Bel pulang sekolah berbunyi. Seluruh murid sekolah menghambur keluar dari kelasnya masing-masing. Sekilas para murid bagaikan gerombolan ikan yang terlepas dari pintu bendungan, berserakan kemana-mana.
"Akhirnya aku bebas juga. Alangkah nikmatnya bernafas di udara segar." Miso menghela nafas lega.
"Memangnya kamu kenapa?" aku bertanya dengan bingung pada Miso, sahabatku.
"Kamu tidak sadar apa, duduk di belakang Galina adalah neraka."
"Maksudmu?"
"Ya ampun May. Apakah hidungmu tidak dapat mencium baunya si Galina?Jangan-jangan kamu sudah ketularan Omicron ya."
"Wooi...jangan menebar fitnah kamu ya..."
"Sumpah, aku tidak bohong. Bau keteknya Galina membuat aku mual sepanjang hari. Makanya aku terus mengoles minyak telon ke hidungku untuk menetralisir bau itu."
"Astaga...aku kok tidak menciumnya ya."
"Gini ya May cantik, coba deh hidung kamu itu sekali-kali dilatih peka dengan lingkungan sekelilingmu."
Esok harinya pelajaran Kesenian. Bu Ayu sebagai penanggung jawab mata pelajaran Kesenian meminta muridnya maju satu persatu menyanyi di depan kelas untuk diambil nilainya. Saat itu matahari telah berjalan jauh dari peraduannya. Seisi kelas mengeluh, keringat bercucuran deras karena panasnya udara.