"Aku percaya kita bersama akan sukses melalui kerasnya kehidupan."
"Jangan terlalu berharap padaku, aku kuatir kamu akan menyesal di kemudian hari."
"Aku tidak pernah mengubah keputusanku."
"Aku orang miskin Sumi, aku belum mampu membahagiakanmu seperti Mandor Sinyo. Masih ada waktu untuk kembali ke rumah orang tuamu dan memulai kehidupan dengan lelaki itu."
"Aku datang kemari karena aku siap menjadi pendamping hidupmu dalam suka dan duka."
Lelaki bernama Burhan terdiam. Matanya memandang sayu wajah Sumi.
"Aku belum mampu membahagiakanmu Sumi."
"Kita akan memulainya dari awal."
Suasana hening, mereka berdua memandang lampu semprong yang perlahan mulai meredup cahayanya.
*
Peristiwa beberapa tahun lalu itu membayang jelas dalam ingatan Sumi, bagaikan putaran film dokumenter. Di hadapannya berbaring Ateng yang menderita demam berkepanjangan sejak kemarin. Mak berdiam dalam kamar membiarkan Sumi sendirian di ruang tamu. Sumi mengingat suaminya juga sedang terbaring sakit di rumah dengan tiga orang anak balita yang berkeliaran membuat rumah semakin berantakan. Sumi segera menggendong Ateng, langkahnya terseok-seok menuju ke Puskesmas yang berada di ujung desa. Sinar matahari pukul dua belas siang terasa memanggang otaknya. Keringat bercucuran deras membasahi wajah dan bajunya. Segera Sumi membawa Ateng ke loket kartu namun tidak dilayani karena tidak dapat menunjukkan dokumen yang diminta. Sumi dibiarkan duduk menunggu di bangku panjang. Orang-orang mencibir melihat anak Sumi yang berada dalam gendongannya.