Â
malam baru saja menyelinap
di antara ranting pepohonan dan dedaun rimbun
bulan masih sangat tipis
ngeredup tubuhku yang gemelegut.
Â
aku merajut sunyi di bilik malam
memeras peluh yang bersejajar dengan angin
memenuh wajah
aku  sempat terisak, perlahan Â
Â
barisan doa yang menerobos langit
menghampiriku-kembali Â
mengerat tubuhku
yang lusuh.
Â
aku hanya menyimak hempasan asap
yang meraung
ada butir-butir takbir terlempar di secangkir kopi
ketika asap saling berhempasan
kami menghampar harap agar malam lebaran menyisakan kupat.
Â
kau datang lalu meramaikan sunyi
sehingga ruangan menjadi sesak oleh hening
mataku masih terpejam mengoyak kabut
hingga kutemukan tanah lapang
tak tampak kehidupan di perbatasan mataku
hanya kelebat buram  yang mengendap.
Â
Â
ketika jiwaku direngkuh embun
kau masih menghisap rempah tembakau
padahal aku tak habis-habis meniris keringat
mencumbu gelap yang tak lekas temerang
sesekali tubuhku merekat pada angin yang lembut berhembus
mengembara.
Â
surau ini mirip pesanggrahan para wali
sawah membentang di sisi kanan
cendana berbaris di sisi kiri
petuahmu ditangkap angin yang sempat singgah
kepul asap tembakau merubung ruang
memenuh kursi-kursi kosong
tempat kami melipat kaki.
Â
kau menyeruput kopi lalu terdiam
hening mencengkeram hati-hati kami
senyum yang biasa kau sembunyikan
sempat kau lempar melalui mantra-mantra
sehingga mengena tubuh-tubuh yang meruntuh.
Â
malam terus berzikir
membumbung membelah langit
Â
kau bercerita tentang ruh saat merangkak tujuh hari
lalu terjun tujuh malam
di hamparan, cahaya itu melibas pekat
jutaan mahluk  menatap mu.
Â
Ia tersenyum pada hatimu
mengulurkan tangan
menghujam seuntai kitab suci
lalu gemerlap pecah , lenyap
Â
kini fajar  merunduk
meraih pesanmu
untuk mengirim bait-bait syair kepada Tuhan.
Â
Metro, 26 mei  2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H