Dalam ritual sakral di puncak bukit itu, juga akan diceritakan sebuah rahasia besar yang telah dipegang secara turun temurun, namanya Jajimamakwe. Itu adalah perjanjian dari nenek moyang untuk bersama-sama menjaga gunung Mamakwe. Gunung itu milik bersama dan tak boleh diperebutkan. Mereka juga harus menjaganya dari serangan musuh. Untuk mempererat persekutuan, nenak moyang juga mempunyai janji untuk saling menikahkan anak laki-laki dan perempuan mereka.
Angan Pakuwa terus mengembara. Ia ingat pada suatu malam, ketika serombongan besar laki-laki dewasa Suku Aningguk duduk di rumah adat mereka. Ayahnya bersama para tetua lain menerima mereka dengan penuh persahabatan. Para lelaki tersebut berbicara serius, sesekali ditimpali canda dan tawa. Setelah beberapa saat, ayahnya masuk ke dapur menemui dirinya. Dengan senyum kasih, ayahnya menyampaikan, “Pakuwa, kini saatnya engkau datang ke sana untuk menyampaikan jawabanmu sendiri, apakah engkau akan menerima lamaran laki-laki Suku Aningguk atau tidak.” Gadis itu memandang ayahnya dengan malu-malu. Antara gembira dan was-was, ia menimpali ayahnya dengan balik bertanya, “Siapa yang ingin melamarku Bapa?” Sang ayah membalasnya dengan senyum menggoda. Lalu katanya penuh teka-teki, “Semoga ia adalah laki-laki yang kau impikan Nak.”
Dengan perasaan tak menentu Pakuwa datang ke rumah adat ditemani ibu dan perempuan-perempuan keluarganya. Mereka membawa minuman dan makanan yang telah mereka siapkan sesiangan. Gadis itu menduga-duga tak sabar siapa gerangan yang hendak mempersunting dirinya. Namun sebagai seorang gadis ia telah diajari ibunya tentang bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan seperti itu di hadapan para tamu. Setelah menaruh baki makanan, ia menjabat tangan para tamu dengan muka tersenyum mengikuti ibu dan perempuan-perempuan lain di depannya. Dadanya berdebar luar biasa ketika melihat salah seorang laki-laki yang duduk dalam rombongan itu adalah seseorang yang pernah ia lihat di sekolah Melek Huruf beberapa tahun silam. Ia ayah Dhiblaa.
***
Lamunan Pakuwa terhenti ketika ibu dan beberapa perempuan masuk ke rumah bulat. Bayangan sejarah membahagiakan itu lenyap seketika. Perasaannya bercampur aduk. Ia tak mampu mengurainya satu persatu. Pikirannya galau dan penuh tanda tanya, mengapa impian tentang hidup tentram bersama Dhiblaa dalam pelukan gunung Mamakwe tiba-tiba kabur. Bahkan ia takut kalau hal ini malah akan berubah menjadi prahara. “Nak hal ini memang menyedihkan dan menakutkan. Tetapi kita tidak mempunyai pilihan. Hidup terkadang menjadi rumit, ketika kita harus memilih antara diri kita sendiri atau orang banyak.” Bisiksang ibu sambil membelai-belai rambutnya.
Tangisnya makin meledak. Dalam sedu sedannya ia menangkap kata-kata samar penghiburan ibunya, tetapi itu sulit untuk dipahami. Jantungnya makin bergolak membayangkan pertempuran yang akan terjadi. Ia hanya berharap, orang tua-orang tua mereka masih ingat akan Jajimamakwe, sebuah perjanjian yang selalu diucapkan setiap musim panen kelapa hutan tiba. “Ah itu mungkin sulit,karena Dhiblaa dan sukunya telah berhianat.Mereka telah mematahkan janji sakral nenek moyang, untuk menjaga Mamakwe- gunung, bukit-bukit anaknya, pepohonan dan sungai yang selama ini menjadi sumber hidup bersama.” Batinnya memekik pilu.
Ketenteraman lembah di kaki gunung Mamakwe mulai terusik, ketika suatu hari sebuah helikopter mendarat dekat perkampungan suku Aningguk. Orang-orang yang belum pernah mereka lihat, keluar dari perut burung besi itu. Mereka mencari rumah kepala suku. Penduduk yang berkerumun mengerubungi pesawatsama sekali tak mengenali para tamu tersebut, termasuk dua orang laki-laki yang memiliki perawakan seperti orang Aningguk. Sebagian besar tamu adalah laki-laki, hanya dua orang di antaranya perempuan. Orang-orang asing itu masuk rumah beratap ilalang dengan tergesa-gesa. Beberapa orang nampak berbicara serius di dalam rumah. Beberapa orang lain keluar memandangi bukit-bukit anak gunang Mamakwe. Mereka nampak manggut-manggut, mungkin mengaguminya. Bahkan ada orang yang selalu menempelkan benda panjang pada kedua matanya dan mengintip gunung dari balik benda itu.
“Apakah yang mereka cari?” Itulah pertanyaan orang-orang Aningguk. Lembah ini jarang sekali dikunjungi tamu asing. Para tetua ingat sekali, orang yang pertama kali berkunjung ke situ hanyalah nyonya Lilian dan teman-temannya. Mereka harus menempuh perjalanan berhari-hari. Berikutnya adalah tiga orang laki-laki penggendong tas panjang di punggunggnya. Mereka mengatakan berasal dari tempat yang sangat jauh, namanya Jakarta. Penduduk juga masih ingat, ketika datang mereka terlihat sangat kelelahan dan berlepotan lumpur. Setelah menginap dua malam di rumah kepala suku, mereka berjalan berkeliling dan setelah itu tak pernah nampak lagi.Setelah itu ada tiga orang lagi yang juga diantar pesawat helikopter. Mereka mengatakan orang pemerintah. Jalan menuju lembah di kakiGunung Mamakwe memang sangat sulit. Tempat itu dikelilingi jurang-jurang terjal licin dan perbukitan runcing.
Orang-orang Aningguk menerka-nerka tujuan kedatangan para tamu yang diantar burung besi tersebut. Ada yang menyangka mungkin merekaadalah tuan-tuan yang akan mendirikan kelas melek huruf seperti yang pernah dilakukan nyonya Lilian dan suaminya beberapa tahun silam. Kabar itu tersiar ke seluruh lembah dari mulut ke mulut. Namun di tengah berita tentang kelas Melek Huruf, ada cerita lain yang tertiup samar-samar. Orang-orang ingin membicarakannya, namun ragu-ragu karena susah mengucapkannya. Akhirnya mereka hanya berbisik dari satu telinga ke telinga lain. Katanya tamu-tamu yang datang dengan pesawat itu akan membawa ‘sasi-sasi’. Orang lain membetulkan kata ‘sasi sasi’ dengan ‘posi-posi’. Yang lainnya lagi membisikkan kata ‘mosi’. Hingga suatu hari, ketika sedang bekerja kebun bersama, sesorang yang kebetulan hadir dalam pertemuan itu mengatakan bahwa para tamu akan membawa ‘eksplorasi’ dan ‘m o d e r n i s a s i’. Bagi penghuni lembah di pedalaman, kata-kata itu tidak ada dalam bahasa kesehariannya. Dan ini sungguh membingungkan.
Orang-orang akhirnya berhenti membicarakannya. Mereka tidak lagi saling berbisik tentang dua kata asing yang tak diketahui manfaatnya. Perempuan dan laki-laki kembali pada percakapan biasanya, tentang tanaman ubi, betatas, sayur lilin, kelapa hutan, ternak peliharaan, ikan sungai Malikuku, pohon kelapa hutan, Gunung Mamakwe dan anak-anak mereka. Hingga pada suatu hari ketika orang-orang sedang beristirahat sehabis musim tanam, pesawat helikopter yang lebih besar datang lagi. Dari dalamnya keluar lebih banyak orang, bungkusan-bungkusan besar, tas-tas, alat-alat dan benda lain yang tak mereka ketahui. Dan lebih menghebohkan adalah peristiwa keesokan harinya. Masyarakat yang berkerumun di sekitar pendaratan tercengang-cengang melihat helikopter mengeluarkan benda besar berwarna kuning dari perutnya. Benda itu memiliki roda dan tangan raksasa. Orang-orang mundur dengan sendirinya ketika benda itu dihidupkan. Bunyinya mengaum-ngaum seperti hendak memangsa. Mereka berlarian pulang ke kampung.
Para pendatang itu mendirikan rumah-rumah dari kain dengan cepat. Mereka bermalam di sana. Hari-hari berikutnya pesawat terus datang. Alat besar berwarna kuning diturunkan lagi. Benda-benda lain berbentuk seperti potongan batang kayu besar berwarna biru digelindingkan dari perut pesawat. Orang-orang tersebut bekerja keras, ada yang meratakan lahan pendaratan, membuat jalan, membuat pagar sekeliling lapangan dan lokasi perumahan. Salah satu sisi lembah Aningguk dekat sungai Malikuku kini menjadi hiruk pikuk. Pada malam hari dataran tersebut terang benderang dan terdengar bunyi gemuruh. Sebagian penduduk setempat nampak ikut bekerja. Mereka mendapat imbalan berupa bahan makanan, rokok, parang dan cangkul. Sebagian besar lainnya menolak karena merasa takut.