“Maaf buk, sepertinya Rinta belum bisa balik besok, masih pingin dirumah sampai beberapa hari kedepan”.
“Loh nduk, ada apa? Kok mendadak gak jadi balik. Dari kemarin kan kamu ngebet pingin balik katanya banyak tugas”.
“Masih kangen sama ibuk, lagian kuliahku masuknya masih awal minggu depan kok buk, jadi masih ada waktu tiga atau empat hari lagi”.
“Walah nduk, buk’e tahu kamu ini pasti lagi ada sesuatu. Mau ngapain kamu? Hayoo ngaku sama buk’e..”
“Hehehe... gak buk’e, sungguh Rinta pingin nyantai dulu, masih capek mau balik, lagian buk’e nanti sendiri lagi kalau Rinta dah balik, sepi lagi deh rumahnya, hehehe.. dah ya buk Rinta ke kamar dulu njih...”
“Ada saja kamu nduk kalau mau alasan”.
Kurebahkan tubuh letihku di atas kasurku yang sederhana. Kasur dari zamanku kecil dan belum pernah diganti meski nampak kapasnya mulai kehilangan kemampuan memberikan rasa empuk pemakainya. Hanya spreinya saja yang beberapa kali diganti untuk memberikan suasana baru dan membuang bau apek yang menumpuk .
Bagas... nama itu kembali menyeruak di benakku. Ahh, kenapa juga harus bertemu setelah sekian lama kita saling menghilang. Aku dan Bagas mulai jarang bertemu setelah ia melanjutkan SMP berlanjut SMA di kota dan akhirnya melanjutkan kuliah di Surabaya setelah tiga kali gagal mengikuti tes masuk AKPOL . Sementara aku setelah lulus SMA harus bekerja dulu selama dua tahun agar bisa menabung untuk biaya masuk kuliah, dan selama kuliah pun aku masih sambil bekerja untuk menambah biaya hidup. Hari ini, melihatnya lagi seperti membuka buku kenangan yang selalu kubawa dalam setiap waktuku. Bagas, sebuah nama yang teramat istimewa dalam imajiku. “Maaf buk, aku tidak jadi balik karena aku berharap bisa bertemu Bagas lagi seandainya mungkin, tugasku bisa kulembur nanti.” Aku bergumam dalam hati, seperti memanjatkan sebuah do’a yang mengalun perlahan, bergema di selurh ruangan kamar, kembali menampar-nampar mukaku dan sukses membuatku terjaga hingga dini hari.
Mentari bersinar begitu cerah, berbagi senyum pada pucuk-pucuk daun yang merindukan sinarnya. Masih cukup pagi untuk jalan-jalan menghangatkan sendi-sendi yang lelah. Aku mengayuh sepedaku ke pasar kliwonan yang tak begitu jauh dari rumahku. Olahraga sambil cari jajanan pasar untuk sarapan, sekalian membeli sale pisang dan brondong jagung kesukaan ibuk kost aku. Sesampainya di pasar ternyata tak serame biasanya, mungkin aku agak kesiangan. Ketika tengah asyik bercanda dengan ibu penjual sale tak sengaja kudengar obrolan ibuk-ibuk disebelahku.
“Darimana jeng Dina??”
“Ini si kecil panas, dari semalem nangis terus buk, tadi mau saya periksakan ke tempat bu Sella tapi rumahnya kosong katanya lagi nganter anaknya lamaran ke Surabaya”.