"Dari Broken home mengajarkan Aku, apa artinya Menerima tanpa Harus Menuntut. Dan menjadikan takdir untuk semangat masa depan Ku"
RIFAD ACHMAD
***
Kudengar kasus perceraian sangat marak belakangan ini, kadang kalanya mereka saling berebut ingin mendapatkan hak asuh sang anak dengan Dalil mereka akan hidup enak dengan sang Ibu karena ikatan hati sang Ibu lebih kuat dari Ayah, belum lagi jika sang ayah yang mendapat kan hak asuh hanya spekulasi yang merebak mengecap sang ayah perebut kebahagian sang anak. Ku baca berulang-ulang berita yang ku baca melalui beberapa surat kabar di ponsel pintar Ku, otak umur 17 tahun ku mencerna bait demi bait bacaan itu yang mungkin aku sendiri mengalaminya.
Aku lahir begitu kedua orang tua ku masih berkabut nya begitu anak pertama mereka meninggal Lantara keguguran, disusul aku yang 8 bulan muncul di rahim Ibu, kata Nenek Uminah Pihak Ayah. Ayah ku memang seorang yang tangguh dia pendiam dan berkemauan keras.Â
Sedangkan ibuku salah seorang perempuan yang cantik, pemalu dan lembut hatinya. Ketika aku lahir dan genap di usia ku yang menginjak tiga tahun, perceraian itu sudah tak terelakan.Â
Kisah cinta Ibu dan pacarnya di masa lampau membuat mereka menjalin hubungan kembali, Ayah marah mendengar Ucapan Ibu yang  sudah tak sanggup melanjutkan rumah tangga mereka, berdiskusi dengan sang Istri mantan kekasih Ibu. mereka memang sudah menjalin kedekatan lama. Ayah memutuskan bercerai sesuai kemauan sang Ibu, dan tinggallah aku bersama Ibu.
Pernah sekali Aku datang dan tinggal bersama Ayah, hidup ku bahagia ada Tante Lea yang selalu membimbing ku, mengajari ku menulis dan banyak Hal. Â
Namun bertepatan idul Fitri Ibu datang dengan menangis' menghampiri Rumah Ayah dan kala itu Usiaku sudah tujuh tahun, ayah memilih melepaskan aku lantaran tak tega pada Ibu yang sudah menunggu dengan tangis aku kembali tinggal bersama Ibu.
Sudah genap usia ku untuk menganyam pendidikan, begitupula Ibu Ku beliau sudah memiliki anak yang mana hasil pernikahan dengan suami barunya.Â
Aku tinggal bersama Nenek Ku dari Ibu, beberapa bulan Nenek dari Ayah datang memberi keperluan ku hal itu dilakukannya secara berulang-ulang. Ayah tak pernah datang ke rumah merasa malu telah gagal membina rumah tangganya, sesekali saat pulang SD beliau menjemput ku dan mengajak ku berkeliling. Â
Dan pulang nya Nenek Uminah yang mengantarkan ku pulang. Ibu menitipkan ku pada Nenek begitu dirinya pindah rumah dan susah mengurus anaknya yang semakin bertambah dengan ekonomi yang pas pasan.
"Rifad Keluar lah makan malam dulu Nak" ujar kakekku dengan suara keras, wajahnya mengeriput begitu aku menatap nya lamat-lamat. Usianya sudah tak lagi muda seperti dulu aku di gendong nya menyusuri lapangan bola.
"Besok sekolah kan? Gimana dapat kelas unggulan lagi Gak Ya?" ujar kakek bahagia, sedangkan Nenek Dia hanya mendengus kesal menatap kakek yang tak sabaran dengan pembagian kelas Ku esok nanti.
"Kelas Unggulan dong Kan cucu Nenek Pintar!" Ujarnya dengan bangga. Kakek mendengus sebal.
"Yang baik itu Kakek, kalo yang jelek itu turunan Nenek" kekeh Kakek. Nenek yang kesal menepuk bahunya kesal. Aku terkekeh melihat dua sejoli yang sudah tua renta.
"Mau kuliah apa Gimana? Katanya Si Anton mau ke Politeknik" ujar nenek. Aku terdiam.
"Yah seterah Aja Nek. Kalo Kuliah nya di luar kota boleh?" Tanya Ku.
"Yah seterah. Alangkah lebih baiknya yah disini biar Deket Hemat lagi" ujar nenek. Aku mengiyakan sebelum benar-benar menghabiskan makan malamku.
"Masih satu tahun lagi, udah kamu fokus SMA dulu. Jalani yang di depan bertahap" titah kakek dan Nenek Ima hanya bisa diam.
**
Esok ini jadwal pertama kali aku berangkat setelah libur panjang kenaikan kelas, aku gemar mempelajari Ilmu Biologi. Ingin rasanya sehabis SMA ingin mengambil kuliah Jurusan Filsafat atau Farmasi ah mungkin Pesikolog Cocok untuk ku, sedangkan Anton teman sejawat ku memilih dunia teknik dan mungkin akan melanjutkan studi Ke Politeknik.
Dari gerabang berlawanan mataku menelusup pemuda seusia ku, yang mana tengah mengenakan motor Satria Fu keluaran terbaru bila sekali lirik dua gadis langsung terlampaui. Kami yang datang dengan Omprengan bisa apa jika harus bersaing dengan motor mahal. Pikirku dalam hati.
Kebiasaan pagi hari jadwal piket ku sebagai ketua kelas mengambil absensi di bagian Konseling, di pojok gudang sekolah terlihat salah satu siswa yang ku kenal Si Aris pemuda pemilik motor baru itu, tengah berusaha mengambil barang dari tas miliknya.Â
Satu bungkus sabu-sabu dan beberapa ganja yang sudah kering berhasil di buat lintingan rokok dan menghisapnya begitu api yang dirinya nyalakan membakar ujung lintingan itu. Mata nya terpejam menikmati hembusan asap yang masuk kedalam kerongkongan nya.
"Aris...Sadar Woiiiii!!" ujar ku dari belakang. Aris tersenyum kesadaran perlahan mengikis pelan.
"Rokok Mau!" Ujarnya melantur.
"Ar bangun, Stop Yok Ke BK" aku mengajaknya dengan marah dia mendorong ku. Rasanya tak enak jika harus berkelahi hanya karena masalah sepele.
"Jangan Ngatur deh. Sapa Kau, Hidup Kau hidup Kau. Hidup Ku hidup Ku. Enyah lah!" Teriak nya.
"Aku akan melapor ke BK. Jika kau tak membuang barang Haram itu" ancam ku. Dia hanya tersenyum hambar. Nyatanya efek obat itu sudah mengancam psikisnya. Tubuh jakun itu limbung kesadaran nya sudah hilang, aku yang panik memilih membakar dan menutupi sisa Barang Haram itu. Agar tak menyisahkan bekas. keberuntungan masih berpihak padaku salah satu petugas PMR datang dan membantu Ku memapahnya ke dalam UKS.
"Sudah sadar Heh!" Ujar ku begitu tanda tanda Aris sadar sudah terlihat.
"Dimana? Kenapa di UKS" jawabnya.
"Kau tadi habis meng ganja! Stop lah Ar, gak ada Gunanya" ujar ku. Dia hanya tertawa.
"Kau tak Tahu Aku, Kau siswa paling Pintar di sekolah ini. Bukan hanya pacar Ku saja yang berpindah hati, orang tua ku selalu membandingkan dirimu dengan diriku. Sebenarnya anak siapa aku hah! Kau beruntung sekali Rifad!" Ucapnya menepuk bahu ku keras. Dia tersenyum seperti orang habis kesadaran nya.
"Tahu apa Kau hidup Ku?" Tanya ku.
"Yang Ku lihat hanya kesempurnaan Mu. Tidak ada Cela untuk orang lain mengatakan keburukan Mu. Meski aku tahu latar keluarga Mu yang mengenaskan Itu!" Lirihnya.
"Begitupun Aku memandang Mu! kau sempurna dimata siswa lainnya. Orang tua yang berbahagia. Kemewahan dan kau si anak kebanggan Ayah Mu!" Ujarku.
"Omong kosong Semua! mereka hanya butuh Citra pujian semata. Kami keluarga tapi bukan keluarga, kami hidup dalam satu atap tapi kami tidak bersama, kami berkumpul tapi hanya diam! Dimana letak kebahagiaan keluarga yang mereka anggap bahagia" Ujar nya.
"Mana yang ku sebut aku anak kebanggan. Cih, orang tua ku bermuka dua. Mereka tak lebih selalu menjadikan ku kelinci pencitraan mereka! Muak rasanya!" Kekehnya memejamkan mata.
"Kapan kau akan berubah?" Tanya ku.
"Setelah mereka bercerai, buat apa hidup dalam satu rumah tapi pertengkaran selalu terjadi. Apakah kau setuju dengan pendapat ku" Aris melanjutkan curhatan hatinya. Aku menggelengkan kepala.
"Bagaimanapun mereka berdua mempertahankan hubungan itu karena kau, dan kau tak pernah merasakan macam mana keluarga Broken Home. Aku saja yang begini masih mengimpikan keluarga yang utuh" titah ku. Dia terdiam.
"Karena ku pintar banyak orang disekeliling mu yang memahami Kamu, sedangkan Ku!" Ujarnya.
"Bergabung lah dengan Ku, Jika kau mau akan aku bantu kau untuk datang Ke Panti Rehabilitasi. Dan tak akan aku beritahukan guru BK jika kau mau berubah!" Ajak ku. Dia mengangguk an kepala.
"Sejak kapan Kau mengkonsumsi obat Itu!" Tanya ku.
"Sejak mereka bertentangkar, sejak ayah ibuku sibuk dengan Pencitraan nya di muka publik. Dan sejak aku bertemu dengan Gerombolan anak anak Pub itu!" Jujurnya.
"Perbaiki diri Mu, jika perlu Bantuan datang lah. Setidaknya ada aku yang mau berbagi pengalaman Untuk Mu!" Ujarku meninggalkan Aris. Pemuda itu menangguk entah merasa malu, atau bangkit dari keterpurukannya.
Selepas itu kami berusahabat, Aris berubah dengan perubahan baiknya. Dan keluarganya sudah lebih baik. kata terakhir yang aku dengar, Aris akan melanjutkan studinya ke Luar Kota mungkin menimba ilmu agama. Sudah hampir mendekati UNBK Aris tak muncul, sekali muncul itupun saat kegiatan Istighosah menyambut ujian.
tertulis perintah untuk memohon maaf kepada Ayah dan Ibu, agar di beri Restu kemudahan untuk mengikuti UNBK dan mendengar perintah itu pikiran ku berkelana Sudah hampir satu tahun Ayah tak pernah mengabariku, ku dengar mereka sekeluarga sudah pindah. Sedangkan Ibu ku tinggal Dimana saja aku tak tahu, yang jelas beliau sudah jauh dari kota ini.Â
Yang ku dengar Ayah masih betah melajang, seolah terauma dengan masa lalu nya. Dari dulu Nenek Ima tak pernah bertandang ke rumah Ayah ku, jika aku ke rumah Ayah beliau meminta Om Tion yang mengantar kan aku kesana, apakah semalu itu Nenek dengan kelakuan Ibu hingga tak memiliki Muka datang bersilaturahim.
Kutulis bait demi bait kata teruntuk Ayah dan Ibuku.Â
Teruntuk:
 ayah dan Ibu
Terimakasih sudah mengahdirkan aku di dunia ini, dengan limpah kasih mu seperti Tuhan menyayangi Ku. Mungkin jika tanpa kalian aku tak akan ada dan bisa tumbuh sebesar ini, serta dikenal menjadi anak yang membanggakan. Ah menulis kata membanggakan belum afdol rasanya jika kata itu diucapkan langsung dari bibir kalian, Rifad sehat dan bahagia ku harap kalian Begitu. Maafkan Rifad yang belum bisa menjenguk kalian, Maaf kan Rifad yang mungkin pernah melukai hati kalian di masa lampau atau pun saat ini. Doakan Rifad agar lulus dengan Nilai yang memuaskan, Rifad Mendoakan kalian dimana pun Kalian berada.
Salam
Rifad Anak kalian.
Ku tulis surat itu, dan mengirim nya ke salah satu alamat yang di berikan Tetangga Rumah Ibu dulu, dan untuk alamat rumah ayah aku melihat sosial media Tante Lea, adik Ayah.Â
Yang kebetulan aktif dalam bersosial media, nyatanya mereka sudah bahagia dengan kehidupan nya sekarang. Kabar baik Ayah akan menjenguk ku setelah lulus ujian membawa ku bertandang ke rumah Nenek Uminah yang baru di Bogor.
UNBK bukan menjadi momok menakutkan bagiku, Aku begitu tenang menjawab soal itu perlahan. Mendekati wisudapun aku masih sama santai nya, satu yang ku dengar Aris sudah pergi keluar kota untuk menimba Ilmu agama. Dan Besok adalah hari kelulusan, dan aku berusaha menjadi lulusan terbaik.Â
Membuktikan bahwa anak broken home tak selamanya buruk Dimata khalayak orang, aku masih memiliki Tuhan, keluarga yang selalu ada untuk ku hingga aku mampu bertahan dari cemohan lingkungan kehancuran rumah tangga orang tua ku. Walau mengabaikan rasa rindu ku, rasa iriku begitu melihat orang tua teman ku datang dengan wajah berseri menyambut rapot anak anak mereka.
RIFAD ACHMAD
Nama ku disebut ku langkahkan kaki ke podium diikuti dengan siswa dan siswi lainnya, satu dua dari kami menyalami kepala sekolah untuk menerima piagam kelulusan. Mataku memerah mengamati orang tua yang termenung melihat putra putrinya lulus jenjang SMA sedangkan aku menatap haru mereka, membisikkan kalimat " lihatlah betapa bersyukurnya mereka memiliki teman-teman mu. Dan kau betapa beruntungnya Nenek Ima duduk diantara mereka" lirih ku menghibur diri.
"Terimakasih Rifad. berkat kamu Aku bisa naik ke podium!" Ujar Santi datang menghampiri ku, matanya menatap ku dengan wajah bahagia.
"Tak apa lah. Ilmu itu harus dibagikan Jangan disimpan sendiri nanti otaknya panas" kelakar ku pelan membuat kami tertawa bahagia.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H