Perasaan kacau balau yang menyesakkan dada membuat Pute nekad mencari kekasih pujaannya di Pelabuhan Makassar. Berbeda dengan kedatangannya yang pertama kali, hari itu Pute ditemani janin tanpa dosa yang bersemayam dalam perutnya. Hembusan angin laut tidak mampu memberikan kesejukan di siang terik yang membakar dermaga. Pute memandang beraneka macam transportasi laut merapat di tempat itu.  Dilihatnya banyak perahu mengangkut ikan, udang, teripang dan hasil laut lainnya. Lalu lalang fork lift, kuli pembawa barang dan tengkulak membuat suasana semakin ramai. Bau amis air laut menabrak cuping hidungnya. Dengan langkah pasti dia berjalan menuju blok kayu yang berada di bagian ujung dermaga. Sekuat tenaga Pute menekan rasa malunya melintas di depan serombongan lelaki yang mengobrol menghilangkan lelah. Keringat menganak sungai membasahi kening Pute yang berkilat terbakar mentari.
Saat tiba di tempat tujuannya, Pute celingak-celinguk mencari sesuatu.
"Mau ketemu siapa?" sebuah suara bariton menyapanya. Pute menjadi salah tingkah.
"Saya mau bertemu Rahman."
"Rahman siapa? Kamu apanya Rahman?" pandangan mata lelaki seumur ayahnya itu menyelidik pada raut wajah Pute yang terlihat sangat lelah.
"Pasti dia mencari Rahman yang kuli angkut terigu, Pak Bos," celetuk cepat seseorang yang menguping pembicaraan itu. Pute merasa bersyukur terselamatkan dari pertanyaan orang yang tidak dikenalnya.
"Sekarang kau panggil Rahman, katakan ada seseorang yang mencarinya, dan kau cewek, duduk disana. Di sini  jalur lintasan pengangkut barang, jangan sampai kau terlindas fork lift," lelaki yang dipanggil Pak Bos menunjuk jejeran bangku yang berada di sudut.
Tidak berselang lama, Rahman muncul dengan wajah sangat terkejut melihat kondisi Pute yang kurus dan berwajah pucat pasi.
"Kamu kenapa Pute?" dirabanya kening sang gadis. Tidak ada tanda-tanda demam hanya keringat yang terus bercucuran. Pute menarik tangan Rahman dan meletakkannya di atas perutnya.
"Ada apa ini?"
"Kata bu bidan, aku telah berbadan dua," Pute memperlihatkan hasil tes kehamilan yang menunjukkan dua garis biru. Perempuan itu menggigit bibirnya sekuat tenaga, matanya berkaca-kaca memandang lelaki itu. Rahman terduduk lemas di samping Pute. Ingatan lelaki jangkung itu berputar bagaikan film dokumenter. Pertama kalinya mereka bertemu saat Pute dan ayahnya menghadiri pernikahan kerabatnya yang bertinggal di dekat Pelabuhan Makassar. Tampaknya panah asmara Cupid menuntun dua sejoli itu ke pertemuan berikutnya. Jarak tempuh yang cukup jauh tidak menyurutkan niat hati remaja putri Kampung Duri yang baru berumur tujuh belas tahun itu menemui kekasihnya. Rahman masih tidak percaya, saat ini Pute telah mengandung anaknya. Diusapnya keringat yang mengucur deras di wajahnya.
Rahman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Masih diingatnya beberapa bulan  lalu, menjelang tengah malam perempuan muda itu datang menemuinya di dalam gudang sempit Pelabuhan Makassar yang menjadi tempatnya beraktivitas.
"Mengapa kamu ke sini Pute? Bagaimana kalau ketahuan ayahmu?"
Perempuan belia bernama Pute itu menerobos masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi kardus berisi barang. Dia menangis sesenggukan dan memeluk pinggang lelaki cinta-cintanya. Rahman menghela nafas bingung bercampur kasihan. Dibiarkannya bulir air mata membasahi baju kaos yang menutup dada bidangnya.
"Ayahku akan menjodohkanku dengan lelaki pilihannya. Aku  tidak sanggup hidup tanpamu Rahman. Apakah kamu mencintaiku juga?"
Rahman mendehem. Diangkatnya dagu Pute, disekanya air mata itu dengan lembut.
"Aku selalu mencintaimu Pute."
Pute meraung, air mata perempuan labil itu kembali mengucur bagaikan air bah. Rahman kelabakan, dibimbingnya Pute duduk di sebuah bale-bale bambu.
"Hentikan tangismu Pute, tidak enak jika terdengar orang lain. Ini sudah tengah malam."
"Kamu tetap mencintaiku kan?"
"Tentulah, dengan segenap hatiku."
Pute mulai tenang. Rahman bangkit dari bale-bale bambu. Dituangkannya teh hangat ke dalam gelas yang diminum Pute dengan penuh semangat.
"Kamu sudah makan?"
Perempuan itu menggeleng pelan yang membuat Rahman gelisah. Dia merogoh saku celananya, hanya berisi dua lembar uang sepuluh ribuan. Gaji mingguannya sebagai kuli angkut pelabuhan belum diterima karena mandornya sakit.
"Kamu tunggu disini," titahnya sebelum berlalu.
Pelabuhan Makassar adalah tempat hilir mudiknya kapal komersil dan transportasi air lainnya. Siang dan malam di sepanjang jalan depan Pelabuhan, berjejer penjual martabak, aneka gorengan, terang bulan serta rupa-rupa makanan yang harganya terjangkau. Rahman kembali dan membawa dua bungkus songkolo bagadang. Setelah mengucapkan terima kasih, Pute menyuap ketan hitam dengan potongan ikan mairo kering ke dalam mulutnya. Rahman duduk di samping kekasihnya sambil bercerita. Sepasang merpati itu menghabiskan songkolo bersamaan dengan malam yang merambat syahdu mendekati dini hari. Â
Rahman tidak pernah menyangka, pertemuan mereka di malam itu telah sukses menuai badai.
"Tenanglah, aku akan bertanggung jawab atas semua perbuatanku," Rahman mengelus kepala Pute.
"Kamu akan menikahiku dan membesarkan anak kita bersama-sama?"
"Iya, aku berjanji," suara Rahman tercekat. Penghasilannya yang tidak menentu membuat dia kesulitan menafkahi dirinya sendiri. Namun ini adalah risiko perbuatannya dan dia siap bertanggung jawab.
"Kamu jangan menangis, aku minta izin dahulu kepada Pak Bos. Setelah itu kuantar kamu pulang, aku ingin bertemu Ayahmu untuk melamarmu menjadi istriku."
Setelah hampir tiga jam lamanya kedua sejoli itu  menaik kendaraan umum menuju Kampung Duri yang jalannya rusak. Ternyata kedatangan Rahman ke rumah Pute membuat Pak Makka bergolak bagaikan banteng yang digoda matador. Harga diri lelaki bertubuh kekar itu porak poranda karena putri tunggalnya berbadan dua dengan pasangan tidak halal. Penuh kemurkaan ditamparnya  wajah Rahman sampai ujung bibirnya mengeluarkan darah. Pute menjerit dan memeluk Rahman yang terjatuh ke lantai rumah panggung.
"Kau pemuda terkutuk," dengan beringas ditunjuknya muka Rahman. Matanya berapi-api seakan ingin menelan bulat-bulat mangsa yang berada di depannya.
"Saya memang bersalah Pak, izinkan saya menikahi Pute."
"Enak benar kau mau menikahi anakku setelah merusak masa depannya."
"Saya bersedia bertanggung jawab Pak."
"Kamu mau tanggung jawab apa? Sekarang kamu pergi dari hadapanku."
Penuh kemarahan, Pak Makka menarik lengan Rahman supaya melepaskan Pute. Lelaki muda itu kembali tersungkur mencium lantai. Hidungnya mengucurkan darah segar. Â Pute segera mencium kaki ayahnya.
"Ayah, ampunilah kami," tangisnya menyayat hati.
"Kamu telah mengecewakan hatiku dan membuat malu keluarga kita."Â
"Kami memang bersalah, mohon doa restumu Ayah supaya kami dapat menjadi suami istri," suara Pute lirih memohon.
"Kamu kira berumah tangga itu semudah membalikkan telapak tangan? Jika dia lelaki bermartabat, dia harus datang bersama keluarganya untuk melamarmu secara baik-baik bukan dengan cara jahannam seperti ini. Sekarang kau pergi, aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Ayo masuk ke dalam Pute," Pak Makka menarik paksa putrinya masuk ke dalam ruang tamu dan membanting pintunya. Rahman terduduk lemas di beranda, nafasnya naik turun. Diusapnya lubang hidungnya yang masih mengeluarkan darah. Lelaki itu menerobos malam nan pekat untuk pulang ke Makassar.
Perang dingin pecah di rumah Pak Makka. Sepanjang hari dia tidak menghiraukan anaknya lagi. Hatinya sungguh terluka, Pute berbadan dua dengan lelaki yang masa depannya tidak menjanjikan untuk membangun keluarga bahagia. Kampung Duri yang ditempatinya sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan seorang gadis. Jika seorang gadis ketahuan hamil sebelum menikah, dosanya itu akan diceritakan secara turun temurun supaya menjadi pembelajaran berharga untuk keturunannya.
Tampaknya cinta buta telah sukses menggiring putrinya melakukan perbuatan terkutuk. Pak Makka merasa dirinya gagal menjadi seorang ayah  yang mampu menjaga putrinya dengan baik. Apa yang harus dikatakannya pada keluarga besarnya jika mereka menahu kondisi Pute?
Pute memutuskan segera menemui Rahman di Pelabuhan Makassar. Namun tanpa diduga, lelaki kesayangannya itu berbalik marah dan mengusirnya pulang. Disalahkannya Pute karena telah menggoda dirinya untuk melakukan perbuatan laknat sehingga kehilangan harga diri di depan calon ayah mertuanya. Semua kesalahan ditimpakan pada Pute yang membuat gadis itu tersudut. Dia jatuh terduduk saat Rahman meninggalkannya di sudut blok kayu tempat pertemuan mereka. Didengarnya deru fork lift seakan menertawakan kebodohan dirinya yang telah terjerumus dalam janji manis lelaki bernama Rahman.
Langkah gontai Pute membawanya kembali ke Kampung Duri. Ditahannya rasa lapar dan haus dari janin yang meronta minta asupan nutrisi. Penolakan Rahman membuat Pute kehilangan semangat hidup. Sepanjang hari Pute hanya duduk mengurung diri. Hatinya selalu diliputi rasa malu dan was-was berhadapan dengan warga Kampung Duri. Tatapan matanya kosong memandang hamparan pohon salak, Â kebun kol dan kentang yang terbentang dari balik jendela. Sejak perseteruan ayahnya dan Rahman, hubungannya dengan sang Ayah menjadi renggang. Ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang dan pulang menjelang saat tidur malam. Tidak ada lagi kehangatan dan canda tawa di meja makan di saat mereka akan memulai hari baru.
Pute memandang seutas tali di dalam genggaman tangannya. Bersama air mata yang deras mengalir, dielusnya perutnya yang semakin membuncit.
"Anakku, kita akan pergi bersama," Pute berusaha menekan rasa perih dan sesalan luar biasa yang membuncah dalam dadanya. Dia mengutuki dirinya yang telah mengabaikan petuah ayahnya. Cinta memang buta, penyesalan selalu datang belakangan dan membawa rasa sakit teramat dalam di lubuk hatinya.
Suatu pagi di akhir musim kemarau menyapa warga Kampung Duri. Cahaya  matahari mengintip malu-malu dari helaian daun salak hijau royo-royo yang tersenyum ceria. Seperti kemarin, Kampung Duri kembali menggeliat memulai aktivitasnya. Pak Makka terpekik ngeri. Langit serasa runtuh menimpa kepalanya saat menemukan putri tunggalnya tewas tergantung di dalam kamar (srn). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H