Mereka melaju pelan meninggalkan kompleks penjara. Di dalam mobil, suasana hening membungkus. Ridho beberapa kali melirik putrinya yang serius menyetir. Tangan Tamini kokoh di setir, wajahnya tegas namun memancarkan kelembutan seorang perempuan yang sudah melewati banyak badai.
"Tamini," Ridho akhirnya memecah keheningan.
 "Bagaimana kamu bisa bertahan selama ini? Dengan semua yang terjadi?"
Tamini menatap lurus ke jalan. Udara pagi mulai memanas, dan embun di kaca jendela perlahan menguap. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab,
 "Pak, aku bertahan karena belajar berlutut."
Ridho mengerutkan dahi.
 "Berlutut?"
"Berlutut dan sujud, Pak," jawab Tamini. Suaranya tenang, namun terdengar dalam.Â
"Aku tahu, sesuatu yang tinggi tidak selalu dicapai dengan jinjit atau melompat. Terkadang, cara terbaik adalah dengan tunduk, menyerahkan semuanya kepada Allah."
Ridho terdiam, kata-kata itu seperti air dingin yang mengguyur hatinya.
"Tapi Tamini, Bapak sudah menghancurkan semuanya. Aku gagal menjadi ayah, gagal menjadi pemimpin. Aku---"