Latar tempat pertama adalah ruang tamu kediaman keluarga Diajeng Sekar Ayu. Di sanalah tempat di mana para tokoh mula-mula muncul. Lalu yang kedua, yakni ruang tamu kediaman keluarga Bima Setiyadi. Dan yang terakhir adalah rumah serba sederhana yang ditempati oleh Ajeng dan Bima usai mereka menikah secara diam-diam.
Ketiga latar ini sama-sama menunjukkan ruangan di dalam rumah, sehingga memudahkan tim untuk merubah tata panggung dengan hanya mengganti beberapa properti saja. Tim pun dengan sigap mengganti properti setiap break pergantian babak.
Masing-masing latar tempat dalam pementasan drama ini memiliki ciri khasnya sendiri. Seperti ruang tamu di kediaman keluarga Ajeng selalu tertata rapi lengkap dengan furniturenya yang kental akan sentuhan budaya Jawa. Bingkai foto, lukisan, tanaman sintetis hingga gorden menjadi properti khas ketika panggung sedang menunjukkan latar tempat kediaman Ajeng. Begitu pula dengan latar tempat lainnya.
Properti membantu menciptakan lingkungan nyata dan meberikan nuansa autentik kepada penonton. Bahkan, proper juga dapat memberikan petunjuk bagi penonton tentang karakter dan identitas tokoh. Misalnya, melalui pakaian, dan aksesori dapat memberikan wawasan kepada penonton terkait kepribadian, status social, pekerjaan hingga karakter tokoh secara visual.
Tata Cahaya
Setelah menonton beberapa pertunjukan drama, barulah dapat saya rasakan pengaruh tata cahaya terhadap keberhasilan pertunjukan sebuah drama. Tata cahaya membantu menciptakan suasana dan atmosfer yang sesuai dengan cerita yang tengah dipersembahkan. Cahaya dapat mewakili berbagai macam suasana, seperti dramatis, romantis, mencekam dan masih banyak lagi. Tata cahaya akan mempengaruhi emosi penonton sesuai dengan mood yang diharapkan oleh sutradara.
Tata cahaya juga dapat mengarahkan perhatian penonton pada area atau alemen tertentu di atas panggung. Dengan memanipulasi warna, arah dan intensitas cahaya, penataan cahaya mampu mengatur fokus penonton untuk memastikan bahwa pesan cerita dan gerak-gerik penting tokoh dapat dilihat dengan jelas.
Dan pertunjukan drama "Siji dan Telu" ini merupakan salah satu pementasan drama dengan penataan cahaya yang baik dari serangkaian drama yang dipentaskan di acara Pergelaran Sastra Mahasiswa ini. Penata cahaya pada pementasan drama "Siji dan Telu" paham betul bagaimana memainkan lampu sorot di atas panggung untuk menciptakan suasana yang sesuai, sehingga dapat memengaruhi fokus penonton. Manipulasi warna yang dilakukan oleh penata cahaya berhasil membangkitkan suasana yang selaras dengan emosi yang ada saat itu.
Hal Menarik Lainnya
Dari lima tajuk drama yang ditampilkan di acara Pergelaran Sastra ini, hanya drama "Siji dan Telu" yang mengangkat nilai kebudayaan berupa mitos atau kepercayaan masyarakat Jawa. Pemilihan tema seperti ini tentunya memerlukan riset terlebih dahulu bagaimana sistem kepercayaan ini hidup bersama jiwa masyarakat Jawa.
Ketika zaman saat ini sudah berubah, di mana masyarakat yang sudah mulai berpikir maju dan terbuka, membuat drama ini menjadi lebih menarik dari drama lainnya. Apa amanat sebenarnya yang hendak disampaikan melalui drama ini menjadi tanda tanya besar yang menarik perhatian penonton. Hingga salah seorang penonton bertanya, apakah diciptakannya drama "Siji dan Telu" bertujuan untuk membenarkan mitos atau kepercayaan ini, atau sebaliknya?
Mengingat bahwa mitos yang digarisbawahi adalah akan datangnya malapetaka jika seorang anak sulung menikahi anak ketiga. Dan pada bagian akhir cerita, Bima dikisahkan harus meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Korelasi alur cerita seperti ini seolah mengindahkan mitos tersebut. Mitos yang bukan hanya sekadar mitos, melainkan benar adanya.