Mohon tunggu...
Susana Srini
Susana Srini Mohon Tunggu... -

Wong ndeso, tertarik ikutan memperhatikan masalah pendidikan, selalu rindu untuk dapat memberikan sumbangsih bagi upaya-upaya merawat bumi, anggota komunitas Sekolah Komunitas - Sodong Lestari (SoLes), anggota Galeri Guru/TRUE CREATIVE AID dan terlibat dalam Laskar Pena Hijau YBS Cikeas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji untuk Mamakwe, Mama Bumi

5 Juni 2016   15:09 Diperbarui: 5 Juni 2016   17:20 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika musim kelapa hutan tiba, anak-anak dijemput oleh ayah-ayah mereka untuk berlibur. Meski perjalanannya jauh mereka tetap senang karena akan bertemu keluarga.Namun saat-saat menyenangkan seperti ituhanya berlangsung selama empat musim, karena proyek kemanusiaan tersebut berakhir. Waktu itu anak-anak merasa sedih karena kelas Melek Huruf berhenti dan mereka harus kembali ke dusun-dusun yang jauh. Pakuwa masih berharap, suatu saat ayahnya akan mengantar kembali ke sekolah, namun itu tak pernah terjadi lagi. Diam-diam ia merindukan senyum manis Dhiblaa, anak dari Suku Aningguk yang saat ini sedang didatangi sukunya dengan pekik kemarahan.

Lamunannya berlanjut. Ia terkenang peristiwa penting hidupnya kira-kira empat tahun silam. Di depan tungku api sehabis makan malam ayahnya mengumumkan kabar gembira.Sebuah kabar yang selalu ditunggu oleh setiap gadis remaja di lembah itu. “Anak Pakuwa, kamu sekarang sudah menjadi perempuan. Mamamu telah mengganti rok anak-anak dengan pakaian perempuan dewasa karena engkau telah mengeluarkan darah pertama. Purnama depan engkau boleh hadir dalam upacara Jujumamakwe.” Pakuwa tersenyum gembira. Matanya berbinar-binar. Mamanya juga tersenyum penuh kasih sayang ke arahnya sambil mengangguk-angguk.

“Apakah saya boleh ikut membawa daging babi hutan untuk Mamakwe di bukit kelapa hutan itu Bapa?”

“Tentu saja nak, itu memang tugas kalian.” Balas ayahnya dengan suara tak kalah girang. “Perempuan-perempuan akan membawa baki-baki kayu berisi daging babi hutan, ikan sungai Malikuku dan ubi kuning terenak kepada Mamakwe kita.” Sambung ibunya dengan penuh rasa hormat, terutama ketika menyebut nama Mamakwe. Semua orang di lembah Sukurumuk dan lembah-lembah sekitarnya akan selalu mengucapkan nama Mamakwe dengan sakral dan penuh penghargaan. Mamakwe adalah nama gunung yang berdiri di antara lembah Suku Sukurumuk dan lembah Suku Aningguk. Gunung yang dipercayai menjadi sumber kesuburan, ibu mereka.

Waktu itu, semalaman Pakuwa tak bisa tidur. Ia berharap purnama segera tiba. Hal itu tidak hanya karena dirinya akan membawa persembahan yang pertama untuk gunung Mamakwe, tetapi ia juga akan berjumpa Dhiblaa. Kawan yang sangat dirindukan. Diam-diam ia mengaguminya. “Ah pemuda itu tentu akan berada di tengah barisan laki-laki pembawa bibit kelapa hutan dan pohon cemara, bagian perlengkapan ritual Jujumamakwe.

Suku Sukurumuk dan Suku Aningguk setiap tahun menyelenggaran ritual Jujumamakwe bersama-sama. Mereka telah terikat oleh perjanjian nenek moyangnya. Jujumamakwe adalah upacara syukur pada Sang Pencipta dengan membersembahkan makanan dan menanam pohon di lereng-lereng gunung Mamakwe.

Pakuwa belum beranjak dari balik celah dinding rumahnya. Sambil memandangi jalan setepak menuju lembah Suku Aningguk di kejauhan, lamunannya makin liar. Peristiwa bersejarah dalam hidupnya terus hadir, terlihat nyata sekali. Kala itu ia berada sejajar dengan barisan anak laki-laki yang akan diantar ke bukit untuk melakukan ritual pendewasaan dengan menanam pohon. Di sana ada Dhiblaa yang matanya juga sedang mencari-cari seseorang di barisan anak perempuan pembawa makanan persembahan. Lalu mata keduanya beradu pandang. Seulas senyum menawan sama-sama mengembang. Mereka sepertinya menyimpan kerinduan yang sama.

Kala itu Pakuwa juga melihat binar mata Dhiblaa, ketika menyerahkan tandan buah kelapa hutan kepada ibunya. Itu adalah hasil petikan pertama setelah semua anak laki-laki akil balik mengikuti ritual pendewasaan di puncak bukit. Ia membayangkan, andai suatu saat nanti Dhiblaa akan mempersembahkan tandan ranum buah kelapa hutan manis itu padanya sebagai seorang istri. Buah berbentuk bulat menyerupai durian itu akan ia bersihkan. Lalu ia akan membelahnya dan mengambil biji-biji yang sebesar jari tersebut untuk dijemur. Dirinya juga akan membakar beberapa buah untuk dinikmati bersama. Rasanya manis dan gurih. Biji-biji kelapa hutan akan dibawa pulang untuk menjadi makanan istimewa saat mengawali musim tanam ubi.

[genus pandannus - dok. Pribadi]

Rangkaian upacara Jujumamakwe cukup panjang. Itu berlangsung sehari semalam. Tetapi setiaporang menikmatinya. Mereka larut dalam kekhusukan dan kegembiraan. Ritual dimulai pagi hari dengan naik ke bukit Kelapa Hutan, anak gunung Mamakwe. Mereka mempersembahkan makanan kepada mama kesuburan. Tetua suku mengucapkan doa syukur karena telah diijinkan untuk memasuki musin panen buah kelapa hutan lagi. Mereka juga memanjatkan doa untuk musim tanam ubi dan jagung yang akan segera dimulai. Juga berdoa untuk anak-anak laki-laki yang akan diantar ke puncak bukit untuk melangsungkan acara adat pendewasaan.

Anak-anak perempuan memang tidak diijinkan mengikuti upacara skaral itu, tetapi mereka akan mendapat cerita dari ayah-ayahnya. Pada upacara pendewasaan, anak laki-laki akan mendapat nasehat tentang bagaimana menjadi laki-laki sejati. Mereka harus menjaga gunung Mamakwe dengan menanam pohon-pohon. Laki-laki jugaharus menghargai para perempuan seperti mereka menghargai Mamakwe. Para laki-laki juga bertanggunjawab membuka kebun dan memelihara ternak untuk keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun