Tanganku saja sampai terlukai waktu mencobanya. Yang jelas aku tak ingin Evan merasakan sakit. Karena aku sangat mencintainya. Biar aku saja yang sakit, sakit tak terkira dalam hatiku.
Empat hari berlalu, walau malas-malasan aku masih ngantor seperti biasa. Siapa tahu dengan banyak keluar rumah aku bisa menemukan Evan.
Pada hari Kelima Evan tiba-tiba datang. Kala itu senja sudah beranjak, dan hening malam menyertainya. Ia datang sendiri, seperti biasa melalui pintu pagar samping yang memang dia mempunyai kunci serepnya.
Saat itu aku sedang menonton telivisi di ruang tengah. Evan tiba-tiba mencumbuiku dari belakang . Walaupun aku sudah tahu kedatangannya sedari dia membuka pintu pagar, namun kaget juga dengan ciumannya persis di tengkuk leherku. Lembut basah dan sangat menggairahkan.
Tanpa banyak kata ciumannya bertubi-tubi membuatku susah bernafas. Tapi tiba-tiba hatiku berontak. Aku merasa jijik.
Kemarahanku tersengat. Tanpa banyak kata aku baringkan dia di kamar. Dia menurut saja. Karena pikirnya aku akan mengajaknya bercinta setelah kami tidak bertemu beberapa hari.
" Kamu diam saja disitu" evan hanya menurut saja.
Sekelebat aku mengambil Mandau yang sudah aku siapkan di bawah tempat tidur.
Evan hanya tersenyum manis ketika melihatku membawa Mandau. Dia pikir aku hanya main-main. Tapi senyumnya itu, sempat membuatku sangat terpana, hampir saja aku tergodanya lagi. Kalau tidak segera aku ayunkan Mandau ini menebas tepat di batang lehernya.
Kepala Evan menggelinding, jatuh tepat di depan kaca kamar, seperti orang yang hendak mengaca, dia masih memperlihatkan senyumannya. Mungkin dia tidak menyadari kalau kepalanya sudah berpisah dari tubuhnya.
Aku segera memungut kepala itu, dan menciumi bibirnya sampai puas. Â Setelah itu memasukkan ke dalam toples kaca yang lumayang besar. Biar dia tidak susah bernafas. Ketika senyumnya telah memudar baru aku memasukkan cairan pengawet dalam toples. Biar hanya kepalanya saja yang menemaniku sekarang. Dengan senyumnya yang khas sepanjang hari.