Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers. Cerpen pertama Kartini Dari Negeri Kegelapan menjadi Juara III Lomba Menulis Cerpen (Defamedia, Mei 2023); Predikat Top 15 Stories (USK Press, Agustus 2023); Juara II Sayembara Cerpen Pulpen VI (September 2023); Juara II Lomba Menulis Cerpen Bullying (Vlinder Story, Juni 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Agustus 2024); Juara III Lomba Menulis Cerpen The Party's Not Over (Vlinder Story, Agustus 2024); Predikat 10 Top Cerpen Terbaik (Medium Kata, Oktober 2024). Novel yang telah dihasilkan: Baine (Hydra Publisher, Mei 2024) dan Yomesan (Vlinder Story, Oktober 2024). Instagram: @srifirnas; personal website https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Bukan Kodok Rawa

2 Februari 2025   15:39 Diperbarui: 2 Februari 2025   15:39 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menunggu sinar mentari merekah (Sri Nur Aminah, 2023)

"Mak, bolehkan aku meminjam uangmu? Si Ateng demam sejak kemarin, aku mau membawanya berobat ke dokter di Puskesmas," terdengar lirih suara Sumi.

"Kamu tidak perlu ke dokter, hidup melarat seperti ini masih belagu meniru kehidupan orang kaya berobat ke dokter," jawaban Mak terasa sangat menyakitkan.

"Tapi Mak... Ateng menangis terus, badannya panas sekali," Sumi membaringkan anaknya di atas dipan tua yang berada di ruang tamu. Kuku tangan perempuan itu pecah karena pengaruh soda api dalam sabun yang digunakannya mencuci baju tetangga. Ateng- bocah lelaki umur empat tahun itu menangis lirih. Tubuhnya sangat panas sampai ke jemari kakinya. 

"Mak sudah bilang ratusan kali, anakmu penyakitan dan belang bonteng karena kamu selalu menolak titah leluhur. Kamu memang keras kepala," maki Mak pada Sumi yang ketakutan dan bercucuran air mata. Tangannya gemetar meremas ujung kain yang dipakai membungkus tubuh Ateng. Sumi menggelengkan kepala, dia berusaha menghibur Ateng yang meringis resah menahan sakit.

"Anakmu sakit karena kamu tidak pernah melarung ayam likku, songkolo (beras ketan kukus) dan juadah ke sungai seperti kebiasaan masyarakat di sini. Kamu selalu membantah kata-kata Mak."

Sumi kembali terhenyak mendengar rentetan kalimat Mak bagaikan senapan mesin.

"Bagaimana mau melarung ayam, songkolo dan jajanan pasar kalau makan sekeluargaku masih Senin-Kamis," gumam Sumi dalam hatinya. Burhan, suami Sumi bekerja sebagai buruh penggarap sawah adalah lelaki penyakitan sehingga tidak mampu bekerja dalam jangka waktu lama. Fisik yang lemah karena kurang gizi membuat Burhan tidak dapat bekerja secara maksimal. Walau tersendat-sendat, kehidupan keluarga Sumi masih berlanjut karena Sumi bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga jika tidak ada sawah yang membutuhkan tenaganya.

"Sudah kubilang, menikah dengan Burhan hanya membawa petaka untukmu. Anak lahir terus tanpa terkendali. Lihat dirimu baik-baik, kamu itu cantik, santun dan pandai menyenangkan orang," Mak mendorong wajah Sumi ke depan cermin. Sumi melihat wajah perempuan mendekati umur dua puluh lima tahun, berkulit kering berkerut dengan lingkaran hitam pekat di sekeliling matanya. Wajah seorang perempuan penuh derita berkepanjangan.

Baca juga: Pesan Dari Sungai

"Seandainya kamu menuruti kata-kata Mak menikah dengan Mandor Sinyo, nasibmu tidak begini. Kamu dapat hidup enak seperti Erna, teman sekolahmu itu," bisik Mak, terdengar sangat kejam ke telinga Sumi. Mak melepaskan wajah anaknya dengan kasar dan berjalan menuju ke dapur. Sumi jatuh terduduk di lantai. Dia menangis tersedu di dekat kaki dipan mendengar omelan Mak yang sangat menyakitkan hati. Pikiran Sumi melayang membayangkan wajah Erna, teman sekolahnya yang lihai memikat lelaki. Hidup Erna penuh kemakmuran sebagai istri simpanan Mandor Sinyo. Erna- nama pemilik tubuh gemulai dengan bibir yang selalu basah dan memakai gincu berwarna merah menyala sanggup meruntuhkan iman Mandor Sinyo yang memang senang daun muda. Sumi menyandarkan kepalanya ke dinding dekat dipan tempat Ateng berbaring. Kakinya berselonjor menampakkan kuku kaki hitam dan kotor. Tumitnya pecah terbakar panas matahari di jalan berbatu yang dilaluinya. Dia menahu benar tabiat Mandor Sinyo, lelaki playboy yang tidak dapat hidup tenang melihat gadis cantik berkeliaran di hadapannya. Seorang lelaki yang suka menabur benih dimanapun dan membiarkannya menggelandang ke sana kemari. Tanpa sepengetahuan Sumi, diam-diam Mak telah merancang pernikahan anaknya dengan Mandor Sinyo.

*

"Mak ada kabar baik untukmu," Mak menyambut kedatangan Sumi di pintu rumah. Wajah Mak yang galak memancarkan aura bahagia.

"Ada apa Mak? Cerah benar wajah Mak hari ini," Sumi bertanya polos. Gadis putus sekolah itu baru pulang dari sawah menyiangi gulma. Sejak Bapak meninggal, Sumi bertanggung jawab mengurus sawah. Semua ternak sapi peninggalan Bapak telah dijual murah untuk membayar utang pembeli obat saat Bapak menderita sakit berkepanjangan. Rumah yang mereka huni terlihat lembab dan kurang terpapar matahari semakin menyuburkan penyakit paru-paru yang di derita Bapak.

"Tadi siang Mandor Sinyo berkunjung kemari. Dia ingin segera melamarmu menjadi istrinya."

Sumi bergidik ngeri membayangkan wajah keriput Mandor Sinyo, lelaki berambut warna abu-abu yang suka bermain mata pada perempuan yang dilihatnya.

"Aku tidak cinta dia Mak."

"Cinta bakal tumbuh sendiri, yang penting kamu dapat dulu uangnya. Cinta pasti datang saat hidupmu sudah sejahtera. Mandor Sinyo menahu benar membahagiakan perempuan," Mak terpekik senang membuka amplop coklat yang berada di tangannya. Matanya berkilat dan tertawa gembira tatkala melihat segepok uang merah bercampur biru.

"Kunjungan pertama saja sudah seperti ini, apalagi jika Mandor Sinyo menjadi mantuku."

"Mak saja yang menikah dengan Mandor Sinyo. Sumi tidak mau menikah dengan lelaki yang pantas menjadi Kakekku."

"Hus...sembarangan. Mandor Sinyo suka perawan yang ranum seperti kamu."

"Aku tidak mau menikah Mak, aku mau sekolah."

"Kamu kawin dulu sama Mandor Sinyo, setelah itu dia pasti mengabulkan semua keinginanmu. Aku dengar Erna dibelikan rumah yang sangat besar oleh Mandor Sinyo. Kamu lebih cantik daripada Erna, masa kamu kalah sama dia. Kamu itu kurang perawatan saja."

Sumi memandang penuh kesedihan tangannya yang terbakar matahari. Dia tidak punya uang untuk membeli skincare seperti Erna. Hidupnya terlalu sibuk mencari makan untuk menyambung kehidupan keluarga. Hati Sumi  telah terpikat dengan Burhan, lelaki pendiam yang bekerja di sawah tetangganya. Sumi selalu merasa nyaman berbincang dengan lelaki itu yang mempunyai wawasan luas.

"Mak telah menjodohkanku dengan Mandor Sinyo," Sumi mengadukan gundah gulananya pada Burhan, lelaki yang menjadi tempatnya curhat.

"Kamu menikah saja dengan lelaki itu," Burhan menjawab pendek. Mereka berdua duduk di dangau yang menghadap ke hamparan padi menguning. Terlihat gerombolan burung pemakan padi meghampiri tanaman itu.

"Aku hanya mau denganmu Burhan," Sumi berbisik lirih dan menaruh kepalanya di lengan Burhan. Lelaki itu memandangnya tajam dan menghela nafasnya yang terasa berat.

*

Beberapa hari kemudian, saat makan malam, Mak mengabarkan berita yang membuat Sumi semakin terpojok ketakutan.

"Mak telah menerima lamaran Mandor Sinyo. Besok sore Mandor Sinyo akan datang dan memboyongmu ke rumahnya."

"Berani sekali Mak menerima lamaran Mandor Sinyo tanpa memberitahukannya padaku."

"Kamu keberatan? Aku hanya ingin sesuatu yang terbaik untuk anakku."

"Tapi tidak begini caranya Mak. Aku tidak mau menikah dengan Mandor Sinyo."

"Terserah kamu, kalau keberatan menikah dengan lelaki pilihan Mak, silahkan pergi dari rumah ini."

Sumi menangis sesenggukan mendengar kata-kata Mak. Hatinya sudah bulat, dia tidak mau menikah dengan Mandor Sinyo dan memilih hidup dengan lelaki yatim piatu bernama Burhan.

"Baiklah Mak, aku pergi malam ini," Sumi berdiri dari kursi dan masuk ke dalam kamar. Tidak lama kemudian dia keluar membawa sebuah buntalan berisi baju.

"Jangan bawa barang yang pernah kubelikan untukmu," Mak meradang melihat kelakuan Sumi.

"Aku hanya membawa barang-barangku saja, aku pergi Mak," Sumi berlari menuju pintu dan hilang dalam kegelapan. Mak kaget luar biasa. Bibirnya kelu dan baru sadar saat Sumi sudah tidak ada lagi di hadapannya.

*

Kemarahan Mandor Sinyo tidak terbendung saat menahu Sumi telah melarikan diri.

"Kamu bodoh sekali, Markonah. Seharusnya kamu sampaikan kepadaku supaya aku menyuruh anak buahku menjaga calon istriku. Kamu menahu dia kemana?"

"Aku tidak paham dia pergi kemana."

"Sekarang kembalikan semua barang yang pernah kuberikan padamu. Anakmu ini perempuan paling bodoh di muka bumi. Masih banyak gadis lain yang mengantri dinikahi oleh Mandor Sinyo," lelaki itu mengentakkan kakinya dan segera meninggalkan ruang tamu Mak.

Di waktu yang sama, di rumah Burhan.

"Apakah kamu siap hidup menderita denganku? Lihatlah kondisi rumahku ini, tidak layak ditinggali oleh perempuan yang akan menjadi istriku," Burhan menunjukkan rumahnya yang kumuh dan berantakan.

"Aku percaya kita bersama akan sukses melalui kerasnya kehidupan."

"Jangan terlalu berharap padaku, aku kuatir kamu akan menyesal di kemudian hari."

"Aku tidak pernah mengubah keputusanku."

"Aku orang miskin Sumi, aku belum mampu membahagiakanmu seperti Mandor Sinyo. Masih ada waktu untuk kembali ke rumah orang tuamu dan memulai kehidupan dengan lelaki itu."

"Aku datang kemari karena aku siap menjadi pendamping hidupmu dalam suka dan duka."

Lelaki bernama Burhan terdiam. Matanya memandang sayu wajah Sumi.

"Aku belum mampu membahagiakanmu Sumi."

"Kita akan memulainya dari awal."

Suasana hening, mereka berdua memandang lampu semprong yang perlahan mulai meredup cahayanya.

*

Peristiwa beberapa tahun lalu itu membayang jelas dalam ingatan Sumi, bagaikan putaran film dokumenter. Di hadapannya berbaring Ateng yang menderita demam berkepanjangan sejak kemarin. Mak berdiam dalam kamar membiarkan Sumi sendirian di ruang tamu. Sumi mengingat suaminya juga sedang terbaring sakit di rumah dengan tiga orang anak balita yang berkeliaran membuat rumah semakin berantakan. Sumi segera menggendong Ateng, langkahnya terseok-seok menuju ke Puskesmas yang berada di ujung desa. Sinar matahari pukul dua belas siang terasa memanggang otaknya. Keringat bercucuran deras membasahi wajah dan bajunya. Segera Sumi membawa Ateng ke loket kartu namun tidak dilayani karena tidak dapat menunjukkan dokumen yang diminta. Sumi dibiarkan duduk menunggu di bangku panjang. Orang-orang mencibir melihat anak Sumi yang berada dalam gendongannya.

"Itu kan kodok rawa anak si Burhan."

"Iya... yang ibunya melawan petuah leluhur. Itulah hasilnya tidak mau mengikuti ajaran nenek moyang, kena kutukan dia sekarang."

"Dasar perempuan tolol, dilamar baik-baik oleh Mandor Sinyo malah meninggalkan rumah dan memilih lelaki kere dan penyakitan..."

Suara-suara itu menekan batin Sumi dan mengalirkan anak sungai di wajahnya. Batin dan tubuhnya sudah lelah benar. Dia menutup kelopak matanya, berharap menemukan keajaiban di tempat yang bernama Puskesmas. Seorang perempuan berjas putih keluar dari ruangan. Dia terbelalak kaget melihat Sumi dan anaknya di bangku panjang. Ruang tunggu itu telah kosong melompong.

"Ibu menunggu siapa?"

"Anak saya sakit Dok...."

Dokter itu menyentuh dahi Ateng, terasa panas membara.

"Perawat, mengapa pasien ini tidak dilayani?" teriak sang dokter ke perawat yang berada di loket karcis.

"Dia tidak membawa dokumen yang diminta."

"Pasien gawat seperti ini adalah prioritas, sungguh kamu tega mempersulit orang yang sedang susah."

"Tapi Dok... aturannya kan..."

"Segera siapkan ruang periksa dan bantu pasien ini. Aku yang menanggung semua biaya berobatnya," suara perempuan berbaju putih itu sangat tegas. Dua orang perawat membantu mengangkat Ateng ke dalam ruangan periksa. Ternyata Ateng terkena penyakit tifus dan dapat berobat jalan. Sambil menunggu racikan obat, Dokter Deli mengajak Sumi mengobrol.

"Dok.. benarkan anakku jelmaan kodok rawa yang dikutuk leluhur?" suara Sumi memecah kesunyian.

"Siapa yang bilang begitu, ini namanya vitiligo, kelainan kulit."

"Apakah penyakit ini adalah kutukan?"

Dokter Deli tertawa keras mendengar pertanyaan Sumi.

"Ummm... vitiligo adalah penyakit kulit karena hilangnya melanin, suatu pigmen penting pemberi warna kulit kita. Biasanya vitiligo berbentuk bercak di kulit," Dokter Deli mengamati wajah Ateng yang belang bonteng mengerikan karena vitiligo.

"Apakah Ateng dapat sembuh dari kutukan ini?"

"Biasanya vitiligo terjadi karena mutasi genetik atau pengaruh autoimun. Penderita harus jalani pemeriksaan lengkap untuk menahu mengapa dia mengalami vitiligo. Vitiligo karena faktor genetik tidak dapat sembuh."

"Anak saya boleh bersekolah? Selama ini dia ditolak bergaul karena masyarakat menuduh dia menyebarkan penyakit kutukan leluhur," Sumi memandang wajah anaknya yang dipenuhi bercak tidak beraturan seperti kodok rawa. Kata kodok rawa menjadi bahan bully untuk anak Sumi setiap kali ingin bermain dengan teman sebayanya.

"Winnie Harlow yang model Kanada juga penderita vitiligo. Jika vitiligo penyakit menular, pasti sudah almarhum desainer, fotografer dan semua orang yang berinteraksi dengan model itu. Ibu tenang saja, vitiligo tidak berbahaya. Masalah utama disini adalah mind set masyarakat kampung yang percaya bahwa vitiligo adalah kutukan karena tidak memberi sesajen untuk leluhur di kampung. Begitu kan?"

Sumi mengangguk perlahan membenarkan.

"Ini obatnya Ateng. Minumkan sesuai dosis anjuran. Pulanglah ke rumahmu, aku yang menanggung semua biaya pengobatan anakmu."

Sumi menitikkan air mata haru. Tuhan tidak pernah ingkar janji, di balik kesulitan ada kemudahan (srn).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun