Mohon tunggu...
Sri Mulyani (Agil Senja)
Sri Mulyani (Agil Senja) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya adalah seorang pengembara kata. Berjalan pada sebuah perkiraan, namun sering gagal menerka pertanda. Saya mungkin satu dari jutaan orang di dunia yang mencintai sastra. Apakah kita bisa saling berbagi titik atau koma?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Bulan November

21 Januari 2023   12:00 Diperbarui: 21 Januari 2023   12:00 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan Bulan Nopember

 

Malam masih begitu dini memunculkan kemilau bintang di angkasa, aku mempercepat langkah sebelum gelap mulai rindang di pelataran.

18.30 WIB..

Aku berhenti sejenak ketika melewati rumah itu, hening seperti rumah kosong yang tak berpenghuni. Ya, dirumah paling mewah dikampungku itu ia tinggal. Rumah paling gede diantara rumah-rumah lainnya, rumah dengan pagar tinggi, taman sangat luas dan entah bagaimana aku bisa mendeskripsikannya, yang aku tahu rumah itu memang lebih dari sekedar indah. Aku berhenti beberapa saat, dan tiba-tiba aku mendengar suara seseorang membuka pintu pagar...

Krrrkkk... astaga ternyata yang keluar adalah Bagas, aku gelagapan ketika Bagas melihatku dan bodohnya aku belum sempat pergi dari tempatku berdiri ketika ia mulai membuka pagar.

“Hay Gas... tumben di rumah, kapan pulang??”

Dan masih sama seperti bertahun lalu, hanya senyum kecut sebagai balasan. Sebelum hatiku semakin sesak aku bergegas untuk melangkah pergi. Dan tiba-tiba ia berkata sekenanya padaku.

“Darimana?”

Ibarat tersengat petir jantungku berdetak tak beraturan.

Ehmmm, (abis nganter kue ke rumah bu Ndari Gas..) itu yang ingin kukatakan, tetapi entah mengapa tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku.

Dia seolah mengerti kegagapanku dan tersenyum sambil berjalan ke arah mobilnya. Ia berlalu dengan mobilnya meninggalkan rumah sebelum sempat aku menjawabnya. Padahal aku hanya ingin bilang, apa kabar Gas?

Aku memandangi mobilnya yang melaju hingga hilang bayangan. Lebih dari lima belas tahun sudah aku menyimpan rasa untuknya. Aku tahu itu tak mungkin, tapi sungguh aku tak pernah berharap apapun terhadapnya, aku hanya ingin mencintainya terus entah sampai kapan aku mengikhlaskan rasa itu berlalu. Sambil berjalan menuju rumah aku terus teringat pada mata elang Bagas, mata itu masih sama seperti bertahun lalu ketika pertama kali aku mengenalnya.

Saat itu aku masih bocah lima tahun, yang baru naik ke kelas 1 SD, masih ingusan, polos, dan tak pernah paham dengan carut marutnya perasaan. Meski terlalu nisbi untuk bocah seumuranku dulu, tapi aku merasa ingin dekat dengannya, itu saja tak lebih. Aku melihat seorang anak bermata elang duduk disudut kelas dengan tatapan tajam pada anak-anak yang tengah bermain ayunan. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya.

 “Namamu siapa? Sepertinya aku tak pernah melihatmu..”

Tanpa menjawab pertanyaanku kau berlari seperti tak ingin siapapun mengganggumu. Belakangan aku baru tahu kau bernama Bagas, anak pindahan dari kota ketika guru mengenalkanmu. Waktu itu aku juga belum tahu bahwa ibumu adalah seorang dokter, dan ayahmu adalah seorang pegawai bank.

Lalu apa salahnya orang sepertiku mengenal anak konglomerat sepertimu?

Bel berbunyi tanda masuk kelas dan memulai pelajaran. Bangku ayunan mulai sepi bergoyang-goyang sendiri bersama angin yang menyapanya. Kau tak dapat teman duduk dan hanya bangku di sebelahku yang kosong, akhirnya sejak saat itu kau adalah teman sebangkuku. Waktu terus beranjak dan kita tetap berdiam dalam pikiran masing-masing yang tak pernah kita sampaikan. Meski begitu tanpa sadar kadang kau memandangku, meminjamkan crayonmu ketika pelajaran menggambar, karena aku hanya punya dua warna, hijau dan merah, atau kadang menungguku pulang bareng hanya untuk berjalan beriringan. Berlanjut hingga bertahun-tahun dan akhirnya kita lulus SD, aku dan kau makin kehilangan makna.

Tanpa terasa aku telah sampai di halaman rumah ketika jam di dinding rumahku menunjukkan waktu pukul 19.15 WIB.

 “Bu Ndari ada nduk?”

“Ada buk, katanya uangnya akan dibayar besok. Oiya, bu Ndari bilang minggu depan pesen kue potong dan brownies, masalah berapa jumlahnya nanti dikabari lagi buk”.

“Alhamdulilah, ya sudah kamu ndang makan sana terus siap-siapin baju yang mau kamu bawa besok”.

“Maaf buk, sepertinya Rinta belum bisa balik besok, masih pingin dirumah sampai beberapa hari kedepan”.

“Loh nduk, ada apa? Kok mendadak gak jadi balik. Dari kemarin kan kamu ngebet pingin balik katanya banyak tugas”.

“Masih kangen sama ibuk, lagian kuliahku masuknya masih awal minggu depan kok buk, jadi masih ada waktu tiga atau empat hari lagi”.

“Walah nduk, buk’e tahu kamu ini pasti lagi ada sesuatu. Mau ngapain kamu? Hayoo ngaku sama buk’e..”

“Hehehe... gak buk’e, sungguh Rinta pingin nyantai dulu, masih capek mau balik, lagian buk’e nanti sendiri lagi kalau Rinta dah balik, sepi lagi deh rumahnya, hehehe.. dah ya buk Rinta ke kamar dulu njih...”

“Ada saja kamu nduk kalau mau alasan”.

          Kurebahkan tubuh letihku di atas kasurku yang sederhana. Kasur dari zamanku kecil dan belum pernah diganti meski nampak kapasnya mulai kehilangan kemampuan memberikan rasa empuk pemakainya. Hanya spreinya saja yang beberapa kali diganti untuk memberikan suasana baru dan membuang bau apek yang menumpuk .

Bagas... nama itu kembali menyeruak di benakku. Ahh, kenapa juga harus bertemu setelah sekian lama kita saling menghilang. Aku dan Bagas mulai jarang bertemu setelah ia melanjutkan SMP berlanjut SMA di kota dan akhirnya melanjutkan kuliah di Surabaya setelah tiga kali gagal mengikuti tes masuk AKPOL . Sementara aku setelah lulus SMA harus bekerja dulu selama dua tahun agar bisa menabung untuk biaya masuk kuliah, dan selama kuliah pun aku masih sambil bekerja untuk menambah biaya hidup. Hari ini, melihatnya lagi seperti membuka buku kenangan yang selalu kubawa dalam setiap waktuku. Bagas, sebuah nama yang teramat istimewa dalam imajiku. “Maaf buk, aku tidak jadi balik karena aku berharap bisa bertemu Bagas lagi seandainya mungkin, tugasku bisa kulembur nanti.” Aku bergumam dalam hati, seperti memanjatkan sebuah do’a yang mengalun perlahan, bergema di selurh ruangan kamar, kembali menampar-nampar mukaku dan sukses membuatku terjaga hingga dini hari.

Mentari bersinar begitu cerah, berbagi senyum pada pucuk-pucuk daun yang merindukan sinarnya. Masih cukup pagi untuk jalan-jalan menghangatkan sendi-sendi yang lelah. Aku mengayuh sepedaku ke pasar kliwonan yang tak begitu jauh dari rumahku. Olahraga sambil cari jajanan pasar untuk sarapan, sekalian membeli sale pisang dan brondong jagung kesukaan ibuk kost aku. Sesampainya di pasar ternyata tak serame biasanya, mungkin aku agak kesiangan. Ketika tengah asyik bercanda dengan ibu penjual sale tak sengaja kudengar obrolan ibuk-ibuk disebelahku.

“Darimana jeng Dina??”

“Ini si kecil panas, dari semalem nangis terus buk, tadi mau saya periksakan ke tempat bu Sella tapi rumahnya kosong katanya lagi nganter anaknya lamaran ke Surabaya”.

Rasanya langit di atasku seketika mendung, tanpa ragu-ragu lagi aku ingin memastikan perkataan ibu itu apakah bu Sella yang dimaksud itu adalah ibunya Bagas.

“Ngapunten, mau tanya buk.. tadi tidak sengaja dengar ibu mengatakan anaknya bu Sella lamaran? Apa yang ibu maksud itu Bagas?”

“Ouuw iya mbak, Bagas anaknya bu Sella yang punya klinik itu lo. Mbak kenal?”

“Iya buk, temen saya, hanya saja saya sedikit kaget denger kabar itu soalnya sudah lama tak mendengar kabarnya”.

Oooo..begitu rupanya, ya yang saya dengar dari pembantunya tadi sih katanya semua keluarga ikut ke Malang, acara lamaran putra kesayangannya begitu”.

“Ya sudah terima kasih buk informasinya, saya permisi dulu, monggo...”

“Iya mbak, monggo-monggo...”

Tanpa berpikir panjang lagi aku segera mengayuh sepedaku bergegas pulang. Aku hanya ingin berlari secepat mungkin dan merebahkan tubuhku di kasur dan menangis sepuasku. Jam 10.15 WIB aku sampai dirumah, tak berpikir untuk mandi ataupun sarapan, yang terpikir dibenakku hanya berada di kamar tanpa siapapun mengganggu. Mungkin bagi sebagian orang ini hal yang biasa, tapi bagiku ini adalah kesedihan yang teramat sangat. Aku memang tak pernah berharap Bagas jadi siapaku, hanya saja kabar dia lamaran dan mungkin setelahnya akan menikah itu sangat menikamku. Apakah aku masih boleh memiliki perasaan kepada suami orang? Ohh Tuhan aku tak keberatan memendam perasaan ini sendirian, bertahun-tahun. Tapi setelah ini bagaimana??

Waktu terasa seperti begitu lama untuk kulewatkan dengan risau dan kegundahan. Tapi tak mungkin aku bisa menyembunyikan rasa sedihku dari ibu lebih lama lagi. Dua hari setelah kabar itu, aku memutuskan untuk segera kembali ke kost. Sepertinya kesibukan kuliah akan sedikit melupakan segala hal tentang Bagas.

Pagi di awal Bulan November, aku berpamitan dengan ibuku. Terasa begitu berat ketika kulepas teduhnya kampungku. Bukan karena apapun, melainkan begitu beratnya meninggalkan segala kenangan dan kisah-kisahku bersama Bagas dulu. Hampir dua puluh tahun aku menyimpan namanya, menyimpan rasa dan sedikit asa untuknya. Namun kini, entah berapa waktu yang kubutuhkan untuk melupakan setiap jengkal kenangan itu. Karena aku tak cukup yakin bisa menyimpannya di dalam hatiku.

Sampai di stasiun Tulungagung hujan turun begitu derasnya, berjam-jam kutunggu kereta jurusan Malang, tak kunjung datang. Penat terasa begitu menyiksa, hujan dan kabut saling bercumbu menari di angkasa. Ketika kereta akhirnya tiba di sore yang kelabu. Gerimis masih turun perlahan, kulangkahkan kaki menuju gerbong kereta. Disini kumulai segala kisah baru, meskipun aku tak yakin akankah aku bisa untuk itu. 

Kubenamkan namamu Bagas bersama hujan di awal November. Pertanda berakhirnya musim kemarau dan awal dari musim yang baru, kutanam segala kenangan dalam kecewa dan rasa damai. Tenang aku melangkah menggendong tas ranselku, menenteng kardus besar memasuki kereta, memulai segala kisah, sungguh kebahagiaan tiada terkira pernah menyimpan namamu dan mengenalmu.

Bagas. Sebuah nama yang melahirkan ratusan puisi di dalam diaryku, sebuah nama yang tertulis di hatiku entah sampai kapan meskipun hujan di awal November ini sejenak mengharuskanku menghapusnya dari segala waktuku.

Hujan bulan November terus menderu seiring suara kereta meninggalkan kampungku...

07 Desember 2012, 20.35

         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun