seperti mama Lilian yang akan membantu anak-anak kita. Bukankah saudara kita dari lembah Aningguk ramai membicarakan hal itu?” Laki-laki lain menimpali.
Si suara berat menyahut dengan nada kecewa, “Harusnya kita mengingatkan tetua suku Aningguk. Mungkin mereka sudah lupa Jajimamakwe. Gunung itu tak ada yang boleh menyentuhnya, apalagi merobek-robeknya. Itu ibu kita bersama.”
Pakuwa heran, mengapa ayahnya masih bergeming tanpa suara. Ia berpikir mungkin ayahnya sungkan karena yang dibicarakan adalah ayah Dhiblaa, orang yang telah melamar putrinya.
Rumah ilalang makin tegang. Hujan di luar menderas. Pakuwa belum berani membuka pintu. Percakapan itu menghadirkan hawa beku yang membuat dada sesak. Terdengar ada laki-laki yang terbatuk. Di sela batuknya ia mengatakan sesuatu yang mengagetkan Pakuwa, juga ayahnya. “Saudara kita kepala suku Aningguk telah menjual gunung itu. Mereka telah bersekongkol dengan para pencuri.”
Si laki-laki suara berat segera menimpali, “Beberapa utusan kita melihat dengan mata kepala sendiri, keluarga kepala suku Aningguk bahkan ikut bekerja dengan para perusak itu, demi perut mereka sendiri”
“Ha? Ikut bekerja? Ini jelas penghianatan. Harusnya mereka berbicara dengan kita perihal tamu-tamu itu.” Laki-laki lain berkata dengan nada tinggi.
Si suara berat dengan nada tak sabar menimpali. Kali ini suaranya parau menyayat, ” Dan mulai musim depan, kita mungkin tak akan pernah lagi merayakan Mamakwe. Bukit-bukit itu telah mereka injak-injak dan mereka potong-potong. Itu tempat di mana Mamakwe mengajar anak-anak kita tentang kehidupan: menanam pohon, belajar menciantai dan menjadi laki-laki dan perempuan sejati.”Laki-laki yang tadi batuk-batuk bersuara lagi dengan suara tercekat di kerongkongan, “Tetua Wanam, maaf mengapa engkau diam saja, apakah karena kita sedang membiacarakan calon besanmu?”
Suara tercekat ini terdengar seperti guntur di telinga Pakuwa. Ia tak tahan lagi. Gadis ini tak berani masuk. Ia menaruh minuman di balik pintu. Ia tergopoh-gopoh kembali ke dapur. Hatinya geram oleh kebisuan ayahnya, juga pada kekasihnya yang mungkin telah ikut berhianat kepada Mamakwe. Gadis ini bertambah galau. Ia memang mencintai Dhiblaa, tetapi ia juga mencintau Mamakwe dan buah-buah kelapa hutannya.
Percakapan para lelaki di depan perapian berlanjut. Kali ini Wanam ayah Pakuwa, sang kepala suku mulai membuka suara. Sebelumnya ia memang memberi kesempatan pada warganya untuk mengungkapkan pendapatnya.
“Saya minta maaf kalau telah membuat kalian kebingungan dan marah. Saya juga marah.” Kata Kepala Suku Wanam dengan nada menyesal.
Ketegangan para lelaki tersebut sedikit mengendor, mendengar pengakuan Wanam. Lalu katanya lagi, “Diam-diam saya telah beberapa kali pergi ke lembah Aningguk, tetapi tak pernah bertemu kepala suku. Kali ini saya juga mempunyai prasangka buruk, mungkin calon besanku itu menghindari saya karena ia terlibat.” Wanam menarik nafas dalam, menghalau kegelisahan. Salah satu laki-laki menyambung perkataannya, “Kalau mereka bermaksud menghadapi para pembalak itu, mestinya mereka akan memanggil kita, karena gunung itu ibu kita bersama.”Kata Wanam setelah diam mengambang datar untuk sesaat, “Sebentar, saya akan berbicara pada istri dan putriku, mungkin kita akan mengembalikan lamaran itu. Kita akan menyelamatkan Mamakwe!”
***
Barisan laki-laki berpanah merunduk-runduk di tengah hutan. Mereka menghentikan teriakan-teriakannya. Mereka sudah sampai di bibir jurang, batas wilayah lembah Suku Aningguk. Kepala Suku Wanam memberi perintah, “Kalian akan menunggu di sini. Saya, Aretak dan Kiruke akan naik ke atas menemui kepala suku. Saya akan memberi tanda kalau kalian perlu bergerak.” Semua patuh. Ketiga lelaki gagah mulai mendaki dinding jurang. Mereka tak melewati jalan setapak biasanya, karena itu akan melewati lokasi perumahan para penggali. Tempat itu sudah berpagar duri.
Wanam dan kedua orangnya sampai di pekarangan rumah adat kepala suku Aningguk. Orang-orang yang berkerumun di situ mengangguk hormat. Ia menyatakan ingin bertemu kepala suku, tetapi mereka menjawab kepala suku tidak ada. Wanam berusaha meyakinkan kalau dirinya harus bertemu kepala suku saat itu juga. Tetapi jawabannya sama. Wanam merasa ada yang tidak beres. Ia merasa semakin yakin kalau kepala suku menghindarinya, atau mungkin sedang berada di bukit bersama para penggali itu. Ia meminta ijin sekali lagi untuk masuk ke rumah adat. Dirinya ingin mengembalikan lamaran untuk putrinya. Itu penting karena ini akan menandai bahwa mereka bukan sekutu lagi. Dengan begitu Suku Sukurumuk memiliki kebabasan untuk menghadapi para penggali yang mungkin tak mengetahui bahwa gunung itu juga milik mereka.
Dengan perasaan marah Wanam masuk rumah kepala suku. Langkahnya tergesa-gesa. Sesampai di dalam ia tak menjumpai orang yang dicari. Ia hanya melihat dua perempuan yang sedang meringkuk di tikar dekat perapian. Mereka adalah istri dan putri kepala suku. Kemarahan surut. Ia meminta maaf terpaksa masuk karena ingin bertemu suaminya. Perempuan itu bangun dengan lemah. Ia mengangguk-angguk hormat pada tamunya, kepala suku orang Sukurumuk, calon besannya. Air matanya meleleh. Dengan suara parau ia meminta maaf. “Ayah Dhiblaa belum kembali, harap saudaraku memaafkannya.”
“Pergi?” tanya Wanam membelalak kaget.
“Iya, sejak tamu-tamu itu datang yang pertama kali, hingga sekarang mereka datang lagi, suamiku tak ada.”
Wanam terdiam penuh tanda tanya. Namun ia tak sanggup mengucapkannya. Suara perempuan itu sudah cukup menjelaskan keadaan yang tidak wajar.
Suara lemah istri kepala suku melanjutkan penjelasannya, “Mohon saudaraku merahasiakan. Seseorang telah mengaku sebagai kepala suku lembah Aningguk dan memberi ijin tamu-tamu itu untuk datang kemari. Surat ijin itu dibawa oleh tamu-tamu itu.”
Wanam meradang, “Apakah saudariku tahu siapa orang itu?”
“Tidak sama sekali. Suamiku tak ingin ibu kita Mamakwe terluka. Oleh sebab itu ia meminta anakku Dhiblaa menemaninya berjalan ke kota, entah itu ada di mana. Mereka ingin mendatangi kepala suku para tamu itu.”
Wanam tertunduk malu, ia telah menyangka kepala suku Aningguk telah menjual gunung bersama.Perempuan itu berkata lagi, “Mohon maaf suamiku tak sempat menjelaskan ini padamu dan orang-orangmu. Ia tergesa-gesa.”Wanam mengangguk-angguk menutupi rasa malu dan kawatir akan nasip calon besan dan menantunya.
“Hal yang menambah kesedihanku, adik kami yang diserahi tanggung jawab untuk melindungi warga Aningguk, malah ikut bersekongkol dengan para tamu itu. Orang-orang Aningguk mengira suamiku juga telah menghianati Mamakwe.” Kata perempuan itu makin sedih.
Wanam tak kuasa menatap mata perempuan itu. Ia terpekur dalam penyesalan. Laki-laki tegap itu menyalahkan dirinya sendiri, mengapa tak mengetahui persoalan itu sebelumnya. Ia merasa harusnya ikut berjalan bersama ke kota untuk berbicara baik-baik dengan kepala suku para tamu itu.Istri kepala sukuAningguk kembali memecah keheningan, kali ini suaranya makin menyayat, “Saudaraku, aku tahu engkau bisa melakukan sesuatu. Suamiku tak ada di sini saat ini dan wargaku sekarang tercerai berai. Tolonglah kami. Selamatkan lembah Aningguk dan tentu lembahmu!”
Wanam mengangguk-angguk. Ia berpamitan dengan menggenggam sebuah tekad, menyelamatkan Mamakwe. Sebelum tamunya keluar dari balik pintu, adik Dhiblaa mengulurkan gulungan kertas kecil berwarna kusam kekuningan. “Tolong ini diberikan kepada kakak Pakuwa! Ia tentu ingin tahu kabarnya. Kakakku meninggalkan ini sebelum ia menyusuri jurang-jurang terjal bersama ayahku. Semoga mereka selamat!”
***
Pakuwa menekuri surat berwarna kuning kusam yang diulurkan ayahnya. Ia berkali-kali membaca. Kertas itu kumal oleh air mata. Kali ini ia membacalagi untuk ayah ibunya dengan perasaan bangga. Bunyinya menggemakan haru, sekaligus memantik jiwa, untuk terus melangkah meniti lembah ngarai, mendaki bukit-bukit terjal untuk membela Mamakwe.
Adikku Pakuwa,
Kita besar olehgunung Mamakwe
Aku dan engkau cinta lembah di kakinya
Bukit-bukit kelapa hutan dan cemara
Sungai yang mengalir bening ke muara
Dengan segala yang merayap di bumi
Sulur-sulur rambat persembahkan ubi
Hidupi segenap makhluk semesta menari
Rapalkanlah doa litani hati
Janji nenek moyang kan menuntunku
Pada jalan kembali
Untuk memetik tandan-tandan ranum
Buah-buah kelapa hutan bernas
Tuk penuhi pangkuanmu
Persembahan abadi bagi genarasi
Penjaga garda alam raya
Yang merindu
Kakak Dhiblaa
*penulis adalah anggota Laskar Pena Hijau, sebuah komunitas yang peduli akan upaya-upaya pemeliharaan bumi dan menyuarakannya melalui pena dan gerakan/kampanye hijau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H