Lima belas tahun telah berlalu. Saat ini Aditya, Vivienne dan putri kembarnya dalam perjalanan menuju ke rumah Nyai Kembang, ibunda tercinta. Beberapa bulan sebelumnya, Â mereka telah diteror oleh puluhan email aneh yang memaksa Aditya untuk segera pulang kampung.
"Pulanglah, jangan pernah melupakan tanah kelahiran dan ibu yang merindukanmu," begitu bunyi email yang diterima Aditya selama puluhan kali dalam seminggu. Rentetan kalimat itu memenuhi benak Aditya sampai terbawa mimpi. Pengirimnya anonymous dan hal itu menggayuti pikirannya sepanjang waktu. Aditya merasa hidupnya kacau balau dan hal ini diceritakannya pada Vivienne.
"It is okay, me and our daughter with you to go to your home town," hibur Vivienne saat mengepak baju ke dalam koper. Tiket dan visa sudah berada dalam genggaman untuk memulai mudik pertama mereka ke kampung Aditya.
"Do you know Vivienne.... I am so confused with our decision."
"No worries, let's figure out what happens in your home."
Keputusan itu bagaikan berjudi dengan waktu dan ketidakpastian. Akhirnya mereka berempat menempuh perjalanan panjang dari Endkhuizen The Netherlands menuju ke kampung kelahiran Aditya di pelosok Nusantara.
Mobil sewa itu berhenti di depan sebuah gapura batu dengan pintu kayu jati berukir yang tertutup rapat. Vivienne terperanjat kaget melihat interiornya.
"Wow... amazing," lidahnya berdecak kagum melihat keindahan ukiran sepasang naga yang menjadi hiasan pintu. Aditya tersenyum lebar.
"Welcome to my home," dia memeluk istri dan putri kembarnya yang terlihat sangat gembira melihat pemandangan di depannya. Kampung itu berasa sejuk dengan suasana asri. Jalanan bersih dan terlihat lengang.
"You will be happy stay here, Cello..." Pleva menggoda Cleo, kucing British short hair jantan piaraannya yang berada di dalam kandang. Cleo yang berwarna hitam pekat menggeram senang karena dilibatkan dalam perjalanan itu. Tanpa menunggu lama, Aditya segera mengetuk pintu itu dengan gerendel besi yang tersedia di bagian tengah.