Pertanyaan beruntun datang dari segala arah dan setiap pasang mata melirik diam-diam ke  arah Galina. Aku menatap Galina yang seakan tidak peduli dengan keadaan. Dia sibuk mengipas tubuhnya sehingga bau keteknya sukses menerpa wajah kami yang duduk di belakangnya. Miso sudah teler berat. Dia menelungkupkan wajahnya di atas meja.
"Bau ketek dapat dihilangkan dengan menggunakan deodoran komersil yang dijual bebas. Jika ingin menggunakan resep tradisional leluhur, kalian dapat memakai batu pergaulan. Selain menggunakan deodoran, antisipasi lainnya dalam menghilangkan bau ketek adalah  penerapan pola hidup bersih, mengurangi konsumsi jenis makanan yang berpotensi menghasilkan bau badan, mengganti pakaian jika berkeringat dan membersihkan secara rutin daerah yang berbau...dan..."
"Batu pergaulan yang bagaimana tuh Bu?"
Bu Naya tersenyum lebar, dia berkeliling memandang seisi kelas yang tampaknya amat tertarik mendengar istilah baru itu.
"Batu pergaulan warnanya putih, sejak lama digunakan oleh nenek moyang kita untuk menghilangkan bau badan. Batu pergaulan banyak dijual di pasar."
"Namanya apa kalau ditanyakan ke penjual di pasar?"
"Namanya batu tawas, biasa digunakan untuk penjernih air. Batu itu digosokkan ke ketek setelah mandi..."
Kalimat Bu Naya terpotong karena terdengar bel pulang berbunyi disambut dengan pekik gembira seluruh kelas.
      Pagi nan indah kembali menyapa sekolah kami. Namun rusaknya kedamaian kelas telah menanti karena kehadiran Galina.
"Bau keteknya Galina semakin menggila. Hal ini tidak dapat dibiarkan May," bisik Miso saat kami bersarap pisang goreng di kantin.
"Bagaimana cara menyampaikannya? Galina anaknya super sensitif loh,"