"Hmm...burung, Ma,"jawab Uvi ngawur. Ia masih berkonsentrasi pura-pura terbang.
"Tetooottt....Kakak salah. Burung itu kan bukan benda, melainkan makhluk hidup," ujar Miska merevisi.
Uvi tertawa malu. Seketika ia teringat sesuatu. "Layang-layang, Ma."
"Seratus buat Kakak. Sudah, ya. Sekarang giliran Eci mau digendong gaya apa?"
"Unta!"
Miska menghela napas panjang. Eci memang lebih muda setahun dari kakaknya. Tetapi bobot tubuhnya lebih berat karena hobi makan. Kedua pipinya ranum dan bulat bagaikan apel. Tubuhnya montok menggemaskan seperti model iklan susu dan popok balita. Mudah-mudahaan aku masih kuat membopongnya, desah ibu muda berusia tiga puluh lima tahun itu dalam hati.
Si montok Eci berdiri menghadap punggung ibunya. Dikalungkannya kedua tangannya di sepanjang leher jenjang Miska dan kedua kakinya menggelayut manja pada sekeliling pinggang ibu yang sangat disayanginya itu. Setelah merasa mantap, sang ibu berjalan perlahan mengelilingi kamar tidur disoraki Uvi yang turut merasa kegirangan melihat adiknya dibopong sang ibu.
"Haiyo, Kakak sama Adik tahu nggak, unta tinggal di mana?"
"Kebun binatang!"
"Gurun pasir!"
"Wah, anak Mama pintar-pintar semua. Senang, deh. Nambah lagi nih, pertanyaannya. Di punggung unta ada benjolan gede apa namanya?"