Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sri Patmi: Amanah Garis Merah

7 Desember 2020   14:46 Diperbarui: 7 Desember 2020   14:49 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kudengar sayup angin berbisik menyampaikan sebuah cerita tentang garis merah. Sudah tiga kali mempercayainya, tapi ia belum menyampaikan sebuah berita. 

Lalu, angin datang dan duduk bersamaku, kurasakan aroma daging yang lezat ia bawa dari tetangga sebelah. Bola matanya memicing tajam seperti anak panah. 

Tiba-tiba ia merangsek dalam alirah darah menghilangkan gejolak hati yang mulai resah. Suara riuh angin memecah keheningan pagi ini dengan tanda dua garis merah. Ia sampaikan berita itu kepada keluarga yang sudah menyimpan rindu hingga membuncah.

Sebelum aku tahu, dua garis merah ini sempat aku ajak berangkat menyusuri bekas tapak pecinta alam. Dalam ketinggian 1806 mdpl, kuajarkan ia untuk mensyukuri berkah kehidupan yang diberikan Maha Pencipta. 

Jauh dari hiruk pikuk dunia yang terasa mulai menua. Meski hidup didunia ini hanya sementara, tetapi jangan menjadikannya sia-sia. Kelilingi kehidupan ini dengan kisah yang menjadikanmu semakin berharga.

Dengan ditemani suami, kutemui dokter kandungan terdekat untuk memastikan ia telah hadir dalam kehidupan kami. Dokter mengajukan beberapa pertanyaan tentang hari pertama haid dan haid terakhir. Melihat kalender lalu menentukan hari perkiraan lahir (HPL). 

Sedikit penasaran, aku segera browsing tentang rumus menentukan usia kehamilan dari siklus haid. Bagiku, ilmu baru ini belum pernah aku terima dalam ruang lingkup pendidikan formal. 

Rumus Neagle ini dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) dengan rumus = (Hari +7), (Bulan -3), (Tahun +1). Untuk bulan yang tidak bisa dikurangi 3,seperti Januari, Februari, Maret cukup +9 tetapi tahunnya tetap.

Jika dilihat dari haid terakhir, kini usianya sudah memasuki minggu ke-6. Pengecekan yang dilakukan adalah pemeriksaan berat badan, pemeriksaan perut, kadar hemoglobin (HB), lingkar lengan, tinggi badan dan USG. 

Setelah semua pemeriksaan laboratorium tersebut dilakukan, dokter mencatat dalam kartu pemeriksaan kehamilan yang sering disebut Ante Natal Care (ANC). 

Dalam kartu tersebut tertera tanggal pemeriksaan, berat badan, vitamin yang diberikan. Saat itu, vitamin yang diberikan adalah asam folat, penambah darah agar tidak anemia, kalsium, dan pereda mual serta muntah.

Meski kehamilan pertama, ia tidak rewel, doyan makin segalanya. Aku merasakan mual dan muntah sekali pada trimester awal. Saat itu, yang aku rasakan adalah nafsu makan berkurang, badan mudah lelah dan rasa kantuk yang tidak dapat dibendung lagi.

Cara yang kulakukan agar kondisi fisik tetap fit ialah olahraga ringan, konsumsi makanan sehat, menambah nutrisi dari Folamil Genio dan susu serta mengurangi aktivitas fisik yang cukup berat. 

Di rumah, aku selalu dibantu oleh suamiku. Aku mengagumi sosoknya yang cekatan dan cepat tanggap dalam segala hal, salah satunya dalam hal pekerjaan rumah tangga.

Secara harfiah, seorang manusia membutuhkan komunikasi untuk keberlangsungan hidup. Walau masih didalam rahim, ia aktif untuk meminta kasih sayang dari orang tuanya dengan gerakan pelan pada waktu -- waktu tertentu. Setiap ayahnya akan berangkat kerja, ia senang diajak komunikasi secara haptic melalui belaian dan pelukan. 

Mulai dari usia 6 minggu, ia selalu kuberi sugesti berupa kalimat persuasif serta orientasi pada agama. Bagiku, pendidikan anak sejak dini, dimulai dari dalam kandungan. Tumbuhkan ikatan batin yang kuat antara orang tua dan anak.

Kulihat almanak yang tergantung di tembok dinding ruang tamu. Saat ini ia telah memasuki minggu ke-13, tetapi perutku belum terlihat membuncit. Kucari beberapa referensi dari buku dan pengalaman ibu-ibu yang telah menjalani masa kehamilan. 

Mereka menyatakan bahwa untuk kehamilan pertama, perut akan terlihat membesar pada usia kandungan 17 minggu, ditambah lagi dengan postur tubuhku yang kurus. 

Untuk mengobati rasa penasaran yang semakin bergejolak, segera aku mengambil second opinion ke dokter kandungan lain. Informasi yang aku dapat sama dengan dokter sebelumnya. Seperti ngarai yang sudah tidak tersumbat aliran airnya, pikiran mengalir lagi dengan tenang.

Pada minggu ke-14 tepatnya pukul 12:00, tiba-tiba aliran darah merah keluar dengan sangat cepat. Sebagai orang tua, kami tetap merasakan kepanikan yang bergejolak didalam dada, namun kami tetap berpikir positif. 

Bergegas kendaraan MPV meluncur ke rumah sakit. Aku tetap berusaha menenangkan kondisi suami yang tengah dilanda kegelisahan. Lagi lagi, kami masih dalam lindungan Allah, karena dokter memberikan informasi bahwa bayinya dalam kondisi baik, tetapi diberikan obat penguat kandungan. Kekhawatiran itu terlepas lagi keluar dan hilang terbawa malam.

Dua minggu kemudian, darah merah datang kembali kepada kami dengan jumlah lebih sedikit tetap frekuensinya sering. Entah segala rasa menjadi satu, khawatir, sedih, panik dan larut dalam keadaan. Suamiku sedang diluar kota, segera aku menghubunginya.

"Assalamu alaikum Ayah"

"Walaikum salam Bu, ada apa? Bagaimana dengan anak kita? Sudah makan dan minum vitamin?"

"Sudah yah, oh iya, nanti kalo pekerjaannya sudah selesai, segera pulang ya! Sudah jadwal pemeriksaan ANC lagi, kalo tidak keberatan, tolong ditemenin ya?"

"Kamu daftar dulu, nanti kita jam 5 sore segera aku usahakan sudah di rumah. Kalo aku datang telat, kamu ke dokter duluan, nanti kita ketemu disana".

"Aku sudah daftar dengan nomor urut antrian satu, jam 5 sore ya, yah? Assalamu alaikum"

"Walaikum salam"

Perbincangan 180 detik di telepon telah membuatku sedikit tenang. Tak lama kemudian, darah merah datang bersamaan dengan rasa mulas yang tidak tertahankan. Prinsipku, selama aku bisa melakukannya sendiri, aku tidak ingin merepotkan orang lain. 

Segera kukendarai kuda besi roda dua. Kulihat awan gelap dan hitam telah menyelimuti petang, gemuruh petir saling bersahutan. Mulut dan hatiku terus berzikir dan melafadzkan asma Allah mengharap anak kami tidak mengalami masalah yang berarti.

Ditengah perjalanan, hujan deras mengguyur sekujur tubuhku. Atas kekuatan Allah, saat itu terus kupacu kuda besiku tanpa henti menerjang hujan dan jalanan yang banjir. Sesampainya di rumah sakit, dokter kandungan yang bertugas belum tiba karena terjebak hujan. Agar suamiku tidak khawatir, kukirimkan pesan padanya.

"Assalamu alaikum yah, aku sudah di rumah sakit. Kalo sudah sampai, tolong segera menyusul".

Dalam perihnya sakit, kuusap perutku dengan penuh kelembutan. Sembari mengajaknya berbicara seakan dia paham apa yang aku ucapkan.

"Sabar ya nak, kita sama-sama dzikir ya supaya kamu baik dan tenang"

Dokter kandungan datang, langkah kakinya menuju ke ruangan sudah aku perhatikan dari kejauhan. Tak lama kemudian, perawat memanggil namaku. Kuceritakan kondisi dan keluhan yang aku alami. Bagiku, ucapan dokter itu merupakan garam yang ia taburkan pada luka yang menganga.

"Baiklah, mari kita cek bersama bu! Jika pendarahan disertai dengan rasa keram perut, kemungkinannya hanya 3 yaitu janinnya tidak berkembang, bayinya meninggal dan bayinya hanya sakit. Kita sama-sama berdoa ya semoga bayinya hanya sakit".

Aku berbaring diatas tempat tidur, sebelah kanan ada alat USG dan beberapa meter diatas kepalaku ada layar monitor berukuran 14 inch. Rasa tak kuasa, tapi aku harus memastikan kondisinya baik-baik saja dalam layar itu.

Ternyata, kenyataan berkata lain. Statement dokter mengatakan bahwa bayinya meninggal. Saat itu, bagaikan disayat dengan ribuan sembilu dan disambar petir ditengah teriknya matahari.

Dokter meminta persetujuan untuk melakukan kuretase kepadaku dengan dengan sedikit intimidasi.

"Bu, karena bayinya meninggal, kita harus segera kuret. Kalo tidak segera dikuret, dapat membahayakan kondisi ibu. Coba ibu bayangkan, daging busuk ada didalam rahim ibu selama berbulan-bulan, itu sudah menjadi apa didalamnya? Ibu bisa bayangkan itu? Rahim itu asset yang berharga bagi seorang wanita, bu. Jangan sampai iu kenapa-kenapa karena telat dikuret". 

"Baik dok, saya menunggu suami saya datang dulu untuk mempertimbangkan"

 Selang lima belas menit kemudian, kuda besi dengan ditunggangi dua orang diatasnya tiba didepan rumah sakit. Kulihat sosok pria yang tinggi dan atletis tergesa-gesa memasuki lobby. Betul, dialah suamiku. Mukanya terlihat panik dan khawatir. 

Kuberikan ia segelas air teh untuk menghangatkan tubuhnya yang basah kuyup tersiram hujan. Setelah rileks, kuberikan buku pemeriksaan ANC dan hasil foto USG. Refleks secara manusiawi, ia peluk tubuhku dengan erat.

"Allah lebih sayang sama anak kita, yang terpenting adalah kondisi kamu saat ini. Ibunya harus segera diselamatkan"

Setelah mengetahui cerita tentang dokter tersebut memberikan pelayanan dengan cara mengintimidasi pasien. Kami memutuskan untuk melakukan kuret di rumah sakit ibu dan anak yang lainnya. 

Di rumah sakit yang ini, kami mendapatkan pelayanan prima dari tim medis. Bahkan ada beberapa penyuluhan dan pengetahuan yang diberikan kepada kami sebagai calon orang tua. 

Di UGD, bidan melakukan pemeriksaan pertama dan belum ada pembukaan. Sehingga kami diizinkan untuk pulang terlebih dahulu tetapi dengan catatan apabila terjadi pendarahan hebat dalam 1 jam ganti pembalut beberapa kali, maka disegerakan untuk kembali ke rumah sakit tersebut atau rumah sakit terdekat.

Sepertinya proses peluruhan janin yang keguguran tersebut menunggu proses alamiah dari dalam tubuh. Karena dokter tidak memberikan obat atau sejenisnya saat kami diizinkan pulang. 

Keesokan harinya, tepat pukul 19.00 WIB setelah adzan isya, perut melilit dan keram, darah merah yang keluar sudah dalam bentuk gumpalan merah pekat. 

Dalam waktu satu jam, sudah 3 kali ganti pembalut. Tindakan awal yang dilakukan oleh pihak rumah sakit ialah pemeriksaan pembukaan pada lubang vagina.

Setelah itu, kurasakan rasa ingin buang air kecil tak tertahankan. Bersamaan dengan buang air kecil, keluar segumpal darah berukuran 9 cm. Ternyata itulah plasenta serta anak kami yang telah meninggal.

Sembari menunggu suami dan orang tuaku menyelesaikan proses administrasi. Kuisi waktu dengan muhasabah diri, sebelum masuk ke ruang operasi. 

Jam 11 malam, kurasakan pengalaman pertama menjadi orang tua yang melahirkan anaknya dengan normal serta operasi dilatasi dan kuretase. Bius spinal disuntikkan kedalam tulang belakangku. 

Perlahan kakiku merasakan kondisi seperti kesemutan lalu merambat hingga ke pinggang. Dokter anestesi disebelah kiri sembari mengajak berkomunikasi fatik. 

Alat pengecek tensi darah dipasang lengan kanan dan kiri, terus bekerja dalam waktu beberapa menit untuk memastikan tensi darah selama operasi dalam kondisi normal. 

Lampu operasi dinyalakan, dokter kandungan datang. Meski dalam kondisi dibius, aku merasakan alat medis itu masuk dalam rahimku. Bayangan aktivitas yang mereka lakukan terlihat dari pantulan cahaya lampu diatasku.

Dua puluh menit kemudian, dokter kandungan itu menyatakan operasi telah selesai dilaksanakan. Beberapa jaringan yang berhasil dikeluarkan dari dalam rahim dibawa untuk dilakukan pengecekan di laboratorium. 

Keluar dari ruang operasi, sekujur tubuh dingin hingga menggigil, gemertak gigi saling berbeturan menahan dingin dan setengah badan yang mati rasa. Perawat menyelimutiku dan mengatakan bahwa kondisi dingin tersebut adalah efek obat bius.

Ruang transit ini untuk pemulihan dari efek obat bius. Mulai dari jam 12 malam hingga adzan subuh menjelang, kurenungi betapa banyak dosa yang telah kuperbuat kepada orang tuaku. Ibu rela mengorbankan hidup dan matinya untuk kehidupan anak. 

Itulah yang dinamakan hidup diantara hidup dan mati. Ayah berjuang untuk memberikan kehidupan yang layak untuk keluarga. Orang tua tidak pernah mengharap apapun kecuali anaknya agar tetap hidup bahagia. 

Begitu mudah kita menjadikan hatinya terluka. Sesibuk apapun, ajak mereka bicara. Karena mereka yang mengajarkan kita tentang kata. Jangan mudah patah semangat dan lelah, karena mereka pantang menyerah mencari nafkah. Kita tidak akan pernah tahu, bahwa kesuksesan kita berawal dari sebuah restu orang tua.

We never know the love of a parent till we become parents ourselves yang berarti kita tidak pernah tahu kasih sayang orang tua samapai kita menjadi orang tua diri kita sendiri. Terima kasih ayah dan ibu, sungguh bakti kami takkan cukup membalas keikhlasan dan ketulusan cintamu kepada kami. 

Sebagai orang tua, kami telah gagal dalam menjaga amanah, semoga kami bisa menjadi orang tua yang baik seperti kalian menjaga dan merawat kami hingga usiamu telah renta.

Dua garis merah, terima kasih telah mengajarkan kami tentang gejolak amarah. Datang dan pergi tiba-tiba tanpa arah. Sekarang dua garis merah terbingkai rapi dalam untaian sejarah.


***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun