"Assalamu alaikum Ayah"
"Walaikum salam Bu, ada apa? Bagaimana dengan anak kita? Sudah makan dan minum vitamin?"
"Sudah yah, oh iya, nanti kalo pekerjaannya sudah selesai, segera pulang ya! Sudah jadwal pemeriksaan ANC lagi, kalo tidak keberatan, tolong ditemenin ya?"
"Kamu daftar dulu, nanti kita jam 5 sore segera aku usahakan sudah di rumah. Kalo aku datang telat, kamu ke dokter duluan, nanti kita ketemu disana".
"Aku sudah daftar dengan nomor urut antrian satu, jam 5 sore ya, yah? Assalamu alaikum"
"Walaikum salam"
Perbincangan 180 detik di telepon telah membuatku sedikit tenang. Tak lama kemudian, darah merah datang bersamaan dengan rasa mulas yang tidak tertahankan. Prinsipku, selama aku bisa melakukannya sendiri, aku tidak ingin merepotkan orang lain.Â
Segera kukendarai kuda besi roda dua. Kulihat awan gelap dan hitam telah menyelimuti petang, gemuruh petir saling bersahutan. Mulut dan hatiku terus berzikir dan melafadzkan asma Allah mengharap anak kami tidak mengalami masalah yang berarti.
Ditengah perjalanan, hujan deras mengguyur sekujur tubuhku. Atas kekuatan Allah, saat itu terus kupacu kuda besiku tanpa henti menerjang hujan dan jalanan yang banjir. Sesampainya di rumah sakit, dokter kandungan yang bertugas belum tiba karena terjebak hujan. Agar suamiku tidak khawatir, kukirimkan pesan padanya.
"Assalamu alaikum yah, aku sudah di rumah sakit. Kalo sudah sampai, tolong segera menyusul".
Dalam perihnya sakit, kuusap perutku dengan penuh kelembutan. Sembari mengajaknya berbicara seakan dia paham apa yang aku ucapkan.