Hujan masih menyisakan gerimis di luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul 21.45 pm. Di dalam keheningan malam, di atas tempat tidur hangat, aku sedang membaca sebuah novel yang baru kubeli secara online. Kupejamkan mataku rapat-rapat, mencoba mengingat kejadian buruk tadi siang. Saat itu waktu ishoma di sekolah. Seorang lelaki yang tidak kukenal tiba-tiba meneleponku. Entah darimana dia mendapatkan nomor ponselku. Dia mempertanyakan legalitas kegiatan trekking yang diadakan oleh komunitas murid pecinta  alam sekolah tempatku bertugas. Aneh tapi nyata, aku bukan bagian dari kegiatan pecinta alam. Kenapa si Bapak ini harus marah kepadaku?
Dituduhnyalah aku yang memengaruhi pikiran buah hatinya sampai berontak ingin mengikut kegiatan bermalam di gunung. Dia marah sekali karena sekolah membiarkan kegiatan murid menginap di alam terbuka. Di dalam amarahnya, dikatakannya aku hanya sibuk mencampuri kehidupan anaknya dan melupakan pekerjaan utamaku sebagai pendidik yang harus mengajarkan ilmu bermanfaat kepada generasi penerus bangsa. Caci makian si Bapak sungguh tajam mengiris kalbu. Memang benar, aku adalah Lestari, seorang guru matematika, rakyat jelata yang tidak punya harta dan kekuasaan. Namun ilmuku bukan kaleng-kaleng karena muridku bertebaran dimana-mana dan menjadi kaum terpandang di dalam bidang itu.
Tiba-tiba kurasakan dadaku sesak, rombongan bayangan hitam itu datang lagi menghantuiku. Kulihat samar-samar sebuah kapal tenggelam di laut nan kelam. Ombak menggelora setinggi atap menerjang wajahku. Aku melihat diriku terapung di laut lepas. Aku menoleh, kulihat di sampingku, potongan buritan kapal seakan menarik tubuhku masuk ke dalam kelamnya laut. Air berputar dimana-mana, aku gelagapan mencari tempat berpegang. Sekelilingku hitam pekat dan nafasku bertambah sesak, rasanya aku tenggelam. Segera kututup wajahku dengan selimut dan membiarkan ketakutanku berlalu di bawah dinginnya malam.
Pagi hari tiba, kudengar senda gurau burung berkicau di dahan pohon ki hujan. Â Aku memulai rutinitas pagiku dengan memberi makan Yovella, stray cat berwarna hitam pekat yang kutemukan di pasar. Saat itu Yovella adalah bayi kucing tidak berdaya yang dibuang di dekat penjual ikan langgananku. Walaupun kucing kampung, saat ini kemolekan Yovella mampu bersaing dengan Persia atau kucing ras lainnya. Dengan segala keterbatasan yang kumiliki, Yovella kubesarkan dengan penuh cinta.
Aku tiba di ruang guru, masih sunyi karena aku selalu tiba paling cepat dari guru lainnya. Hari ini sekolah agak sunyi karena murid dan sebagian besar guru ikut kegiatan trekking ke gunung. Di dalam heningnya ruangan, kuputuskan untuk menghubungi Deasy, ketua OSIS andalan sekolahku. Kucari nomornya dalam ponselku. Setelah ketemu segera kuminta bantuannya memberi informasi kapan pulangnya komunitas pecinta alam yang dipimpin oleh Jasmine. Setelah mengirim text kepada Daisy, aku memandang foto profil lelaki yang menelponku kemarin. Dia memakai topi sehingga wajahnya tidak terlihat jelas, berpose sangat bangga dan romantis dengan putri kesayangannya yang menjadi murid di sekolahku. Seandainya anakku berumur panjang pasti dia seumuran dengan Jasmine, si cantik yang menjadi ketua komunitas pecinta alam di sekolahku. Aku masih merasa kesal gegara dimarahi oleh Bapaknya Jasmine.
Ternyata kekesalan Bapaknya Jasmine berbuntut panjang. Hari ini si Bapak nan arogan itu datang menjemput anaknya di sekolah. Aku sedang lembur memeriksa pekerjaan rumah muridku di dalam kelas saat Bapaknya Jasmine telah berdiri di hadapanku.
"Ini ibu Lestari ya,"
"Iya, benar Pak. Maaf ini siapa ya?"
Lelaki kekar bertopi hitam itu berdiri tegap di hadapanku. Tanpa kuduga...
"Aku keberatan anakku di didik oleh guru seperti kamu. Gegara kamu, pikiran anakku menjadi berubah. Dia bukan lagi Jasmine yang dahulu. Sekarang dia sudah berani membantah kata-kataku.
"Tapi Pak...saya tidak pernah..." Â aku mencoba membela diriku.
"Cukup!!! Aku tidak mau lagi kalau kamu berdekatan dengan putriku."
Tanganku bergetar, seiris rasa teramat pedih menggurat dadaku saat mendengar kalimat penolakan dari orang tua murid. Kuakui Jasmine memang dekat denganku. Dia sering bercerita tentang kerinduannya kepada almarhumah ibunya. Bapaknya yang hidup sendiri tampaknya sudah kehilangan semangat hidup sejak ditinggal istrinya. Si Bapak menjadi begitu mudah curiga dan posesif. Jasmine pernah berkata dia akan senang sekali jika aku mau menjadi ibunya. Tanganku bergetar hebat membayangkan percakapanku dengan Jasmine. Tiba-tiba pulpenku jatuh dan menggelinding ke bawah kursi rodaku. Lelaki itu masih memandangku dengan dingin. Saat aku menunduk akan mengambil pulpen, tanpa sengaja lelaki itu melihat tanda lahir hitam berbentuk uang koin yang berada di lenganku.
Sejenak dia mundur dan menatap wajahku lama sekali. Aku merasa sangat tidak nyaman  dan membalas tatapan matanya yang terasa sangat menusuk. Tiba-tiba aku kembali melihat tragedi kapal tenggelam. Bola mata lelaki yang kulihat dalam peristiwa maut itu persis sama dengan bola mata lelaki yang saat ini berada di hadapanku. Aku terpekik tidak percaya dan memundurkan kursi rodaku. Aku menjerit memanggil Satpam sekolah, tiba-tiba pandanganku terasa gelap gulita.
Kucium bau harum minyak kayu putih. Kubuka kelopak mataku yang terasa sangat berat.
"Jangan banyak bergerak dulu Bu Lestari," kudengar sayup-sayup suara serak seorang perempuan.
"Ohhh...saya ada dimana? Jam berapa sekarang?"
Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Kulihat ruangan serba putih dengan gorden warna senada. Tampaknya ini ruang Unit Gawat Darurat milik sekolah. Aku mencoba mengingat kembali. Yang tadi kudengar adalah suara Ayuk, janitor yang bertugas menjaga kebersihan tempat ini. Otakku tiba-tiba mengingat Yovella yang tertidur kelaparan menunggu kedatanganku dari sekolah. Segera kubuang selimut yang menutup badanku tetapi sebuah tangan kekar lelaki menghentikan gerakanku. Mata lelaki itu menatap tajam sekali, menembus ke dalam jantungku. Aku ketakutan, mau apa dia disini.
Sepasang mata dingin yang menjanjikan keteduhan dan perlindungan, persis sama dengan sepasang mata yang menghantui kehidupanku setiap saat. Saat ini tidak kulihat adanya amarah disana, tapi penyesalan luar biasa terpancar dari sepasang mata yang semakin meredup nyalanya.
"Kaukah itu Dayu?" lelaki itu memegang jemari tanganku. Kudengar suara bergetar memanggil nama kesayanganku. Sebuah nama sangat spesial yang diberikan oleh lelaki kiriman Tuhan untuk mendampingi hidupku.  Aku terkejut dan menunduk, kupalingkan wajahku ke tembok. Tangisku pecah. Ini hanya sebuah mimpi buruk mendengar orang memanggil nama itu padaku. Aku percaya dia telah mati tenggelam di laut nan hitam. Kupalingkan wajahku lagi, kembali kutatap lelaki misterius yang telah membangunkan amarahku. Kulepaskan  jemariku dari genggamannya.
"Mau apa kamu disini?"
Lelaki itu tidak menjawab, hanya menatapku lama sekali.
"Lebih baik kamu pulang sekarang. Ayuuukkkk......" teriakku sekencang-kencangnya memanggil si janitor. Mataku menatap liar ke sekeliling ruangan. Kucari janitor sekolah yang kukira masih berada di dalam ruangan. Tidak ada seorangpun, hanya aku dan lelaki itu.
"Dayu, ini aku...Yudha, suamimu."
Mataku mendelik, kudorong lengannya sejauh mungkin.
"Aku tidak percaya, Mas Yudha telah lama meninggal. Kamu jangan berani mengaku-ngaku sebagai suamiku."
"Dayu...percayalah ini aku."
Tiba-tiba lelaki yang menyebut namanya Yudha membuka topi yang dipakainya. Lelaki itu menunjukkan sesuatu di dahinya. Aku terperanjat, jantungku berdegup sangat kencang. Kulihat bekas jahitan di sepanjang dahinya. Itu adalah tanda seumur hidup saat suamiku mengalami kecelakaan bermotor saat dia masih berusia belia.
Apakah lelaki ini benar-benar Mas Yudha?
Batinku meronta hebat tidak percaya. Mas Yudha telah tenggelam di laut. Dia dan buah hati kami telah pergi untuk selama-lamanya akibat kecelakaan maut itu.
"Apakah kamu masih mengingatku Dayu? Apakah kamu mengingat apa arti jahitan ini?" lelaki itu kembali menunjuk bekas jahitan panjang yang ada di dahinya. Aku terpekik dan menutup mukaku rapat-rapat. Â Aku tidak sanggup menerima kenyataan ini. Kurasakan tangan kekar mas Yudha memeluk tubuhku yang ringkih. Sepasang tangan hangat yang kurindukan puluhan tahun lamanya. Ternyata lelaki yang kuanggap paling menjengkelkan sedunia adalah suamiku sendiri. Aku sudah mati rasa dan tidak percaya lagi kepada lelaki lain sejak kematian Mas Yudha, orang yang sangat kukasihi. Sekarang orang yang kurindukan sepanjang hari itu berada di sisiku. Dia masih hidup dan sehat walafiat.
"Ampuni Dayu, Mas Yudha. Aku tidak mengenalimu lagi."
Lelaki itu mengatupkan rahangnya menahan haru.
"Aku sangat bersyukur bertemu lagi denganmu Dayu. Â Ya Tuhan, terima kasih atas perlindunganmu kepada istri tercintaku".
Kurasakan tangan kekar mas Yudha menggenggam erat tanganku dan menciumnya penuh kerinduan.
"Terima kasih Tuhan, akhirnya kutemukan lagi rembulan kehidupanku," bisiknya perlahan. Aku menangis sesenggukan, masih ada rasa tidak percaya, seakan mimpi rasanya.
"Mas Yudha, kenapa kamu yakin bahwa aku Dayu?"
"Kamu tidak dapat mangkir dariku, Dayu. Aku kenal betul lekuk liku tubuhmu dan semua tanda yang ada di dalamnya. Aku sangat kaget melihat tanda lahir di lenganmu saat pulpenmu jatuh tanpa sengaja."
Aku menatap tanda lahirku yang selalu kututup dengan lengan baju. Tanda lahir berwarna hitam dan berbulu sehingga aku sering minder dibuatnya. Kutatap mata lelaki yang bernama Baratayudha, lelaki yang telah ditakdirkan menjadi suamiku. Â Rona kemarahan dan sikap dingin beku dalam sinar matanya telah berganti menjadi sepasang mata redup penuh harapan.
"Saat Jasmine terlepas dari pelukanmu, aku segera berenang dan mencarinya. Alhamdulilah Jasmine segera kutemukan tetapi aku kehilangan kamu, Dayu. Aku terapung di laut dengan berpegang pada sepotong kayu. Suatu anugerah, kayu itu muat dengan badan Jasmine sehingga aku menidurkannya disitu. Pagi harinya aku diselamatkan oleh sebuah kapal nelayan yang melintas di sekitar tempat karamnya kapal. Laut sekitar penuh dengan barang milik korban dan tubuh jenazah. Aku mencari kiri kanan, berharap menemukan dirimu berada di antara korban yang selamat. Tetapi kamu tetap tidak ada."
Mas Yudha menutup mukanya. Aku menghela nafas panjang. Kupejamkan mataku, kubiarkan butiran air menetes bersama rasa haru biruku.
"Bagaimana kamu dapat selamat dari kejadian itu Dayu?"
"Aku tidak menahu bagaimana ceritanya, Mas Yudha. Ombak membawaku mendarat di satu pulau kecil yang terpencil. Disitu aku bertemu Mak Nunuk, seorang nenek sebatang kara. Dirawatnya semua luka bakarku dengan ramuan tumbuhan pulau yang diraciknya sendiri. Sayangnya beliau tidak dapat mengobati kelumpuhanku. Sejak kejadian itu aku tidak dapat lagi berjalan dan harus dibantu dengan kursi roda."Â
Kuusap kedua kakiku yang tidak dapat lagi digunakan untuk berjalan akibat dihantam pecahan buritan yang terbawa ombak.
"Berapa lama kamu bertinggal di pulau terpencil itu?"
"Aku tidak paham berapa lama aku tinggal disana karena aku sempat lupa siapa diriku. Setiap malam aku selalu dihantui oleh bayangan hitam dan suasana saat kecelakaan itu terjadi. Pulau yang kutempati  jarang dilewati kapal. Entah mengapa pada suatu sore Mak Nunuk melihat ada kapal di kejauhan. Mak Nunuk membakar ranting dan dedaunan sehingga pemilik kapal menyinggahi tempat itu. Aku dibawa oleh pemilik kapal menuju ke suatu tempat yang terasa sangat jauh di pedalaman Kalimantan. Disana aku membantu si pemilik kapal sebagai balas budiku. Aku menjadi guru sukarela untuk mengajar baca tulis anak-anak dari suku yang hidup di pedalaman."
"Mas Yudha, bagaimana anak kita Jasmine? Apakah dia baik-baik saja?"
"Jasmine sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Tahun ini dia akan lulus sekolah dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi idamannya."
"Alhamdulillah, aku senang sekali mendengarnya. Semoga aku diberikan umur panjang untuk bertemu kembali dengan Jasmine, anak kita."
Mas Yudha membelalak heran mendengar kalimatku yang terakhir.
"Masa iya kamu tidak pernah ketemu dengan Jasmine?"
"Maksudmu...Jasmine anak kita?"
"Iya...putri kita Jasmine. Gegara Jasmine dan intervensi gurunya yang sok tahu itu  sampai aku harus datang  ke sekolahnya hari ini."
"Jadi...Jasmine yang kita bahas tadi adalah..."
Mas Yudha membisikkan kata yang manis namun membuat jantungku serasa copot mendengarnya.
"Jasmine Andrea, putri kita yang menjadi ketua kegiatan pecinta alam di sekolahmu. Masa kamu tidak kenal sama anakmu sendiri? Lucu kali kamu ini."
"Lahhh...saat kejadian itu, Jasmine masih berumur tiga bulan. Aku sudah pasrah kehilanganmu dan anak kita. Aku kan pernah amnesia Mas Yudha," aku membela diri.
"Aduh Dayu, kemana maternal caremu yang dulu-dulu itu? Anak sendiri kok tidak dikenal. Gimana sih. Sudah, jangan menangis lagi. Aku sudah kembali lagi di sisimu."
Mas Yudha menyapu lembut air mata yang menetes di pipiku.
Ternyata ayah Jasmine Andrea adalah Baratayudha, suamiku yang kusangka telah meninggal karena tenggelam di ganasnya ombak laut timur. Aku menutup mataku rapat-rapat. Musibah itu terjadi tatkala Mas Yudha membawaku menaik kapal laut menuju tempat dinasnya di salah satu pulau kecil di bagian timur. Lambung kapal yang robek menyebabkan kapal bermotor itu karam. Saat itu Jasmine kami tercinta berumur tiga bulan. Peristiwanya terjadi saat malam hari. Kami bertiga jatuh dan terseret arus laut. Di dalam sekejap, bayi mungil itu menghilang dari pelukanku saat terjadi bencana.
Ya Allah, sungguh nyata kuasamu, mempertemukan seorang hamba yang telah berpisah dengan keluarganya selama puluhan tahun yang lalu.
"Aku sudah tidak seperti dulu lagi Mas Yudha, aku cacat. Kecelakaan maut itu telah merenggut semua kehidupan  dan kebahagiaanku."
"Aku tidak peduli bagaimanapun keadaanmu. Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik?"
Aku mengangguk dan berusaha bangun dari tempat tidur.
"Kamu tunggu disitu."
Mas Yudha segera mengambil kursi rodaku dan mendorongnya ke dekat tempat tidur. Perlahan Mas Yudha mengangkat dan mendudukkanku di atas kursi roda. Dibenahinya selimut untuk menutup kakiku. Suasana sekolah sangat sepi karena senja telah menjelang. Mas Yudha merapatkan pintu UGD dan mendorong lembut kursi rodaku menyusuri koridor kelas yang telah terkunci rapat.
Di dekat gerbang sekolah, Jasmine berdiri berurai air mata, tidak percaya bahwa ibu guru disable yang selama ini mengajarnya matematika adalah ibu kandungnya.
"Ibu...," teriak Jasmine dan berlari memelukku.
"Anakku Jasmine, ya Allah...sudah sebesar ini dirimu Nak."
Aku mencium buah hatiku dan rasanya tidak ingin melepaskannya lagi.
"Tampaknya aku harus segera pulang Mas, pasti Yovella sudah meraung kelaparan di rumah."
"Yovella? Siapa dia?"
"Kucingnya bu Lestari namanya Yovella. Papa pasti senang kalau bertemu dia, the sweetiest black cat."
"Jasmine, sekarang kamu sudah menahu bu Lestari adalah ibumu, sekarang kamu panggil Mama ya,"
"Oh...okey Pa...tidak nyangka ya ternyata Mama yang kita cari selama ini berada di sekolahku. Aku senang banget ketemu dengan Mama," Jasmine kembali memelukku dengan erat. Aku tidak pernah membayangkan Jasmine adalah putriku yang terpisah karena bencana yang menimpa keluarga kami.
"Iya Sayang. Mama juga senang ketemu lagi dengan Jasmine."
"...dan Papanya juga," sambung Mas Yudha dengan kocak.
Sambil tersenyum lebar Mas Yudha membuka pintu dan mendudukkanku di kursi yang berada di sampingnya. Dia juga melipat kursi roda itu dan menaruhnya di bagasi. Dia mencium keningku.
"Welcome home, Dayu. Ayo kita pulang ketemu Yovella." Mas Yudha menutup pintu mobil dengan penuh semangat. Â Jasmine yang duduk di kursi belakang bersenandung riang. Aku tersenyum sangat bahagia. Seumur hidupku inilah senja terindah dalam hidupku (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H