Mohon tunggu...
Somya Cantika Suri
Somya Cantika Suri Mohon Tunggu... -

Penyuka buku, musik, dan ketenangan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sa Pu Cita-Cita (Saya Punya Cita-Cita)

13 Oktober 2015   15:12 Diperbarui: 13 Oktober 2015   15:18 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika di teliti ke belakang, berkurangnya jumlah pengguna holim itu terkait dengan kebijakan pemerintah Papua hingga masa Orde Baru. Holim dianggap sebagai simbol kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Papua. Koteka dinilai bukan pakaian. Pria-pria yang memakai koteka dipandang sebagai orang yang tidak beradab, karena telanjang. Padahal, kata koteka berasal dari salah satu suku di Paniai, yang artinya pakaian. Namun, cara dan pandangan hidup mereka harus selalu dihargai. Mereka pelestari kebudayaan lokal Papua sepanjang masa.

Setelah berjalan puluhan kilometer, mereka pun  tiba di desa, jam makan siang sudah lewat. Mereka pun berpisah menuju honai masing-masing. Matahari sudah berada diatas kepala, terasa membakar sisa rambut Yoel yang dicukur botak. Aroma itu datang lagi, namun kini Mama Elsa, ibu Yoel lah yang memasaknya. “He……sudah pulang kau El. Makan sini Nak. Ada ikan dua ekor dari Mama Jess, Mama masak kuning.  Masih ada papeda lebih dari hasil sokokan sagu kemarin. Makanlah.” kata Mama Elsa. Tanpa menunggu waktu lama, Yoel sudah memegang sepiring papeda dan ikan kuah kuning di piring lainnya. “Mama pasti bekerja keras menyokok sagu sendiri semenjak Papa meninggal….” batin Yoel sambil menatap piring papedanya. Ia pun menyeruput papedanya perlahan, sambil sesekali melirik Mama yang sedang menjahit baju adiknya, Noel, yang baru berumur 3 tahun.

Selesai menandaskan sepiring santap siang yang nikmat, Yoel bergegas ke sungai. Ia membawa dua buah tempat air yang kosong dan bambu sebagai alat pikulnya. Dengan sandal jepitnya yang usang, Ia menyusuri ratusan meter melewati semak pakis tua jika ingin bertemu dengan sumber kehidupan itu. Sungai yang airnya jernih, mengalir menyusuri setiap desa kecil, seolah menyampaikan kasih untuk setiap masyarakat. Kesegaran airnya, mampu menyejukkan dahaga, membuat pakaian yang kotor menjadi bersih, membasahi tanah dengan bibit ipere, dan mampu memuaskan dahaga ternak-ternak domba atau babi milik warga.

Namun…..aliran air yang tenang itu kembali mengingatkan Yoel pada peristiwa itu, satu tahun silam.. Kesedihan kini membuat  aliran sungai itu berpindah ke pelupuk mata Yoel.

Ayah Yoel adalah salah satu pendulang emas di sepanjang Sungai Aghawagong yang menjadi aliran pembuangan tailing PT Freeport Indonesia (PT FI). Tailing adalah limbah pertambangan, yang kini menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakat  Papua. Dalam sehari, mereka  bisa mendapat jutaan rupiah dari hasil mendulang emas dalam tailing. Bahkan, sebagian masyarakat rela turun gunung, berjalan puluhan kilo untuk bertemu tailing.

“Aku sudah ketemu batu granit kemarin, jadi besok pasti kudapat emas!” kata Fransiskus, ayah Yoel, sehari sebelum kejadian itu. “Tapi sungai sedang meluap, Kau bisa mati Frans!” jawab Mama Elsa, khawatir melihat suaminya yang gegabah. “Itu batu penanda Elsa! Penanda! Tak akan kubiarkan emas itu hanyut begitu saja! Akan aku bawa uang banyak untuk kau, Yoel, dan Noel!” ucapnya sambil meninggalkan honai. Mama Elsa tidak menyangka, itulah yang menjadi kalimat terakhir suaminya. Luapan sungai yang tiba-tiba menghanyutkan tubuh Fransiskus. Ia ditemukan di dekat hulu sungai terjepit diantara bebatuan besar, tak bernyawa.

“Seandainya kau tak disana Papa…..” batin Yoel, tak sadar bahwa kakinya sudah kedinginan terendam air sungai. Kini ia semakin mantap untuk “kesana”, menjemput masa depan yang lebih baik. “Ko rang harus membuat ku bangga suatu saat nanti, Yoel. Angkatlah derajat dirimu.. Aku tak ingin kau mabuk-mabukan seperti aku, aku tak ingin kakimu keriput berendam seharian untuk butir-butir emas. Jika kau bertanya padaku, siapa orang  yang tak pantas kau tiru, akan kujawab akulah orangnya. Emas itu kutukan bagi kita, Yoel. Aku tak ingin suatu saat kau jadi meno-meno yang tidur di selokan, menghabiskan puluhan juta dalam semalam dari hasil jual emas-emas itu.  Kau harus jadi orang pintar, Nak.” Yoel ingat persis kalimat-kalimat itu, meluncur dari mulut Papa beberapa hari sebelum luapan sungai menelan nyawanya. Kini, Fransiskus dan Elsa berada di lapisan pertama kulit keningnya. Saat ia mengangkat goni berisi puluhan kilo langsat, mengangkat jerigen-jerigen air, dan saat godaan meno-meno (panggilan akrab bermakna sobat) untuk mabuk-mabukan atau ke Kilo 10 ( lokalisasi di Timika), wajah Fransiskus dan Elsa selalu ada di pikirannya membentengi tekad mencapai cita-cita. “Jika mereka menuju kemunduran, maka sa harus maju!”

Cahaya itu lembut menerangi barisan kalimat-kalimat dalam buku Bahasa Indonesia. Seakan cemburu pada lampu minyak, bulan purnama ikut meneranginya. Alam semesta mendukung Yoel, nyaris tak ada suara ribut orang atau suara berisik binatang. Hanya sesekali suara kong- kong dari kodok dan krik-krik dari si jangkrik. Suasana begitu dingin, damai melindungi Yoel. Pemuda ini tak patah arang melancarkan Bahasa Indonesianya. Ia terus berlatih mengucapkan “saya”, ketika ia terbiasa hanya mengucap “sa”. Ia berulang kali mengucapkan “kita”, bukan “kitong”.  Tiba-tiba ia teringat seseorang. ”Nanti kita bertemu disana ya. Jangan buat aku kecewa Kaka Yoel!” senyum manisnya membayang di ujung mata Yoel. Semangatnya terus terpompa, tak perduli asap lampu minyak membaui hidungnya. “Tunggu saya Greta!”

Musik begitu riuh. Cuku lele dan gitar begitu menghibur, ditambah kemeriahan suara kalabasa, alat musik yang terbuat dari labu yang dikeringkan lalu diisi dengan manik-manik. Para pemuda menggoyang-goyangkan kalabasa, menyemarakkan malam sambil menyanyikan lagu dari album Sio Firumo, band asli anak-anak Papua. Kemeriahan yang sederhana ini adalah salah satu pengiring dari tarian Yosim Pancar atau kerap disingkat Yospan. Yospan adalah satu dari sekian banyak tarian pergaulan asli Papua. Yospan berasal dari dua daerah, yaitu Biak dan Yapen-Waropen. Pada mulanya, Yospan bukanlah tarian yang utuh melainkan berasal dari dua tarian yang berbeda, yaitu yosim dan pancar yang kemudian menjadi satu.

Disanalah mereka bertemu. Di tengah-tengah menonton yospan Yoel melihat seorang gadis diseberang tempat ia berdiri. Rambutnya hitam seperti minyak kemiri, berkilat-kilat terkena sinar lampu yang menambah keindahannya. Kulitnya putih bersih bak daging buah pala, nyaris  tanpa cela. Iris matanya bak belanga  tinta, begitu hitam mempesona. Dan yang paling menawan, Tuhan ciptakan lesung pipi yang melekuk sempurna saat tawanya tergelak. “Gadis Bugis. Ya, Dia pasti gadis Bugis yang banyak datang kesini karena orang tuanya terkait pembangunan di Papua. Sa harus ajak ia bicara!” batin Yoel.

Keberanian yang Yoel kumpulkan tak sia-sia. Gadis itu, Greta, begitu ramah. Ia mengaku sedang liburan semester di Papua. Liburan ke Raja Ampat sebagai hadiah keberhasilannya meraih juara pararel. Kini Greta menginjak kelas XII SMA di sekolah dekat Kota Makasar. “Apa sa bilang……Gadis Bugis!” batin Yoel. Kemeriahan yosim pancar terus berlanjut, seperti halnya perbincangan akrab pemuda-pemudi ini. Saat perbincangan berlangsung, Greta terlihat menahan tawanya, hingga akhirnya ia tergelak. Matanya yang menyipit saat tertawa, terlihat manis sekali. “Kenapa ko rang  tertawa? Sa kan tak melucu toh?” kata Yoel sambil ikut tertawa. “Aku tertawa karna kaka suka menyingkat kata-kata. Kita punya tujuan yang sama kan? Aku boleh kasih saran?” tanya Greta. Yoel mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kaka harus belajar Bahasa Indonesia lebih baik lagi. Kaka  masih punya waktu sebelum kita kesana. Ayo kak, kaka pasti bisa. Semangat!” sambung Greta sambil mengguncang tangan Yoel. “Oh Tuhaaaaaannn tangannya lembut sekali.” batin Yoel. “Baiklah Greta, sa eh… saya, akan belajar lebih giat! Ko rang eh...Kamu juga ya!” ucap Yoel, sedikit terbata-bata. Lalu gelak tawa meriuhkan suasana tarian itu.  Persahabatan antara amber (sebutan untuk pendatang berambut lurus) dan komin (orang asli Papua yang berambut keriting). Persahabatan yang mematahkan anggapan bahwa warna kulit dan budaya bukanlah halangan, bukan berarti tombak harus melayang atau otot harus tegang. Kita semua bersahabat, Satu Nusa Satu Bangsa. Kalau ada cinta, itu beda lagi toh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun