"Mak ada kabar baik untukmu," Mak menyambut kedatangan Sumi di pintu rumah. Wajah Mak yang galak memancarkan aura bahagia.
"Ada apa Mak? Cerah benar wajah Mak hari ini," Sumi bertanya polos. Gadis putus sekolah itu baru pulang dari sawah menyiangi gulma. Sejak Bapak meninggal, Sumi bertanggung jawab mengurus sawah. Semua ternak sapi peninggalan Bapak telah dijual murah untuk membayar utang pembeli obat saat Bapak menderita sakit berkepanjangan. Rumah yang mereka huni terlihat lembab dan kurang terpapar matahari semakin menyuburkan penyakit paru-paru yang di derita Bapak.
"Tadi siang Mandor Sinyo berkunjung kemari. Dia ingin segera melamarmu menjadi istrinya."
Sumi bergidik ngeri membayangkan wajah keriput Mandor Sinyo, lelaki berambut warna abu-abu yang suka bermain mata pada perempuan yang dilihatnya.
"Aku tidak cinta dia Mak."
"Cinta bakal tumbuh sendiri, yang penting kamu dapat dulu uangnya. Cinta pasti datang saat hidupmu sudah sejahtera. Mandor Sinyo menahu benar membahagiakan perempuan," Mak terpekik senang membuka amplop coklat yang berada di tangannya. Matanya berkilat dan tertawa gembira tatkala melihat segepok uang merah bercampur biru.
"Kunjungan pertama saja sudah seperti ini, apalagi jika Mandor Sinyo menjadi mantuku."
"Mak saja yang menikah dengan Mandor Sinyo. Sumi tidak mau menikah dengan lelaki yang pantas menjadi Kakekku."
"Hus...sembarangan. Mandor Sinyo suka perawan yang ranum seperti kamu."
"Aku tidak mau menikah Mak, aku mau sekolah."
"Kamu kawin dulu sama Mandor Sinyo, setelah itu dia pasti mengabulkan semua keinginanmu. Aku dengar Erna dibelikan rumah yang sangat besar oleh Mandor Sinyo. Kamu lebih cantik daripada Erna, masa kamu kalah sama dia. Kamu itu kurang perawatan saja."