"Kau pemuda terkutuk," dengan beringas ditunjuknya muka Rahman. Matanya berapi-api seakan ingin menelan bulat-bulat mangsa yang berada di depannya.
"Saya memang bersalah Pak, izinkan saya menikahi Pute."
"Enak benar kau mau menikahi anakku setelah merusak masa depannya."
"Saya bersedia bertanggung jawab Pak."
"Kamu mau tanggung jawab apa? Sekarang kamu pergi dari hadapanku."
Penuh kemarahan, Pak Makka menarik lengan Rahman supaya melepaskan Pute. Lelaki muda itu kembali tersungkur mencium lantai. Hidungnya mengucurkan darah segar. Â Pute segera mencium kaki ayahnya.
"Ayah, ampunilah kami," tangisnya menyayat hati.
"Kamu telah mengecewakan hatiku dan membuat malu keluarga kita."Â
"Kami memang bersalah, mohon doa restumu Ayah supaya kami dapat menjadi suami istri," suara Pute lirih memohon.
"Kamu kira berumah tangga itu semudah membalikkan telapak tangan? Jika dia lelaki bermartabat, dia harus datang bersama keluarganya untuk melamarmu secara baik-baik bukan dengan cara jahannam seperti ini. Sekarang kau pergi, aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Ayo masuk ke dalam Pute," Pak Makka menarik paksa putrinya masuk ke dalam ruang tamu dan membanting pintunya. Rahman terduduk lemas di beranda, nafasnya naik turun. Diusapnya lubang hidungnya yang masih mengeluarkan darah. Lelaki itu menerobos malam nan pekat untuk pulang ke Makassar.
Perang dingin pecah di rumah Pak Makka. Sepanjang hari dia tidak menghiraukan anaknya lagi. Hatinya sungguh terluka, Pute berbadan dua dengan lelaki yang masa depannya tidak menjanjikan untuk membangun keluarga bahagia. Kampung Duri yang ditempatinya sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan seorang gadis. Jika seorang gadis ketahuan hamil sebelum menikah, dosanya itu akan diceritakan secara turun temurun supaya menjadi pembelajaran berharga untuk keturunannya.