Setelah mengetahui cerita tentang dokter tersebut memberikan pelayanan dengan cara mengintimidasi pasien. Kami memutuskan untuk melakukan kuret di rumah sakit ibu dan anak yang lainnya.Â
Di rumah sakit yang ini, kami mendapatkan pelayanan prima dari tim medis. Bahkan ada beberapa penyuluhan dan pengetahuan yang diberikan kepada kami sebagai calon orang tua.Â
Di UGD, bidan melakukan pemeriksaan pertama dan belum ada pembukaan. Sehingga kami diizinkan untuk pulang terlebih dahulu tetapi dengan catatan apabila terjadi pendarahan hebat dalam 1 jam ganti pembalut beberapa kali, maka disegerakan untuk kembali ke rumah sakit tersebut atau rumah sakit terdekat.
Sepertinya proses peluruhan janin yang keguguran tersebut menunggu proses alamiah dari dalam tubuh. Karena dokter tidak memberikan obat atau sejenisnya saat kami diizinkan pulang.Â
Keesokan harinya, tepat pukul 19.00 WIB setelah adzan isya, perut melilit dan keram, darah merah yang keluar sudah dalam bentuk gumpalan merah pekat.Â
Dalam waktu satu jam, sudah 3 kali ganti pembalut. Tindakan awal yang dilakukan oleh pihak rumah sakit ialah pemeriksaan pembukaan pada lubang vagina.
Setelah itu, kurasakan rasa ingin buang air kecil tak tertahankan. Bersamaan dengan buang air kecil, keluar segumpal darah berukuran 9 cm. Ternyata itulah plasenta serta anak kami yang telah meninggal.
Sembari menunggu suami dan orang tuaku menyelesaikan proses administrasi. Kuisi waktu dengan muhasabah diri, sebelum masuk ke ruang operasi.Â
Jam 11 malam, kurasakan pengalaman pertama menjadi orang tua yang melahirkan anaknya dengan normal serta operasi dilatasi dan kuretase. Bius spinal disuntikkan kedalam tulang belakangku.Â
Perlahan kakiku merasakan kondisi seperti kesemutan lalu merambat hingga ke pinggang. Dokter anestesi disebelah kiri sembari mengajak berkomunikasi fatik.Â
Alat pengecek tensi darah dipasang lengan kanan dan kiri, terus bekerja dalam waktu beberapa menit untuk memastikan tensi darah selama operasi dalam kondisi normal.Â