Tamini memotong, suaranya lebih tegas. "Pak, aku tidak akan membahas soal siapa yang salah. Tapi aku ingin Bapak tahu apa yang terjadi setelah Bapak masuk penjara."
Ridho Illahi memalingkan wajahnya ke jendela, melihat jalan yang dipenuhi kendaraan dan keramaian pasar pagi. Suaranya bergetar ketika berkata,Â
"Aku ingin tahu, Tamini. Ceritakan padaku."
Tamini menggenggam setir lebih erat.
 "Setelah Bapak dipenjara, rumah kita dijual untuk membayar denda. Ibu sakit karena malu. Kawan-kawan yang dulu dekat dengan keluarga kita, semua menjauh. Tidak ada yang mau membantu, bahkan hanya untuk sekadar bicara."
Ridho memejamkan mata. Ia bisa membayangkan semuanya.
"Tapi, Pak," lanjut Tamini, "dalam keterpurukan itu, aku menemukan sesuatu. Aku sadar bahwa manusia tidak bisa mengandalkan apa pun selain Allah. Aku mulai bangun malam, berdoa, sujud, meminta kekuatan. Aku memohon agar Allah membimbingku melewati semua ini."
Ridho menelan ludah. "Dan Allah mendengar doamu?"
Tamini tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. "Tentu saja, Pak. Allah selalu mendengar hamba-Nya yang berdoa dengan tulus. Aku mulai bekerja. Apa saja yang halal, aku jalani. Aku menjadi guru les, menjahit, bahkan menjadi pelayan toko. Tidak mudah, tapi aku tahu, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya."
Ridho merasa dadanya sesak. "Aku sudah menghancurkanmu, Tamini. Aku menghancurkan hidup kita. Tambang itu... izin yang kuberikan... semuanya salah."
Tamini menarik napas dalam. Ia berhenti di lampu merah, lalu menoleh sejenak pada ayahnya.