Rasanya langit di atasku seketika mendung, tanpa ragu-ragu lagi aku ingin memastikan perkataan ibu itu apakah bu Sella yang dimaksud itu adalah ibunya Bagas.
“Ngapunten, mau tanya buk.. tadi tidak sengaja dengar ibu mengatakan anaknya bu Sella lamaran? Apa yang ibu maksud itu Bagas?”
“Ouuw iya mbak, Bagas anaknya bu Sella yang punya klinik itu lo. Mbak kenal?”
“Iya buk, temen saya, hanya saja saya sedikit kaget denger kabar itu soalnya sudah lama tak mendengar kabarnya”.
Oooo..begitu rupanya, ya yang saya dengar dari pembantunya tadi sih katanya semua keluarga ikut ke Malang, acara lamaran putra kesayangannya begitu”.
“Ya sudah terima kasih buk informasinya, saya permisi dulu, monggo...”
“Iya mbak, monggo-monggo...”
Tanpa berpikir panjang lagi aku segera mengayuh sepedaku bergegas pulang. Aku hanya ingin berlari secepat mungkin dan merebahkan tubuhku di kasur dan menangis sepuasku. Jam 10.15 WIB aku sampai dirumah, tak berpikir untuk mandi ataupun sarapan, yang terpikir dibenakku hanya berada di kamar tanpa siapapun mengganggu. Mungkin bagi sebagian orang ini hal yang biasa, tapi bagiku ini adalah kesedihan yang teramat sangat. Aku memang tak pernah berharap Bagas jadi siapaku, hanya saja kabar dia lamaran dan mungkin setelahnya akan menikah itu sangat menikamku. Apakah aku masih boleh memiliki perasaan kepada suami orang? Ohh Tuhan aku tak keberatan memendam perasaan ini sendirian, bertahun-tahun. Tapi setelah ini bagaimana??
Waktu terasa seperti begitu lama untuk kulewatkan dengan risau dan kegundahan. Tapi tak mungkin aku bisa menyembunyikan rasa sedihku dari ibu lebih lama lagi. Dua hari setelah kabar itu, aku memutuskan untuk segera kembali ke kost. Sepertinya kesibukan kuliah akan sedikit melupakan segala hal tentang Bagas.
Pagi di awal Bulan November, aku berpamitan dengan ibuku. Terasa begitu berat ketika kulepas teduhnya kampungku. Bukan karena apapun, melainkan begitu beratnya meninggalkan segala kenangan dan kisah-kisahku bersama Bagas dulu. Hampir dua puluh tahun aku menyimpan namanya, menyimpan rasa dan sedikit asa untuknya. Namun kini, entah berapa waktu yang kubutuhkan untuk melupakan setiap jengkal kenangan itu. Karena aku tak cukup yakin bisa menyimpannya di dalam hatiku.
Sampai di stasiun Tulungagung hujan turun begitu derasnya, berjam-jam kutunggu kereta jurusan Malang, tak kunjung datang. Penat terasa begitu menyiksa, hujan dan kabut saling bercumbu menari di angkasa. Ketika kereta akhirnya tiba di sore yang kelabu. Gerimis masih turun perlahan, kulangkahkan kaki menuju gerbong kereta. Disini kumulai segala kisah baru, meskipun aku tak yakin akankah aku bisa untuk itu.