Puas rasanya bisa memiliki senyummu hanya untukku, tidak untuk yang lain. Tidak juga untuk Bens yang diam-diam suka padamu, dan engkau pun diam-diam menerima ajakan kencannya.
Penggalan kepalamu sudah aku masukan dalam toples besar dan aku tambah dengan cairan pengawet biar wajah tampanmu tetap segar, tidak membusuk dan bau. Aku pajang di sudut kamar tempat kita sering memadu kasih berdua, iya ini kamar pribadi kita, setelah istri dan anak-anakku pergi meninggalkan aku. Sejak mereka mengetahui kalau aku suka sama kamu. Lelaki yang berhasil merebut semua kehidupanku.
Aku sengaja memenggal tepat di batang lehermu saat kau sedang terkekeh dengan senyuman yang sungguh sangat menggodaku. Aku yakin, tanpa rasa sakit. Â Sehingga senyummu tetap mngembang tatkala kepalamu menggelinding meninggalkan batang tubuhmu yang berlumur dosa.
****
Awalnya aku tidak  tertarik dengan dunia semacam ini, lebih dari sepuluh tahun aku hidup tentram dengan istri dan kedua anakku. Namun sejak mengenalmu di tempat gym , kamu telah mengubah segalanya. Kamu begitu baik, perhatian dan mencintaiku dengan segenap birahimu. Kamu sangat mengerti aku melebihi istriku yang telah memberiku anak. Dan kita mulai menjalani kehidupan suka sesama jenis. Aku pun total mencintaimu, dan hubungan dengan istriku pun jadi terasa hambar, sehingga akhirnya mereka meninggalkanku.
Lima tahun kita hidup bersama di rumah ini, tanpa ada tetangga yang mencurigai, karena kau hanya datang saat-saat kita ingin bersama agak lama. Selebihnya kita banyak bertemu di tempat gym,caf maupun di hotel langganan kita.
Kamu tetap hidup bersama keluargamu, orangtua dan adik-adikmu, kamu tetap berprofesi sebagai guru, sebagai pelatih tari dan seperti laki-laki pada umumnya di desamu. Orangtua dan saudaramu tak ada yang tahu hubungan kita seperti apa, walau beberapa kali aku nginap di rumahmu. Kamu tetap sebagai anak dan kakak yang bertanggung jawab. Bahkan hampir semua kebutuhan keluargamu, kamu yang mencukupi, dan tentu saja itu sebagian besar adalah hasil pertolonganku. Karena berapa sih, gajimu sebagai guru honorer dan pelatih senam, tak akan memcukupi kebutuhan keluargamu yang terlanjur ingin hidup enak.
Ketika beberapa hari kau tak menghubungi dan tak juga datang ke rumah. Aku sangat merindukanmu, dan juga mengkwatirkanmu. Hingga sepulang kerja aku datang ke rumahmu.
"Evan, melatih senam keluar kota, Pak . Sudah dua hari yang lalu, begitu dia pamit," kata ibumu yang menemuiku.
"Ya sudah, Bu...nanti saya hubungi Evan, kalau begitu" aku ingin segera pamit.
Berkali-kali telpon genggammu aku hubungi tidak bisa. Tidak biasanya kamu seperti ini, rasa gundah menyelimuti hatiku. Apa yang terjadi denganmu Evan. Apa kau sengaja menghindar dari aku.
Tanpa tujuan aku terus mengendarai mobilku, hingga memasuki batas kota. Sejenak aku singgah di tempat biasanya kita makan, dan memadu cinta.
" Sendirian Om?" sapa pelayan yang sudah mengenalku karena seringnya aku datang kesana bersamamu.
"Iya, Evan baru pergi. Entah keluar kota" jawabku sekenanya.
"Wah... Kemarin Mas Evan mampir sini kok, Om."
Hatiku, terasa deg! Â Evan yang katanya dua hari sudah melatih senam keluar kota singgah disini.
" Sama siapa Mas Evan ke sini?"
"Bersama seorang laki-laki dengan mengendarai mobil Doubel Cabin warna putih, hanya sebentar saja sepertinya Om, mereka sepertinya terburu-buru." jelas pelayan itu lebih lanjut.
Aku langsung berpikir keras, mengingat-ingat siapa pemilik mobil double cabin warna putih itu. Oh ya.... Bens! Iya  Bens . Dia yang selama ini sering memperhatikan bila aku dan Evan terlihat mesra di tempat gym. Lelaki pengusaha yang sudah berumur setengah baya, dengan kumisnya yang tebal dan cincin akiknya yang sekepal kelereng besar, bertatahkan berlian di pinggirnya.
Bens, lelaki flamboyant itu banyak diminati wanita-wanita cantik yang butuh duitnya, dan juga kemesraannya. Ben mungkin sudah bosan hidup di kelilingi perempuan, sehingga sering tampak iri bila melihat kemesran antara aku dan Evan.
Mungkin dia mengincar Evanku. Lelaki yang bisa berpenampilan layaknya lelaki metropolis karena semua biaya dariku. Evan memang menjadi sangat gagah, macho dan juga berwajah bersih, layaknya pemain sinetron kejar tayang.
Tak heran bukan hanya perempuan-perempuan cantik yang berusaha mendekati Evan, banyak juga lelaki--lelaki flamboyant yang ingin juga menikmati kehangatan cintanya.
Bodohnya aku yang sangat percaya padanya.Karena itu aku selalu menuruti segala keinginannya. Aku pikir dia cinta hanya untukku saja, seperti halnya aku. Tapi aku masih penasaran sedang apa dia bersama Bens. Dimana dia sekarang.
Aku segera meninggalkan rumah makan, dan ingin mengejar dimana mereka berdua berada. Aku seperti kehilangan jejak Evanku.
Aku menyetir bak orang kesetanan, kearah luar kota, namun semakin jauh perjalanan, aku merasa semakin jauh dengan Evanku. Aku segera membelokkan mobil dan kembali ke kotaku. Dengan keletihan yang sangat aku menyetir dengan pelan-pelan memperhatikan setiap apa saja melintas, menengok sebentar ke hotel- hotel yang aku lewati. Hasilnya nihil, mobil Bens tak  ada kelihatan,
Aku benar-benar capek, marah dan dongkol. Maka aku putuskan untuk pulang saja. Di rumah aku masih berusaha menghubungi Evan, baik lewat telpon, Whatsapp maupun massanger FB nya. Semuanya nihil. Evan  bak ditelan bumi. Atau ditelan Bens lebih tepatnya.
Kemarahanku luar biasa. Aku sangat kecewa. Aku merasa dipecundangi.
Aku hanya untuk sapi perahan buat Evan. Namun semua segera beralih menjadi rindu yang sangat menggebu-nggebu. Bagaimana Evan memperlakukan aku selama ini, dia begitu sayang padaku.
Apa pun yang aku mau darinya pasti dia lakukan. Bagaimana dia membuatkan nasi goreng seafood  kesukaanku, bagaimana rajin membesihkan tubuhku kalau kita habis bercinta. Dalam bercinta dia sangat mengutamakan kepuasanku daripada memikirkan apa dia orgasme atau tidak. Evan yang setiap jengkal tubuhnya selalu enak aku nikmati. Untuk itulah aku selalu memberikan pada barang-barang mewah untuk keperluannya, dan perawatan mahal untuk tubuhnya di salon ternama langganan kami.
Evan aku sangat merindukanmu...kamu dimana? Apa yang kurang dariku, sehingga kau tega berpaling. Kenapa kau tidak mengatakan bila ada yang kurang dengan diriku.
Tiba-tiba saja kemarahanku datang lagi. Entah setan dari mana, tiba-tiba aku bangkit, mengampil Mandau yang lama aku simpan di gudang. Mandau pemberian seseorang ketika aku bertugas di suatu daerah di Kalimantan.
Aku menemukannya, masih ada dalam sarungnya yang sudah berdebu di atas almari. Aku segera memastikan apakah Mandau ini masih tajam untuk menebas sesuatu. Aku mengasah berkali-kali Mandau ini, aku yakin sudah tajam, tajam sekali.
Tanganku saja sampai terlukai waktu mencobanya. Yang jelas aku tak ingin Evan merasakan sakit. Karena aku sangat mencintainya. Biar aku saja yang sakit, sakit tak terkira dalam hatiku.
Empat hari berlalu, walau malas-malasan aku masih ngantor seperti biasa. Siapa tahu dengan banyak keluar rumah aku bisa menemukan Evan.
Pada hari Kelima Evan tiba-tiba datang. Kala itu senja sudah beranjak, dan hening malam menyertainya. Ia datang sendiri, seperti biasa melalui pintu pagar samping yang memang dia mempunyai kunci serepnya.
Saat itu aku sedang menonton telivisi di ruang tengah. Evan tiba-tiba mencumbuiku dari belakang . Walaupun aku sudah tahu kedatangannya sedari dia membuka pintu pagar, namun kaget juga dengan ciumannya persis di tengkuk leherku. Lembut basah dan sangat menggairahkan.
Tanpa banyak kata ciumannya bertubi-tubi membuatku susah bernafas. Tapi tiba-tiba hatiku berontak. Aku merasa jijik.
Kemarahanku tersengat. Tanpa banyak kata aku baringkan dia di kamar. Dia menurut saja. Karena pikirnya aku akan mengajaknya bercinta setelah kami tidak bertemu beberapa hari.
" Kamu diam saja disitu" evan hanya menurut saja.
Sekelebat aku mengambil Mandau yang sudah aku siapkan di bawah tempat tidur.
Evan hanya tersenyum manis ketika melihatku membawa Mandau. Dia pikir aku hanya main-main. Tapi senyumnya itu, sempat membuatku sangat terpana, hampir saja aku tergodanya lagi. Kalau tidak segera aku ayunkan Mandau ini menebas tepat di batang lehernya.
Kepala Evan menggelinding, jatuh tepat di depan kaca kamar, seperti orang yang hendak mengaca, dia masih memperlihatkan senyumannya. Mungkin dia tidak menyadari kalau kepalanya sudah berpisah dari tubuhnya.
Aku segera memungut kepala itu, dan menciumi bibirnya sampai puas. Â Setelah itu memasukkan ke dalam toples kaca yang lumayang besar. Biar dia tidak susah bernafas. Ketika senyumnya telah memudar baru aku memasukkan cairan pengawet dalam toples. Biar hanya kepalanya saja yang menemaniku sekarang. Dengan senyumnya yang khas sepanjang hari.
Sedang tubuhnya, aku  jijik melihatnya. Apalagi mengingat tubuh itu habis dipakai bercinta dengan Bens. Aku harus segera menyingkirkannya. Tapi bagaimana cara belum terpikirkan sebelumnya.
Aku segera menggambil koper yang lumayan besar cukup untuk meringkukkan tubuh  Evan yang cukup atletis. Aku masukkan tubuh itu ke dalam koper setelah mencopoti semua pakaian yang dia kenakan, biar  orang tidak mudah mengenalinya.
Antara binggung, dan gugup menyerangku. Meski begitu aku harus tampak tenang, membawa koper itu ke bagasi mobil.
Aku arahkan mobil keluar kota, tempat aku melabuhkan tubuh Evan, entah kemana nanti.
Tepat  jam 12 malam jalanan sudah sangat sepi dan gelap aku segera melemparkan koper itu dari atas jembatan sebuah sungai di pinggiran kota. Aku berharap hujan turun dengan deras, air sungai meluap membawa koper itu ke laut. Selamat berlayar Evanku sayang... Maafkan aku yang sangat mencintaimu.
Kudus, 6 April 2019
Salam fiksi
Dinda Pertiwi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI