Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka Kehidupan

17 Oktober 2023   14:19 Diperbarui: 17 Oktober 2023   14:31 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Sejoli (Sri NurAminah, 2021)

"Kata bu bidan, aku telah berbadan dua," Pute memperlihatkan hasil tes kehamilan yang menunjukkan dua garis biru. Perempuan itu menggigit bibirnya sekuat tenaga, matanya berkaca-kaca memandang lelaki itu. Rahman terduduk lemas di samping Pute. Ingatan lelaki jangkung itu berputar bagaikan film dokumenter. Pertama kalinya mereka bertemu saat Pute dan ayahnya menghadiri pernikahan kerabatnya yang bertinggal di dekat Pelabuhan Makassar. Tampaknya panah asmara Cupid menuntun dua sejoli itu ke pertemuan berikutnya. Jarak tempuh yang cukup jauh tidak menyurutkan niat hati remaja putri Kampung Duri yang baru berumur tujuh belas tahun itu menemui kekasihnya. Rahman masih tidak percaya, saat ini Pute telah mengandung anaknya. Diusapnya keringat yang mengucur deras di wajahnya.

Rahman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Masih diingatnya beberapa bulan  lalu, menjelang tengah malam perempuan muda itu datang menemuinya di dalam gudang sempit Pelabuhan Makassar yang menjadi tempatnya beraktivitas.

"Mengapa kamu ke sini Pute? Bagaimana kalau ketahuan ayahmu?"

Perempuan belia bernama Pute itu menerobos masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi kardus berisi barang. Dia menangis sesenggukan dan memeluk pinggang lelaki cinta-cintanya. Rahman menghela nafas bingung bercampur kasihan. Dibiarkannya bulir air mata membasahi baju kaos yang menutup dada bidangnya.

"Ayahku akan menjodohkanku dengan lelaki pilihannya. Aku  tidak sanggup hidup tanpamu Rahman. Apakah kamu mencintaiku juga?"

Rahman mendehem. Diangkatnya dagu Pute, disekanya air mata itu dengan lembut.

"Aku selalu mencintaimu Pute."

Pute meraung, air mata perempuan labil itu kembali mengucur bagaikan air bah. Rahman kelabakan, dibimbingnya Pute duduk di sebuah bale-bale bambu.

"Hentikan tangismu Pute, tidak enak jika terdengar orang lain. Ini sudah tengah malam."

"Kamu tetap mencintaiku kan?"

"Tentulah, dengan segenap hatiku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun