Dia seolah mengerti kegagapanku dan tersenyum sambil berjalan ke arah mobilnya. Ia berlalu dengan mobilnya meninggalkan rumah sebelum sempat aku menjawabnya. Padahal aku hanya ingin bilang, apa kabar Gas?
Aku memandangi mobilnya yang melaju hingga hilang bayangan. Lebih dari lima belas tahun sudah aku menyimpan rasa untuknya. Aku tahu itu tak mungkin, tapi sungguh aku tak pernah berharap apapun terhadapnya, aku hanya ingin mencintainya terus entah sampai kapan aku mengikhlaskan rasa itu berlalu. Sambil berjalan menuju rumah aku terus teringat pada mata elang Bagas, mata itu masih sama seperti bertahun lalu ketika pertama kali aku mengenalnya.
Saat itu aku masih bocah lima tahun, yang baru naik ke kelas 1 SD, masih ingusan, polos, dan tak pernah paham dengan carut marutnya perasaan. Meski terlalu nisbi untuk bocah seumuranku dulu, tapi aku merasa ingin dekat dengannya, itu saja tak lebih. Aku melihat seorang anak bermata elang duduk disudut kelas dengan tatapan tajam pada anak-anak yang tengah bermain ayunan. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya.
“Namamu siapa? Sepertinya aku tak pernah melihatmu..”
Tanpa menjawab pertanyaanku kau berlari seperti tak ingin siapapun mengganggumu. Belakangan aku baru tahu kau bernama Bagas, anak pindahan dari kota ketika guru mengenalkanmu. Waktu itu aku juga belum tahu bahwa ibumu adalah seorang dokter, dan ayahmu adalah seorang pegawai bank.
Lalu apa salahnya orang sepertiku mengenal anak konglomerat sepertimu?
Bel berbunyi tanda masuk kelas dan memulai pelajaran. Bangku ayunan mulai sepi bergoyang-goyang sendiri bersama angin yang menyapanya. Kau tak dapat teman duduk dan hanya bangku di sebelahku yang kosong, akhirnya sejak saat itu kau adalah teman sebangkuku. Waktu terus beranjak dan kita tetap berdiam dalam pikiran masing-masing yang tak pernah kita sampaikan. Meski begitu tanpa sadar kadang kau memandangku, meminjamkan crayonmu ketika pelajaran menggambar, karena aku hanya punya dua warna, hijau dan merah, atau kadang menungguku pulang bareng hanya untuk berjalan beriringan. Berlanjut hingga bertahun-tahun dan akhirnya kita lulus SD, aku dan kau makin kehilangan makna.
Tanpa terasa aku telah sampai di halaman rumah ketika jam di dinding rumahku menunjukkan waktu pukul 19.15 WIB.
“Bu Ndari ada nduk?”
“Ada buk, katanya uangnya akan dibayar besok. Oiya, bu Ndari bilang minggu depan pesen kue potong dan brownies, masalah berapa jumlahnya nanti dikabari lagi buk”.
“Alhamdulilah, ya sudah kamu ndang makan sana terus siap-siapin baju yang mau kamu bawa besok”.