Mohon tunggu...
Somya Cantika Suri
Somya Cantika Suri Mohon Tunggu... -

Penyuka buku, musik, dan ketenangan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sa Pu Cita-Cita (Saya Punya Cita-Cita)

13 Oktober 2015   15:12 Diperbarui: 13 Oktober 2015   15:18 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat menyesal hidup sebegini

Telah berpadu cinta, untuk hidup bersama

Tapi sekarang, terikat dengan orang lain

Baru ku tahu omonganmu itu…..

“Heh! Yoel! Bangun kau!” teriak Franky di samping telinga pemuda itu. Dengan mata yang masih berat, ia mulai membangunkan Yoel, sahabatnya. Pemuda itu, masih terbaring gemerasak di atas karung goni tempatnya mengangkut langsat  untuk diantar ke pasar malam tadi.

Matahari mulai menyinari emperan Toko Kokput Jaya, memanaskan wajah Yoel, sehingga tak lama pemuda itu terbangun. “Sa lapar, trada makanan, jo kitong pulang.  Ayo cepat!” bentak Franky. Tanpa berkata-kata, Yoel yang masih mengumpulkan nyawanya berjongkok sambil melipat karung goni, alas tidurnya subuh tadi. Masih terngiang-ngiang dalam kepalanya lagu pengiring penampilan tarian yosim pancar atau yospan, tarian yang mempertemukannya dengan Greta, gadis  yang sejak dua hari lalu jadi pujaannya dalam diam. Lagu sedih yang di dendangkan dengan ceria itu, menjadi lagu pengiring pertemuan mata mereka. Malam yang menakjubkan, pikir Yoel.

Tak lama dua pemuda itu sudah berjalan gontai melewati sebuah pasar di Kota Manokwari. Aroma kuah sayur ikan kuning melewati hidung Yoel dan Franky, namun mereka harus terus berjalan, membawa utuh uang dikantung. “Kau sungguh lapar Frank? Sa juga. Dorang pu uang toh?Mari makan!” kata Yoel sambil menggerak-gerakkan hidungnya mengikuti aroma kuah ikan itu. “Inga-inga tujuan awal kitong El, kita harus punya ongkos untuk kesana!” kata Franky berapi-api sambil menepuk pundak sahabatnya, dengan penekanan pada kata “kesana”. Yoel memegangi perutnya, sambil menatap nanar warung Mama Esi, asal aroma itu. “Iya Frank. Sa pasti kesana!” ucapnya sambil menatap lurus kedepan. Diam-diam ia tersenyum, sambil membayangkan dirinya sudah “disana”.

Yoel Damianus, pemuda berusia 20 tahun yang telah lulus STM ini, kini menjadi penjual buah dan sayur kepada pedagang di sebuah pasar di Kota Manokwari. Ia bersama sahabatnya, Franky, lebih sering menjual langsat, buah sejenis duku yang sedang panen di desa mereka. Seusai memetik dari kebun, mereka memasukkan langsat-langsat yang manis itu ke dalam karung goni, untuk kemudian dijual ke pasar. Jangan bayangkan motor besar dengan gerobak kokoh untuk mengangkut karung-karung berisi langsat ini. Mereka harus memikul karung-karung ini, masing-masing satu karung perorang menempuh jarak yang tak mustahil puluhan kilometer. Dan mereka berdua, mempunyai satu tujuan, untuk “kesana”. Mengumpulkan uang untuk ongkos ke tempat impian mereka, tak masalah walau harus menggotong karung seberat 30 kilo dari desa ke Manokwari. Angkutan umum yang sesekali lewat mereka acuhkan meski sangat menggoda kaki untuk beristirahat. Alasannya tak lain tak bukan, sekali jalan mereka harus mengeluarkan uang Rp 15.000 untuk ongkos angkutan umum itu. Ojek? Jangan tanya lagi. Lebih dari Rp. 50.000  harus mereka gelontorkan. Ah mimpi itu!

Semenjak Manokwari berganti status menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat, kota ini menunjukkan perkembangan yang signifikan. Seperti seorang gadis yang hendak bertemu kekasihnya, Manokwari pun berhias. Semenjak Papua Barat dibentuk pada tahun 2004, pertokoan, hotel, mal, dan kawasan perkantoran pun berdiri di Manokwari, menambah kesan kota modern. Dikota inilah, Yoel dan Franky menggantungkan harapannya, loncat dari satu pasar ke pasar lain, mencari pedagang yang mau memesan langsat desa mereka.

Disepanjang jalan menuju pulang, mereka berpapasan dengan masyarakat Papua yang bernasib sama – menghemat ongkos dengan berjalan kaki, meski tujuan mereka ke kota. Beberapa pria  masih memakai holim, atau koteka. Yoel pun tetap menghormati mereka meski ia sudah memakai baju dan celana. Ia pun mengenang, ia baru melepas holim miliknya saat menduduki bangku SMP.

Pria-pria yang memakai koteka itu kebanyakan masih tinggal di pegunungan atau pedalaman. Mereka tinggal di honai , rumah bundar beratap ilalang, bersama puluhan warga sukunya dalam kompleks permukiman adat. Seperti kebanyakan masyarakat Pegunungan Tengah Papua, mereka masih bertani secara tradisional. Mereka menanam ipere (ubi jalar) sebagai  tanaman utama, beserta aneka umbi-umbian lainnya. Tidak hanya ipere, warga juga menanam beraneka jenis sayuran dan buah-buahan seperti kol, sawi, jeruk, dan buah yang terkenal sebagai obat apalagi kalau bukan buah merah. Pascapanen, mereka pun turun gunung menjual hasil pertanian  ke kota. Jumlah manusia berkoteka semakin menurun karena sebagian dari mereka sudah memilih untuk berpakaian seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. 

Jika di teliti ke belakang, berkurangnya jumlah pengguna holim itu terkait dengan kebijakan pemerintah Papua hingga masa Orde Baru. Holim dianggap sebagai simbol kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Papua. Koteka dinilai bukan pakaian. Pria-pria yang memakai koteka dipandang sebagai orang yang tidak beradab, karena telanjang. Padahal, kata koteka berasal dari salah satu suku di Paniai, yang artinya pakaian. Namun, cara dan pandangan hidup mereka harus selalu dihargai. Mereka pelestari kebudayaan lokal Papua sepanjang masa.

Setelah berjalan puluhan kilometer, mereka pun  tiba di desa, jam makan siang sudah lewat. Mereka pun berpisah menuju honai masing-masing. Matahari sudah berada diatas kepala, terasa membakar sisa rambut Yoel yang dicukur botak. Aroma itu datang lagi, namun kini Mama Elsa, ibu Yoel lah yang memasaknya. “He……sudah pulang kau El. Makan sini Nak. Ada ikan dua ekor dari Mama Jess, Mama masak kuning.  Masih ada papeda lebih dari hasil sokokan sagu kemarin. Makanlah.” kata Mama Elsa. Tanpa menunggu waktu lama, Yoel sudah memegang sepiring papeda dan ikan kuah kuning di piring lainnya. “Mama pasti bekerja keras menyokok sagu sendiri semenjak Papa meninggal….” batin Yoel sambil menatap piring papedanya. Ia pun menyeruput papedanya perlahan, sambil sesekali melirik Mama yang sedang menjahit baju adiknya, Noel, yang baru berumur 3 tahun.

Selesai menandaskan sepiring santap siang yang nikmat, Yoel bergegas ke sungai. Ia membawa dua buah tempat air yang kosong dan bambu sebagai alat pikulnya. Dengan sandal jepitnya yang usang, Ia menyusuri ratusan meter melewati semak pakis tua jika ingin bertemu dengan sumber kehidupan itu. Sungai yang airnya jernih, mengalir menyusuri setiap desa kecil, seolah menyampaikan kasih untuk setiap masyarakat. Kesegaran airnya, mampu menyejukkan dahaga, membuat pakaian yang kotor menjadi bersih, membasahi tanah dengan bibit ipere, dan mampu memuaskan dahaga ternak-ternak domba atau babi milik warga.

Namun…..aliran air yang tenang itu kembali mengingatkan Yoel pada peristiwa itu, satu tahun silam.. Kesedihan kini membuat  aliran sungai itu berpindah ke pelupuk mata Yoel.

Ayah Yoel adalah salah satu pendulang emas di sepanjang Sungai Aghawagong yang menjadi aliran pembuangan tailing PT Freeport Indonesia (PT FI). Tailing adalah limbah pertambangan, yang kini menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakat  Papua. Dalam sehari, mereka  bisa mendapat jutaan rupiah dari hasil mendulang emas dalam tailing. Bahkan, sebagian masyarakat rela turun gunung, berjalan puluhan kilo untuk bertemu tailing.

“Aku sudah ketemu batu granit kemarin, jadi besok pasti kudapat emas!” kata Fransiskus, ayah Yoel, sehari sebelum kejadian itu. “Tapi sungai sedang meluap, Kau bisa mati Frans!” jawab Mama Elsa, khawatir melihat suaminya yang gegabah. “Itu batu penanda Elsa! Penanda! Tak akan kubiarkan emas itu hanyut begitu saja! Akan aku bawa uang banyak untuk kau, Yoel, dan Noel!” ucapnya sambil meninggalkan honai. Mama Elsa tidak menyangka, itulah yang menjadi kalimat terakhir suaminya. Luapan sungai yang tiba-tiba menghanyutkan tubuh Fransiskus. Ia ditemukan di dekat hulu sungai terjepit diantara bebatuan besar, tak bernyawa.

“Seandainya kau tak disana Papa…..” batin Yoel, tak sadar bahwa kakinya sudah kedinginan terendam air sungai. Kini ia semakin mantap untuk “kesana”, menjemput masa depan yang lebih baik. “Ko rang harus membuat ku bangga suatu saat nanti, Yoel. Angkatlah derajat dirimu.. Aku tak ingin kau mabuk-mabukan seperti aku, aku tak ingin kakimu keriput berendam seharian untuk butir-butir emas. Jika kau bertanya padaku, siapa orang  yang tak pantas kau tiru, akan kujawab akulah orangnya. Emas itu kutukan bagi kita, Yoel. Aku tak ingin suatu saat kau jadi meno-meno yang tidur di selokan, menghabiskan puluhan juta dalam semalam dari hasil jual emas-emas itu.  Kau harus jadi orang pintar, Nak.” Yoel ingat persis kalimat-kalimat itu, meluncur dari mulut Papa beberapa hari sebelum luapan sungai menelan nyawanya. Kini, Fransiskus dan Elsa berada di lapisan pertama kulit keningnya. Saat ia mengangkat goni berisi puluhan kilo langsat, mengangkat jerigen-jerigen air, dan saat godaan meno-meno (panggilan akrab bermakna sobat) untuk mabuk-mabukan atau ke Kilo 10 ( lokalisasi di Timika), wajah Fransiskus dan Elsa selalu ada di pikirannya membentengi tekad mencapai cita-cita. “Jika mereka menuju kemunduran, maka sa harus maju!”

Cahaya itu lembut menerangi barisan kalimat-kalimat dalam buku Bahasa Indonesia. Seakan cemburu pada lampu minyak, bulan purnama ikut meneranginya. Alam semesta mendukung Yoel, nyaris tak ada suara ribut orang atau suara berisik binatang. Hanya sesekali suara kong- kong dari kodok dan krik-krik dari si jangkrik. Suasana begitu dingin, damai melindungi Yoel. Pemuda ini tak patah arang melancarkan Bahasa Indonesianya. Ia terus berlatih mengucapkan “saya”, ketika ia terbiasa hanya mengucap “sa”. Ia berulang kali mengucapkan “kita”, bukan “kitong”.  Tiba-tiba ia teringat seseorang. ”Nanti kita bertemu disana ya. Jangan buat aku kecewa Kaka Yoel!” senyum manisnya membayang di ujung mata Yoel. Semangatnya terus terpompa, tak perduli asap lampu minyak membaui hidungnya. “Tunggu saya Greta!”

Musik begitu riuh. Cuku lele dan gitar begitu menghibur, ditambah kemeriahan suara kalabasa, alat musik yang terbuat dari labu yang dikeringkan lalu diisi dengan manik-manik. Para pemuda menggoyang-goyangkan kalabasa, menyemarakkan malam sambil menyanyikan lagu dari album Sio Firumo, band asli anak-anak Papua. Kemeriahan yang sederhana ini adalah salah satu pengiring dari tarian Yosim Pancar atau kerap disingkat Yospan. Yospan adalah satu dari sekian banyak tarian pergaulan asli Papua. Yospan berasal dari dua daerah, yaitu Biak dan Yapen-Waropen. Pada mulanya, Yospan bukanlah tarian yang utuh melainkan berasal dari dua tarian yang berbeda, yaitu yosim dan pancar yang kemudian menjadi satu.

Disanalah mereka bertemu. Di tengah-tengah menonton yospan Yoel melihat seorang gadis diseberang tempat ia berdiri. Rambutnya hitam seperti minyak kemiri, berkilat-kilat terkena sinar lampu yang menambah keindahannya. Kulitnya putih bersih bak daging buah pala, nyaris  tanpa cela. Iris matanya bak belanga  tinta, begitu hitam mempesona. Dan yang paling menawan, Tuhan ciptakan lesung pipi yang melekuk sempurna saat tawanya tergelak. “Gadis Bugis. Ya, Dia pasti gadis Bugis yang banyak datang kesini karena orang tuanya terkait pembangunan di Papua. Sa harus ajak ia bicara!” batin Yoel.

Keberanian yang Yoel kumpulkan tak sia-sia. Gadis itu, Greta, begitu ramah. Ia mengaku sedang liburan semester di Papua. Liburan ke Raja Ampat sebagai hadiah keberhasilannya meraih juara pararel. Kini Greta menginjak kelas XII SMA di sekolah dekat Kota Makasar. “Apa sa bilang……Gadis Bugis!” batin Yoel. Kemeriahan yosim pancar terus berlanjut, seperti halnya perbincangan akrab pemuda-pemudi ini. Saat perbincangan berlangsung, Greta terlihat menahan tawanya, hingga akhirnya ia tergelak. Matanya yang menyipit saat tertawa, terlihat manis sekali. “Kenapa ko rang  tertawa? Sa kan tak melucu toh?” kata Yoel sambil ikut tertawa. “Aku tertawa karna kaka suka menyingkat kata-kata. Kita punya tujuan yang sama kan? Aku boleh kasih saran?” tanya Greta. Yoel mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kaka harus belajar Bahasa Indonesia lebih baik lagi. Kaka  masih punya waktu sebelum kita kesana. Ayo kak, kaka pasti bisa. Semangat!” sambung Greta sambil mengguncang tangan Yoel. “Oh Tuhaaaaaannn tangannya lembut sekali.” batin Yoel. “Baiklah Greta, sa eh… saya, akan belajar lebih giat! Ko rang eh...Kamu juga ya!” ucap Yoel, sedikit terbata-bata. Lalu gelak tawa meriuhkan suasana tarian itu.  Persahabatan antara amber (sebutan untuk pendatang berambut lurus) dan komin (orang asli Papua yang berambut keriting). Persahabatan yang mematahkan anggapan bahwa warna kulit dan budaya bukanlah halangan, bukan berarti tombak harus melayang atau otot harus tegang. Kita semua bersahabat, Satu Nusa Satu Bangsa. Kalau ada cinta, itu beda lagi toh!

 

”Nanti kita bertemu disana ya. Jangan buat aku kecewa Kaka Yoel!”

“Heh Yoel! Ko rang kenapa? Lihat perbuatanmu itu!” bentak Franky, membuyarkan lamunan Yoel. Timun-timun Mama Stacy, yang baru saja mereka petik, jatuh ke tanah sementara Yoel melamunkan malam itu, malam pertemuannya dengan Greta. “Maaf  Franky, aku minta maaf. Aku tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Aku berjanji. Maafkan aku ya.” ucap Yoel sambil memungut timun-timun yang seharusnya masuk karung. Franky kaget, terdiam sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. “Sejak kapan ko rang belajar bahasa?  Maafkan aku ya, lucu sekali!” kata Franky mencibir menirukan sahabatnya. “Kalau kulitku putih, pasti sudah ketahuan kalau aku malu. Ah sudah, tahan saja lah!” batin Yoel. Hari itu masih pagi sekali, timun demi timun mereka kumpulkan dalam karung goni setelah sebelumnya disortir dengan teliti. Tak cukup sampai disitu, karena ini adalah panen terakhir dari tanaman yang sama, mereka harus mencabuti dan membersihkannya sampai bersih. Pegalnya pinggang karena harus berjongkok mencabuti rambatan tanaman pohon timun yang layu tak  mereka rasa, demi satu tujuan, mengumpulkan uang yang cukup untuk menggapai cita-cita. Sebab perjalanan akan jauh dan mereka harus membawa uang yang cukup untuk ke Jayapura.

Tanah sudah bersih, lalu kedua sahabat ini menaburkan pupuk, kemudian melembabkan pori-pori tanah dengan air sungai yang sebelumnya sudah mereka pikul. Bibit timun lalu mereka tanam, berharap buah-buah yang lebih banyak dapat mereka petik. Sebagian besar kota-kota di Papua, seperti Manokwari,  dikenal sebagai kota buah-buahan karena mengalami dua kali musim buah. Pasar-pasar dan pinggir jalan akan diwarnai semburat kemerahan dari jauh jika sedang musim rambutan. Penjaja buah-buahan juga menghias tampilan pinggir jalan dengan warna ikatan-ikatan buah langsat yang menguning pada musimnya. Langsat dan rambutan dijual pertumpuk, dengan harga yang cukup murah. Jangan ragukan rasanya, sungguh manis karena matang di pohon. Kesegaran tanah Papua terkandung didalamnya, begitu nikmat.

Buah-buahan tersebut selain dipasarkan secara lokal, juga dijual hingga ke Jayapura dan Sorong. Lucunya, jika musim buah sudah datang, kapal-kapal pelni pun penuh dengan puluhan keranjang-keranjang buah. Para mama pun tersenyum, perekonomian mulai bergairah seiring dengan pundi-pundi rupiah yang mereka kumpulkan dari hasil kebun atau halaman mereka.

Satu tahun kemudian……

Praaakkkk!!! Praaakkkkkk!!!

Pecahan-pecahan celengan tanah liat berserakan di lantai honai. Yoel pun mengumpulkan uang-uang hasil kerja kerasnya selama beberapa tahun. Singa dan ayam tanah liat itu, menjadi alasan senyum Yoel kali ini. Mama tersenyum melihat kegigihan buah hatinya demi meraih cita-cita. Noel pun menggoda kakaknya dengan mengambil beberapa lembar uang. Aksi kejar-kejaran antara kakak beradik dengan selisih umur yang jauh ini semakin menyayat hati Mama Elsa. Dua buah hatinya yang begitu ia kasihi, sebentar lagi akan pergi satu, memenuhi janji kepada mendiang Papanya. “Oh Yoel…..Maafkan Mama nak…..Mama tak bisa memberi apa-apa untukmu. Mama tak punya uang….Semoga ko rang bahagia dan sukses di Jayapura. Kelak Papa akan tersenyum di surga karena keberhasilanmu Nak…Sebagai Mama….aku hanya bisa memberimu doa…sungguh perih hatiku, namun kuyakin rasa perih ini akan tergantikan dengan rasa bahagia karna ko rang, Yoel. Tiada hariku tanpa mendoakanmu, berharap Tuhan meringankan beban karung goni yang selalu kau pikul, berharap Tuhan menguatkan kakimu berjalan puluhan kilometer. Oh Anakku…Pergilah nak…..pergilah..Aku selalu disampingmu…Aku terwujud dalam doa, anakku...” tak terasa air mata membasahi pipi Mama Elsa. Ia pun terburu-buru menyeka bulir-bulir bening itu dengan ujung bajunya, tak ingin Yoel dan Noel melihat. Ia harus tetap terlihat bahagia, ya, ia harus melepas Yoel dengan bahagia.

Yoel masih punya waktu. Ia memutuskan untuk kembali bekerja sebelum pergi ke Jayapura. Hari ini kakinya melangkah ke kebun seorang tetangganya, berjarak 700 meter dari honainya. Inilah Papua, dimana seorang tetangga bisa demikian jauh rumahnya. Ia bekerja memanen sawi yang sudah  tua, lalu menjualnya ke Manokwari, lalu mendapat upah yang lumayan. “Hee….Yoel, tolong ko rang panen juga mangga di samping kebun sawi itu. Kau jual saja untukku setengah, setengahnya lagi untuk ko rang. Boleh kau jual, atau kau bawa pulang untuk Elsa. Beri saja untukku setengah dari penjualannya.” ucap Mama Joshua. “Oh Tuhan…terima kasih. Terima Kasih banyak Mama Josh! Mama baik sekali. Baiklah, akan kujual secepatnya ke Manokwari. Doakan aku suapaya ini semua laku Ma!” kata Yoel, lalu  berlari memeluk Mama Joshua. Mama Joshua adalah janda tua tanpa anak. Ia sangat menyayangi Yoel. Yoel selalu mengerjakan kebunnya. “Ini berkah Tuhan! Terima kasih Tuhan! Terima kasih!” batin Yoel.

Kali ini Yoel berjalan sendirian menuju Manokwari. Ia memikul dua karung, satu berisi sawi, dan satu lagi berisi mangga. Ia berhenti beberapa kali sebelum sampai. “Ahh……kemana perginya ko rang Frank, menghilang seperti hantu.” batin Yoel. Ia mulai merindukan sahabatnya, yang sudah satu bulan tak ia temui. Kemudian pemuda ini berjalan kembali, meneruskan perjalanannya.

“Kau selalu bawa sayur dan buah yang bagus untukku Yoel.” Ucap Pak Daeng, pendatang asal Makasar yang kini mencari nafkah berniaga di Manokwari. Ia tersenyum puas melihat sawi dan mangga yang segar. Yoel pun kaget, ia menerima uang yang jauh lebih besar dari biasanya. “Apa ini tak terlalu banyak Pak? Kau memberiku uang lebih besar kali ini.” kata Yoel, menyodorkan uang Rp 300.000 ke Pak Daeng. “Tidak, tidak, itu untukmu. Anggap saja itu tanda terima kasihku karna kau selalu bawa yang terbaik. Apakah kau ada pekerjaan seminggu lagi? Aku ingin minta bantuan.” tanya Pak Daeng. “Aduh Tuhan…sungguh tak enak kalau aku menolak permintaan Pak Daeng. Ia sudah begitu baik kepadaku. Tapi persiapanku untuk kesana bagaimana?” batin Yoel. Yoel memberanikan diri, ia menggeleng. “Aaa….bagus. Aku mau kau menemani keponakanku untuk ke Jayapura, dengan pelni. Ia akan mengantarkan barang-barangku ke pedagang lain disana. Aku takut ia tak sanggup jika sendiri.” ucap Pak Daeng. Jedaaaaarr!!! Seperti ada petir yang menyambar kepala Yoel. Yoel terpaku, tak bisa berkata-kata. Sejenak ia merasa sudah salah dengar, tapi tidak, ia tidak salah. Yoel terduduk. Ia menangis. “Kau kenapa Yoel? Kau kenapa? Apa tak bisa? Kalau tak bisa biar kucarikan orang lain. Tapi kau ceritakan dulu padaku, kau kenapa?” kata Pak Daeng, mengguncang-guncang tubuh Yoel. “Aku sangat bahagia Pak. Sungguh aku sangat bahagia. Demi Tuhan, sudah ku kumpulkan uang sejak bertahun lalu demi ke Jayapura, menjemput cita-citaku. Oh Tuhaaaaaan…..Terima kasih Tuhaaaan…” jawab Yoel sambil terus menangis. ”Tapi Pak, bolehkah saya membawa seorang teman lagi? Dan..satu lagi. Apa boleh jika keponakan Bapak kutinggal sendiri saat kembali ke sini? Aku hendak menjemput cita-citaku di Jayapura.” ucap Yoel, begitu bersemangat. “Oh tentu, lebih bagus jika ia bisa membantu. Tak masalah, karena ia tidak akan membawa beban apa-apa saat kembali kesini. Kalian hanya mengantarkan saja. Tuhan memang sayang padamu, Yoel. Kuharap kau berhasil. Bersemangatlah!” ucap Pak Daeng, menepuk pundak pemuda itu. Yoel merasa, inilah hari dimana seluruh alam semesta memapahnya, menggunakan kekuatan Tuhan Yang Maha Agung. Kini, ia merasa begitu dekat dengan Jayapura. “Aku datang Jayapura, aku datang!!!”

Yoel berlari-lari menuju pulang. Kakinya terasa begitu kuat. Puluhan kilo beban yang tadi pagi ia pikul tak lagi terasa letihnya. Ia berlari seperti rusa jantan. “Aku harus cepat-cepat bertemu Franky!”

Sa tak bisa lagi Yoel! Apa ko rang dengar? SA TAK BISA KE JAYAPURA!” bentak Franky. Dunia terasa berhenti berputar. Yoel tak percaya yang baru saja ia dengar. “Apa alasan kau berhenti? Kau tahu? Kita sudah begitu dekat Frank! KO RANG SUDAH GILA! KAU TAHU? TUHAN MEMBANTU KITA FRANK! PELNI ITU BUKTINYA! ” ucap Yoel emosi. “Kau tahu? Sa tak bisa menolak keinginan mama. Ia sakit El! SAKIT! Aku ingin ada terus disampingnya! Pergilah El…..pergilah. Pergilah tanpa sa! “ jawab Franky. Tak lama, Yoel jatuh tersungkur, di dorong oleh sahabatnya sendiri. “Pergi ko rang! Jangan terus memaksa sa!” bentak Franky. Kini dua sahabat itu menangis. Yoel bangkit, lalu berdiri memeluk sahabatnya. Franky membutuhkan dukungan. Yoel tahu, jauh di dalam hatinya, Franky masih ingin ke Jayapura, meraih cita-cita mereka. “Kau harus berhasil disana Yoel. KAU HARUS BERHASIL! CERITAKAN PADAKU EMPAT TAHUN LAGI!” kata-kata perpisahan Franky untuk Yoel. Kini, Yoel harus berjuang sendiri. “Lindungilah sahabatku ini ya Tuhan….jaga ia seperti engkau menjaga Mama dan Noel. Jagalah sahabatku ini seperti Kau menjaga Papa di surga.”

Perjalanan di mulai. Memang, perjalanan ke Jayapura ini satu bulan lebih cepat dari sesuatu yang sudah ditunggunya. Yoel membawa satu buah tas besar berisi baju-bajunya yang paling bagus, beberapa lembar kemeja lama dengan celana panjang bahan. Tak lupa ia membawa sepasang sepatu hitam yang sudah dua kali dijahit solnya. Sore harinya, ia sampai di tempat tujuan. Yoel menggulung celananya, mengganti bajunya dengan baju kaos dan memikul kardus-kardus barang. Yoel dan keponakan Pak Daeng bekerja keras hingga subuh. “Terima kasih banyak Yoel, kau sudah membantuku. Ini ada sedikit dari Om Daeng. Terimalah.” ucap Kasim, sambil menyodorkan amplop putih. “Terima kasih sobat. Terima Kasih. Saya pamit untuk pergi ke suatu tempat. Sampaikan terima kasihku untuk Pak Daeng.” ucap Yoel, menerima amplop itu. “Mama, Papa, saya mulai!”

“SELAMAT DATANG DI UNIVERSITAS CENDRAWASIH”

Tibalah Yoel disana, di depan pintu gerbang cita-citanya. Sejenak ia ingin meneteskan air mata, namun hal itu ditahannya. Malulah ia, pria gagah dengan umur kepala dua menangis di tempat umum.  “Oh Tuhaan…terima kasih. Terima Kasih…. Namun kini, apa yang harus kulakukan? Bahkan aku tak punya tempat tinggal…ujian masih beberapa minggu lagi.” batin Yoel. Ia memberanikan diri untuk masuk kesana. Begitu megah. Langkah kakinya terayun pasti, dan matanya menelusuri tiap sudut UNCEN. Ia pun tiba di Gedung Rektorat Universitas Cendrawasih. Yoel berdiri terpaku, ia gemetar. Tak sadar ia berjongkok, meraba rerumputan yang berada di pelataran gedung rektorat, lalu membasuh wajahnya dengan embun-embun yang menempel ditangannya yang kasar. Begitu sejuk!

Yoel melanjutkan perjalanannya. Kini hanya satu hal yang mengganjal di dalam hatinya, dimana ia akan tinggal untuk beberapa minggu kemudian? Ia pun duduk tak jauh dari Museum Loka Budaya Universitas Cendrawasih, bingung.  “Kenapa Kau terlihat bingung Nak?” tanya seorang pria beruban dengan senyum yang ramah. “Hah….oh…iya Bapak, sa bingung…saya bingung.” jawab Yoel. Cerita itu meluncur dari mulut Yoel. Bapak itu, Pak Soko namanya, takjub tak bisa berkata-kata. Pak Soko tak habis pikir, pria seperti Yoel bisa melanjutkan kuliah ditengah kondisi bahkan dimana orang di desanya masih banyak memakai holim. “Kau tinggal saja di museum bersamaku nak, kalau kau mau. Sebab aku hanya sendiri mengurus koleksi museum, temanku sedang cuti. Jika kau mau, aku akan meminta izin agar kau dapat tinggal sementara disana. Bagaimana?” tawar Pak Soko antusias.  Yoel mengangguk cepat, menyambut tangan ajaib lain yang menolongnya. “Ma….Pa….Yoel sungguh beruntung. Terima Kasih Tuhan!”

Universitas Cendrawasih adalah kampus pertama yang mempunyai museum budaya.  Tak hanya itu, museum ini juga memiliki sejarah yang unik. Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, adalah salah satu orang yang berpengaruh pada berdirinya museum ini, meski tak bersentuhan langsung. Kedatangan Rockefeller ke Agats awalnya hanya untuk membuat film, namun ia begitu tertarik pada patung Asmat  dan berniat untuk membawa beberapa agar bisa dipamerkan di Museum of Primitive Art, New York, Amerika Serikat.

Namun, kenaasan menimpa Rockefeller. Perahu yang ditumpanginya bersama seluruh awak terbalik saat menyebrangi bibir Sungai Betsj. Rockefeller tewas tak terselamatkan. Akhirnya patung-patung yang semula hendak dipamerkan justru ditinggal di Papua.

Ide untuk membuat museum muncul sejak tahun 1974. Namun baru tujuh tahun kemudian museum resmi dibuka. Koleksi-koleksi benda-benda berharga dikumpulkan di tahun-tahun ini, sampai sekitar tahun 1985, ketika museum masih dibiayai oleh Rockefeller Foundation.

Pada tahun 1981 museum diserahterimakan dari Rockefeller Foundation kepada Rektorat UNCEN. Awalnya museum berdiri sebagai lembaga di kampus, namun kini telah menjadi Unit Pelaksana Teknis. Saat ini tercatat sekitar 1.300 benda koleksi tersimpan disini.

Yoel begitu bersemangat membantu Pak Soko. Setiap pagi sekali ia gigih membersihkan beragam koleksi museum mulai dari kapak batu, perahu, dayung untuk mencari ikan, patung-patung, peralatan untuk pemujaan roh,hingga lukisan kulit kayu.  Tidak hanya itu, Yoel juga  melayani kolektor dan turis yang sering berdatangan untuk berburu benda-benda antik yang dijual pada toko benda seni atau art shop yang masih ada di lingkungan museum. “Papa…lihat Yoel, Pa. Sekarang sa sudah mahir berbahasa Indonesia Pa, sa juga sudah bisa berbahasa Inggris. Ini untukmu Pa, untukmu…..Mama, kelak akan kuceritakan hal ini padamu Ma…..”

Pengawas berkeliling, mendelik ke arah setiap gerakan yang  mencurigakan. Yoel sangat tenang. Dalam imajinasinya, ia memindahkan dirinya ke dalam honai di desa. Ruang ujian terasa begitu tenang baginya. Sinar lampu putih itu dianggapnya nyala api lampu minyak. Suara mahasiswa yang lalu lalang dianggapnya suara kong kong dari kodok. Hingga pada akhirnya, ia menyelesaikannya. Meskipun bukan yang pertama, Yoel percaya diri menggenggam pensilnya. Ia optimis.

“Bagaimana ujianmu El?” tanya Pak Viktor, rekan Pak Soko yang telah kembali dari cutinya. “Saya mengerjakannya dengan baik Pak. Mudah-mudahan saya bisa masuk ke fakultas yang saya inginkan…” jawab Yoel sambil mengupas ipere  kukus di malam yang dingin itu. “Apa kau sudah menyiapkan uang kuliahnya El?” sambar Pak Soko yang sedari tadi sibuk menyeruput kopinya. Sejenak Yoel terdiam, lalu menarik napasnya dalam-dalam. “Saya hanya punya Rp. 4.000.000 Pak.  Sisanya belum ada. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga Pak. Saya akan bekerja keras.” jawab Yoel sambil mendongak, melihat lampu putih yang cahayanya mengingatkannya pada sinar rembulan yang selalu menemaninya belajar di honai. Pak Viktor yang baru dua hari itu kembali bekerja,  terkagum-kagum dengan tekad Yoel. Ketika Yoel berbicara, orang tua itu menyimak baik-baik perkatan Yoel. “Bapak harap kau berhasil nak. Jalanmu masih panjang. Bersemangatlah!” ucap Pak Viktor sambil menepuk-nepuk pundak Yoel. Kedua orang tua itu kini menjadi keluarga baru Yoel, yang menyemangatinya, menguatkan tekadnya untuk kuliah. Bukan hanya memberi pengetahuan tentang UNCEN, mereka mendengarkan dan memberi nasihat. “Pa….lihatlah. Tuhan mengirim dirimu kembali lewat mereka. Mereka menyayangi Yoel, Pa.. Apa kabarmu disana Pa? Setiap kali bersama mereka, sa teringat dirimu Pa….baik-baiklah disana Pa, akan kukerahkan segala kekuatanku untuk mewujudkan ini Pa. Aku berjanji.”

“Kaka Yoel! Akhirnya kita bertemu!” sapa gadis itu. “Greta! Ah….sudah lama ya. Apa kabar?” sapa Yoel kaget karena tiba-tiba gadis itu sudah ada di sampingnya yang sedang menatap papan pengumuman. “Kaka mencari apa?” tanya Greta. “Saya mencari pengumuman ujian….Memang bukan hari ini, tapi tak sabar!” jawab Yoel ceria. “Eh tapi ngomong-ngomong saya menepati janji kan? Kita sudah bertemu di UNCEN sekarang. Taraaraaaa” canda Yoel sambil tertawa. Kedua sahabat ini lalu bertukar cerita, diselingi gelak tawa. Gadis ini sudah semakin cantik sekarang. Rambutnya yang hitam semakin indah. Senyum dengan lesung pipi itu masih menawan seperti dulu. Kacamata yang sekarang membingkai matanya tidak mengurangi keindahan wajahnya. Greta kini  pindah ke Jayapura, dan berniat kuliah di Universitas Cendrawasih, sesuai permintaan ayahnya yang sudah lebih dulu  pindah ke Papua karena pekerjaan. “Aku kagum sekarang Kaka sudah lancar berbahasa Indonesia.” ucap Greta sambil membenarkan kaca matanya. “Of course Lady, because I want to fulfill my promise to you. I learned Bahasa since the day I met with You and now I’m learning other language.” jawab Yoel mempraktekkan Bahasa Inggrisnya. Kemudian kedua sahabat itu tertawa , dan Greta merasa kagum akan perubahan pada diri Yoel. Kini mereka mempunyai sahabat dari berbagai daerah, bahkan ada dari Australia dan Selandia Baru.

  1. YOEL DAMIANUS (567) LULUS UJIAN

“Saya luluuuuuuuus! Papa! Mama!” teriak Yoel bersama dengan sebagian calon mahasiswa di depan papan pengumuman. Sebagian lagi meratapi ketidak lulusannya dalam ujian dengan wajah yang sedih. Yoel dan Greta sama-sama lulus, walaupun mereka masuk ke dalam fakultas yang berbeda. Yoel bersimpuh tak jauh dari papan pengumuman dan bersyukur, bahwa ia baru saja  melewati satu tahap, bahwa ia berhasil menjadi orang pertama dari desanya yang kuliah. Ia pun bergegas ke dalam kamarnya bersama Pak Soko dan Pak Viktor. Dua orang tua itu tidak ada disana, dan ia pun mengambil secarik kertas dan duduk di meja.

Beberapa hari kemudian di honai..

Mama, apa kabarmu sekarang? Apakah Mama dan Noel sudah makan? Disini tiada hari sa tak merindukan Mama dan Noel. Sa begitu merindukan kalian, sa merindukan ikan kuah kuning buatan Mama, sa merindukan honai kita, dan sa merindukan desa dengan segala sayur-sayuran dan buah-buahannya. Betapa sa rindu memikul itu semua Ma. Sa rindu senyum Mama dan tawa Noel…….rindu…sangat rindu.

Terima kasih banyak atas doa Mama. Kini sa sudah lulus ujian dan bisa menjadi mahasiswa Universitas Cendrawasih. Sa berhasil Ma, berhasil! Ini baru permulaan dalam langkah Yoel. Yoel berharap Mama mengerti mungkin saja Yoel hanya pulang satu tahun sekali. Yoel harus bekerja keras disini, Ma. Yoel ingin mewujudkan impian Papa, impian Mama, impian kita semua. Disini ada banyak orang yang begitu baik dengan Yoel. Namanya Pak Soko dan Pak Viktor. Mereka mau berbagi kamar untuk tempat tinggal Yoel sementara. Sungguh menyenangkan tinggal bersama mereka sambil membantu membersihkan patung-patung museum Universitas Cendrawasih. Sekarang, Yoel sudah lancar berbahasa Indonesia dan Inggris Ma! Hebat toh?

Hari Senin pertama di Bulan September akan diadakan pelantikan mahasiswa baru Ma. Sebenarnya Yoel malu karena mungkin saja Yoel yang paling tua. Namun Yoel percaya diri, demi Papa, dan Mama. Ketahuilah, Mama dan Papa berada di lapisan terluar kulit kening Yoel, selamanya.

Rindu tak terbendung dari Jayapura,

Yoel Damianus.

Mama Elsa tak dapat membendung kebahagiaannya. Kini surat itu penuh dengan titikan air mata. Mama Elsa meletakkan  surat itu di dadanya, merasakan rindu anaknya dari Jayapura. Lalu kemudian, ia teringat dengan amplop putih yang ditinggalkan Yoel di bawah tempat sagu, bertuliskan “Untuk Mama”. Dihapusnya air mata itu dan kemudian surat itu ia masukkan ke dalam amplopnya lagi. Mama Elsa bergegas ke sana, matanya bersinar menuju tempat penyimpanan sagu.

Detik-detik menuju pelantikan calon mahasiswa sesuai fakultas. Yoel, bersama ratusan mahasiswa baru dari berbagai Indonesia berdiri di ruangan yang sangat besar dengan kursi yang bertingkat-tingkat di masing-masing sisi tembok. Mereka berbaris sesuai jurusan masing-masing. Ruangan itu penuh dengan senyum yang merekah. Yoel memakai baju paling bagus yang ia miliki, kemeja krem milik ayahnya, celana bahan hitam dan sepatu hitam yang solnya sudah dua kali dijahit.  Kali ini ia mencukur habis rambutnya yang kemarin sudah mulai memanjang keriting. Ia berkali-kali mencuci wajahnya. Pak Soko pun menyemprotkan sisa minyak wangi miliknya ke kemeja Yoel tadi pagi. “Ah….tampan sekali Saya ini.”

“Selanjutnya….Wangunsong Martius. Silahkan maju kedepan…..”

Suara itu bergema di seluruh penjuru ruangan. Gilirannya semakin dekat. Semua orang bertepuk tangan menyambut teman satu  fakultasnya itu. Dekan fakultas menyerahkan almamater Universitas Cendrawasih, kemudian bersalaman.

“Selanjutnya….…..”

MC berhenti berbicara karena seorang wanita berlari kearahnya dan berbisik sesuatu. MC mengangguk lalu tersenyum. “Baiklah, saudara-saudara sekalian. Nampaknya ada sedikit perubahan acara. Akan ada seseorang yang berpengaruh di Universitas Cendrawasih yang sejenak akan mengisi. Kepada Bapak Pembantu Rektor 1, saya persilahkan.” ucap MC.  Sejenak ruangan itu berisik, penasaran apa yang telah terjadi. Namun begitu kagetnya Yoel, ketika Pak Viktor naik ke atas panggung. Kini beliau memakai pakaian resmi yang begitu rapi, dengan almamater UNCEN, tidak seperti yang dikenalnya di museum, selalu berkaos lusuh.

“Selamat Pagi calon Mahasiswa Universitas Cendrawasih. Izinkan saya untuk memperkenalkan seorang mahasiswa yang begitu luar biasa. Dia datang dari sebuah desa yang jauh, dan untuk kesini dia menabung, bertahun-tahun ia berjalan puluhan kilometer sambil memikul sayur-sayuran dan buah-buahan. Tekadnya patut kita hargai, semangatnya patut kita tiru. Sesuai keputusan, ia akan mendapat beasiswa penuh sampai sarjana. Mari kita sambut, Yoel Damianus!” ucap Pak Viktor sambil bertepuk tangan. Yoel yang sedari tadi tercengang, didorong-dorong oleh teman-teman satu jurusannya. Dan kini ia melangkah naik ke atas panggung, lalu menyalami Pak Viktor. “Dan satu lagi. Kali ini bukan saya yang akan memasangkan almamater untukmu, Yoel. Seseorang, masuklah.” ucap Pak Viktor. Mama Elsa secara mengejutkan keluar dari balik panggung sambil menggandeng Noel. Yoel pun segera berlari memeluk mamanya dan Noel. Tepuk tangan riuh memenuhi segala penjuru ruangan, tak henti-hentinya. Kemudian, Pak Viktor memberi sebuah jaket almamater kepada Mama Elsa. “Lihat apa yang ada ditangan Mama, anakku. Pakailah ini, hasil kerja keras ko rang.” ucap Mama Elsa yang terdengar lewat microphone. Sekali lagi tepuk tangan riuh memenuhi ruangan, bahkan sebagian calon mahasiswi menangis. Yoel pun memeluk erat Mamanya dan Noel…

***

Tumbuh, tumbuhlah anakku….Raihlah cita-citamu…

Jangan pernah engkau ragu,sayang….

Doaku selalu bersamamu…membuat aman dihidupmu,selamanya……

Yoel menyanyikan pelan lagu berjudul Anakku yang dipopulerkan oleh Vina Panduwinata. Kini Rachel sudah terlelap dalam belaiannya. Seseorang membuka pintu dan tersenyum, lalu mematikan lampu. Yoel menyelimuti putri cantiknya dan menghampiri sosok di ambang pintu itu. “Kukira kau sudah tidur Greta.” ucap Yoel lalu mengecup lembut kening istri terkasihnya itu. Saat menuju ruang kerja, langkahnya terhenti di depan sebuah foto dalam bingkai, Yoel menatap dirinya memakai toga.  “Papa, Mama, bahagiakah disurga?”

Jakarta, ditulis dalam keheningan malam. 

Somya Cantika Suri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun